Learn, Connect, Growth | Tingkatkan Mutu Pelayanan Kesehatan Indonesia

Headline

Oleh : Nasiatul Aisyah Salim SKM.,MPH

art-10mar-3Audit perinatal merupakan analisis sistematis mutu pelayanan klinis yang meliputi prosedur diagnosis dan perawatan, penggunaan sumber daya, hasil yang muncul serta kualitas hidup ibu dan anak. Audit kematian perinatal dapat dianggap sebagai suatu cara untuk meningkatkan proses-proses perawatan bagi semua wanita hamil dan bayi. Selain itu, audit kematian perinatal memberikan kesempatan untuk bisa mempelajari kejadian-kejadian yang tidak diinginkan dalam proses perawatan melalui identifikasi, analisis dan pengambilan langkah-langkah untuk mencegah agar tidak terjadi lagi.

Audit perinatal dapat dilakukan dengan bermacam metodologi misalnya audit eksternal yang mana proses perawatan dievaluasi oleh auditor eksternal independen dan audit berbasis unit atau yang biasa dikenal sebagai audit internal yaitu petugas kesehatan mengevaluasi pelayanannya sendiri, melakukan pengukuran secara langsung dan cepat dengan tujuan untuk meningkatkan perawatan. Namun, audit internal memiliki kelemahan yang menyangkut hubungan antar personal dan persaingan sehingga akan dapat mempengaruhi analisis. Walaupun begitu, audit internal yang dilakukan sendiri akan menghasilkan pemecahan yang lebih detail yang mana harapannya akan membawa lebih banyak peningkatan efisiensi di tingkat internal pelayanan kesehatan dan menjadi tanggung jawab kelompok audit.

Pelaksanaan audit perlu diketahui faktor-faktor sub-standard (sub-standard factors/SSF) yaitu masalah manajemen perawatan yang menyangkut perawatan menyimpang dari batas-batas aman praktek yang telah ditentukan dalam panduan, standard, protokol-protokol atau praktek normal, dan yang memiliki potensi untuk menyebabkan hasil merugikan bagi pasien, baik secara langsung maupun tidak langsung. Untuk mengetahuinya bisa menggunakan instrumen audit yang berdasarkan pada analisis akar penyebab. Penelitian Vincent (2003) dan Young (2000) membuat instrumen untuk kelompok-kelompok audit perinatal berbasis unit yaitu "6 What Questions". Dengan menjawab keenam pertanyaan ini maka SSF dapat dianalisis, asal-muasal SSF dapat dikenali, mengetahui keterlibatan kelompok petugas kesehatan, penarikan kesimpulan, dan merumuskan tindakan-tindakan yang diperlukan untuk mencegah SSF muncul kembali.

Diem, M dkk (2012) menjelaskan bahwa keberhasilan audit kematian perinatal bisa dilakukan dengan strategi meliputi perencanaan informasi, perencanaan pelatihan dan perencanaan organisasi. Kriteria tim audit harus cukup besar yang meliputi perwakilan ahli bidang kebidanan dan perawatan neonatal di semua tingkat (bidan, perinatologis, dokter umum, bidan praktik swasta dan bidan rumah sakit, perawat bagian kandungan dan anak, dokter anak, ahli neonatalogi, ahli patologi dan ahli genetika). Tim audit mengajukan seorang wakil independen untuk mengikuti setiap pertemuan audit. Sebagai anggota tim, koordinator audit membantu kelompok inti dalam mengorganisir dan mempersiapkan pertemuan-pertemuan audit.

No

Pertanyaan dan sub-pertanyaan

1.

Apa yang Terjadi ?

Siapa saja petugas kesehatan yang terlibat?

2.

Kondisi apa saja yang terdapat SSF ?

contohnya kejadian-kejadian klinis yang mencolok, kerangka waktu, akhir pekan atau hari-hari kerja, kondisi fisik dan mental pasien, situasi lokal, beban kerja petugas kesehatan, dll)

3.

Apa Sebab yang menimbulkan SSF ? (analisis kasus yang muncul)

-      Menyangkut pasien

(misalnya: tekanan, tingkat keseriusan keadaan)

-      Menyangkut tugas

(contoh: ketersediaan protokol dan fasilitas-fasilitas laboratorium)

-      Menyangkut petugas kesehatan

(misal: motivasi, sikap, kecakapan)

-      Menyangkut tim

(komunikasi antara petugas kesehatan, keberadaan supervisi/pengawasan)

-      Lingkungan pekerjaan

(contohnya: pembauran pegawai, ketersediaan staf pendukung)

-      Menyangkut pengelolaan/manajemen

(kultur keselamatan, sumber-sumber keuangan)

Menentukan apakah penyebab-penyebab yang muncul hanya relevan dengan kasus yang dianalisis atau merupakan persoalan struktural dalam organisasi

4.

Apa hubungan antara SSF dan Kematian? (penggolongan keterkaitan)

-       Tidak ada: tidak ada kaitan antara SSF yang teridentifikasi dengan hasil yang muncul

-       Tidak mungkin: nampaknya tidak mungkin bahwa manajemen lain akan menimbulkan hasil yang berbeda

-       Mungkin: manajemen lain mungkin saja dapat membuat perbedaan dalam hasil

-       Bisa jadi: manajemen lain akan dapat diharapkan secara masuk akal untuk memberikan hasil yang berbeda

-       Sangat mungkin: faktor yang jelas dapat dihindari sehingga hasil yang berlawanan dapat dicegah.

5.

Apa kesimpulannya (analisis jawaban 1-4)

Memberikan daftar penyebab satu per satu yang menyebabkan timbulnya SSF

(misalnya supervisi yang tidak memenuhi, kegagalan pemantauan peralatan)

6.

Apa yang harus dilakukan untuk mencegah SSF tidak muncul lagi? (tindakan)

Memberikan daftar tindakan secara berurutan untuk peningkatan perawatan (sebagai contoh membuat program kecakapan dan pelatihan (termasuk membuat daftar nama) untuk semua personel terkait)

Menurut Diem, M dkk (2012) menjelaskan bahwa faktor penghambat dalam pelaksanaan audit perinatal adalah keterbatasan dana. Mengorganisir dan mempersiapkan pertemuan-pertemuan audit serta menyelenggarakan pertemuan-pertemuan tersebut memakan waktu dan oleh karenanya menjadi mahal. Akibatnya, keberlangsungan audit perinatal sangat tergantung pada motivasi para petugas kesehatan dalam menyampaikan perawatan. Selain itu pendidikan dan kerjasama yang baik antara kelompok petugas kesehatan dan penyedia layanan individu adalah prasyarat untuk menyediakan perawatan secara optimal. Walaupun kerjasama maupun pendidikan dianggap mempunyai manfaat tak langsung terhadap kualitas perawatan perinatal.

Daftar Pustaka :

Diem, Mariet et al. (2012). The Implementation of Unit Based Perinatal Mortality Audit in Perinatal Cooperation Units in The Northern Region of The Netherlands. BMC Services Research, 12:195

 

Disarikan oleh: Andriani Yulianti, MPH

art-25-2Kegagalan dalam penanganan kasus kedaruratan obstetri umumnya disebabkan oleh kegagalan mengenal resiko kehamilan, keterlambatan rujukan, kurangnya sarana yang memadai untuk perawatan ibu hamil dengan risiko tinggi maupun pengetahuan tenaga medis, paramedis dan penderita itu sendiri dalam mengenali kehamilan resiko tinggi secara dini. Masalah dalam pelayanan obstetri maupun kondisi ekonomi pun ikut berperan didalamnya. Pengetahuan mengenai tanda-tanda kehamilan beresiko oleh si penderita (Ibu hamil atau keluarga) masih sangat minim dilakukan pada negara-negara berkembang termasuk di Asia, namun hal ini bisa diupayakan dengan peningkatan keterampilan pada semua nakes yang bisa diterima dari tenaga kesehatan profesional, seperti bidan, nonphysician, dokter atau perawat. Bagaimanapun juga ini memang selalu menjadi kendala pada negara-negara yang masih memiliki sumber daya rendah, yang mana ada kesulitan untuk memenuhi sesuai dengan standar yang ada.

Pentingnya pelatihan bagi tenaga terkait dengan emergency obstetric seperti yang dikutip dalam jurnal ini adalah dirasa penting dikarenakan pelatihan merupakan elemen kunci didalam mengurangi kematian ibu dan memastikan bahwa selama Ibu hamil, melahirkan dan sampai pada periode setelah melahirkan semua perempuan memiliki akses pelayanan yang sudah diterima dari para profesional kesehatan. Untuk memastikan bahwa pelatihan memang berdampak untuk meningkatkan kemampuan dan keterampilan dari para tenaga kesehatan profesional yang mana terlibat dalam pelayanan kesehatan ibu dan anak perlu melihat terkait dengan ada 4 level kirkpatrick terkait dengan pelatihan yang mana efektifitas dari pelatihan yang dilakukan dapat dinilai:

  1. Bagaimana reaksi tenaga kesehatan terhadap pelatihan yang dilakukan. Apakah mereka menyukainya; apakah pelatihan dirasa sangat berguna?
  2. Apakah pelatihan dapat meningkatkan pengetahuan dan apakah itu dapat meningkatkan keterampilan.
  3. Apakah kemampuan dan keterampilan dalam pelatihan dapat dipraktekan
  4. Apakah pelatihan bisa meningkatkan hasil yang dicapai atau dapat menurunkan angka kematian ibu.

Perlu adanya review terkait dengan pelatihan yang dilakukan agar tepat sasaran tekait dengan pelatihan: ada beberapa metode seperti dibawah ini:

  1. Pelatihan singkat, misalnya pada advance cardiac / trauma life support in obstetrics, manajemen ponek, dan lain-lain.

    Contoh kasus pada pelatihan ATLS dan ACLS, dilakukan pelatihan pendek hanya 2 hari dan sudah termasuk kelas singkat, pilihan sesi antara teori dan praktek dengan melakukan simulasi, melatih untuk situasi emergency seperti terjadi kelainan pada kehamilan, pendarahan berat, preeklamsia berat dan eklamsia dan neonatal rususitasi.
    Reaksi dari pelatihan yang dilakukan secara singkat tersebut memiliki reaksi positiv dari para peserta dan sukses diimplementasikan dibeberapa negara serta memiliki perubahan pada perilaku kerja tenaga kesehatan. Hal yang bisa dipraktekkan terkait dalam level ketiga dari kircpatrick yakni bahwa dengan adanya pelatihan pendek dapat meningkatkan dari servical dilaktasi untuk menyusun permulaan dari laboratorium, peningkatan dalam penggunaan partografh, meningkatkan pengukuran pencegahan infeksi. Selain perubahan pada level ke 3, adapula perubahan terkait dengan level 4 yakni apakah pelatihan dapat memperlihatkan penurunan angka kematian ibu, hal ini terlihat dari angka ibu hamil yang sulit melahikan dan biasanya di tolak oleh tenaga kesehatan menurun dan tercatat ibu yang melahirkan sehat.

  2. Lama atau durasi pelaksanaan pelatihan 

    Dari total 38 paper yang dikaji ada 13 paper yang berbeda saat melakukan program pelatihan, yakni berkisar antara 1-8 minggu. Semua dari program-program tersebut tentu lebih luas dari pengkajiannya dari hanya sekedar pelatihan pendek namun secara keseluruhan maksud dari pelatihan tersebut adalah untuk memperbaiki kualitas, mencakup topik dari keterampilan BLS seperti antenatal care, permasalahan dalam kehamilan dan persalinan, pencegahan infeksi, kerjasama team, komunikasi pencegahan penularan HIV dari Ibu kepada bayinya dan promosi breastfeeding. Tercatat dari 13 program ada 9 yang sudah digunakan dalam praktek klinik untuk mengajarkan keterampilan. Untuk modul dari WHO mengenai pelatihan bidan ada metode pengajaran baru seperti menggunakan drama, permainan dan kelompok kerja yang sudah digunakan. 

    Ada beberapa reaksi dari pelatihan ini yang termasuk dalam kirkpatrick pada level 1bahwa modul dari WHO sudah dapat dipahami di beberap negara dan modul tersebut sudah di uji coba, kemudian untuk pendekatan keterampilan dan pengetahuan dalam ponek adalah satu bagian yang memiliki tanggapan yang sangat bagus baik dari pelatihan pengenalan sebelum pelayanan asuhan kebidanan. 

    Sangat mencengangkan bahwa pada level 2 dari kirkpatrick, ada 6 study yang hanya sedikit memperlihatkan sedikit perubahan keterampilan kepada pelaku pelayanan kesehatan atau bahkan tidak ada perubahan mengenai kemampuan antenatal care, kemampuan nakes dalam hal persalinan dan kelahiran, penggunaan partograf dan manajemen ponek. Di indonesia ada satu kajian yakni dengan membandingkan satu group dengan yang lainnya dan sudah dilatih dan diberikan kesempatan dengan menolong persalinan sebanyak 15 orang dan didukung evaluasi oleh teman sejawatnya setelah diberikan kesempatan tersebut juga dilanjutkan dengan diberikannya pendidikan lanjutan mengenai apa yang sudah diterapkan dan dikembangkan. Untuk group yang satu juga diberikan kesempatan pemberian pelatihan namun hanya dengan sedikit pasien dan tanpa ada dukungan tindak lanjut kedepannya. Jadi dapat disimpulkan bahwa meskpun sudah melakukan pelatihan dalam waktu yang panjang apabila tidak di folow'up maka tidaka akan memberikan dampak yang positif terhadap kemampuan tenaga kesehatan. 

    Pada level ke 3 yang termasuk dalam kirkpatrick bahwa keterampilan yang dapat diterapkan atau di praktek, dari beberapa paper yang dilaporkan bahwa perubahan perilaku pada peserta pelatihan ada pada pelatihan partograf, frekuensi pelepasan plasenta uterin dan pelepasan uterin lebih sering dan beberapa peningkatan partisipasi teknik pembersihan dan aseptic. Adapula sisi positive lain mengenai perubahan tersebut yakni dengan kepedulian yang semakin membaik terhadap kekurangan dari manajemen Rumah Sakit, peningkatan perbaikan pada teamwork dan komunikasi. ada salah satu penulisan yang maloporkan bahwa tidak ada peningkatan kemampuan pada praktek antenatal setelah mengikuti selama 3 minggu. Jadi memang pelatihan harus disesuiaikan dengan kebutuhan agar dapat bermanfaat dan dapat diterapkan.

    Pada level ke 3 yang ada dalam kirkpatrick mengenai apakah ada peningkatan hasil yang dicapai dalam menurunkan angka kematian ibu terkait dengan waktu pelatihan yang panjang, pada satu paper hanya menjelaskan bahwa memang ada peningkatan yang dramatis mengenai jumlah rujukan sebanyak >200%, peningkatan kepuasan pelanggan namun pada hasil rata-rata kasus caecar yang didemonstrasikan tidak memiliki banyak perubahan.

  3. Pembelajaran sendiri secara langsung 

    Pada pembelajaran ini tidak perlu dengan jadwal khusus. Adapun dampak dari pembelajaran ini sesuai dengan yang ada dalam level kirkpatrick level 1 tidak di ukur dan pada level ke 2 sudah ada penilaian dari beberapa studi, baik dari pendidikan perinatal program, laboratorium kesehatan reproduksi dan program pembelanjaran mandiri dan hasilnya sudah perubahan kemampuan. Untuk pendidikan perinatal sudah ada hasil perubahan dari keterampilan praktek dengan penomoran dari antenatal and intrapartum proccedure. Untuk level ke 3 ada perubahan perilaku tidak bisa dipastikan karena masih kurang bukti yang menguatkan hal ini. Setelah pengenalan dari perpustakaan kesehatan reproduksi tidak ada memperlihatkan perubahan.

Secara umum beberapa penelitian menjelaskan tentang reaksi yang positif tentang pelatihan yang dilakukan oleh tenaga kesehatan untuk meningkatkan kemampuan dilihat 4 level Kirkpatrick tersebut sudah memperlihatkan perubahan, namun ada beberapa hal yang perlu juga diperhatikan oleh para pelaku pelayanan kesehatan terkait:

  1. Practising skill 
    Fakta dari seluruh program yang termasuk pelatihan ketermpilan menyarankan bahwa keterampilan itu adalah aspek yg sangat penting meskpiun demikian ada satu penelitian yang menyatakan bahwa membandingkan perbedaan dan menggunakan pendekatan terhadap perbedaan pendekatan keterampilan dan terhadap keuntungan dari praktek klinik. 

    Lama pelatihan yag sering digunakan adalah praktek kinik dibandingkan pelatihan yang bersifat pelatihan pendek dan program pelatihan sendiri secara langsung. Semakin lamanya proses kursus pelatihan itu lebih baik menggunakan metode dengan praktek klinik dibandingkan pelatihan yang bersifat stimulus. Pelatihan pendek yang sifatnya belajar klinis. Pilihan dari metode yang dipilih tergantung dari pilihan aspek logistik dan design pelatihan.

  2. Team approach 
    Pendekatan tim sangat diperlukan untuk memperkuat pelatihan yang pernah didapat. efektifitas teamwork dan komunikasi sangat penting untuk dikembangkan karena bahkan negara eropa barat tidak dapat mengefektifkan teamwork yang ada untuk mendukung penurunan angka kematian ibu dan anak. Sehingga bisa dikatakan bahwa tidak ada korelasi antara negara maju terkait dengan kesiapan team dan teamwork karena hal ini selalu menjadi masalah terkait dengan penurunan angka kematian ibu dan anak.

    Team work yang baik didapat dari kontribusi dari rekan sesama team dan juga hubungan yang baik dalam hubungan sesama tenaga kesehatan, baik bidan maupun dukun beranak.

  3. Follow-up 
    Di Indonesia peran serta penilaian oleh teman sejawat serta kesinambungan pendidikan pasca pelatihan akan berdampak pada semakin membaiknya skor keterampilan dalam kinerja dibandingkan dengan melakukan pelatihan yans sama tanpa adanya tinjauan ulang dari tim sejawat. Beberapa isu yang didapat dari penulis yang berbeda dalam sebuah paper bahwa faktor yang berkontribusi dalam suksesnya sebuah pelatihan adalah: efektifitas dari pelatihan itu yang ditentukan dari pengaturan pelayanan kesehatan yang mana merupakan adalah pekerjaanya seorang profesional, begitulah pemandangan dari sumber daya yan tersedia. namun demikian adapula yang mengatakan bahwa pelatihan hanya akan efektif jika merupakan bagian dari program keselamatan ibu. Laporan dari program pelatihan seharusnya sudah termasuk dalam sebuah deskripsi isi dari pelatihan yang masuk dalam sesuatu yang diajarkan, menyangkut biaya, seberapa kuat keyakninan dan bagaimana dengan persiapan para pelatih untuk melakukan tugas mereka dan memilih mana pelatihan yang dianggap merupakan bagian yang sangat kuat membantu program penyelamatan ibu.

Daftar Pustaka :

Lonkhuijzen, L., Dijkman,A., Roosmalen, J., Zeeman, G & Scherpbier, A. 2010. A systematic review of the effectiveness of training in emergency obstetricc care in low-resource environment. An International Journal of Obstetrics and Gynaecology.

 effektifeness of training in emergency obstetric

 

Disarikan oleh: Widya Febriyanti, SKp, Ners.

art-25-2-1Beberapa hasil penelitian pada lembaga pelayanan kesehatan dilaporkan bahwa faktor utama untuk melaksanakan kebijakan kesehatan yang efektif di seluruh dunia adalah dengan adanya reformasi yang besar kaitannya dengan sumber daya manusia yang berkualitas. Meskipun telah banyak instansi yang mengaplikasikan perkembangan kebijakan dan pedoman praktek klinis, tetapi pada tataran aplikasinya masih banyak instansi yang sumber daya manusia kesehatannya (SDMK) masih belum menerapkan arti sesungguhnya makna dari reformasi kesehatan. Hal yang menjadi fokus perhatian pada kapasitas pelayanan kesehatan beberapa tahun belakangan bertujuan untuk menjadikan pelayanan kesehatan menjadi lebih adekuat dan waktu pelayanan dapat lebih terukur. Kurangnya SDMK yang berkualitas merupakan faktor pembatasan utama dalam melaksanakan kebijakan dan reformasi kesehatan di negara berkembang. Salah satu tantangan utama adalah menjamin efektivitas dan ketersediaan tenaga kesehatan yang berkualitas. Hal ini sejalan dengan salah satu tujuan dari millennium kelima, yaitu dalam menurunkan angka kematian ibu dan bayi sebesar 75 % sampai dengan target tahun 2015 diperlukan kualitas SDMK yang kompeten dalam memberikan pelayanan obstetri dan neonatal emerges secara komprehensif sehingga angka indikator kematian ibu dan bayi pada suatu negara dapat menurun.

Meskipun teknik klinis untuk memerangi kematian ibu dan morbiditas sangat terkenal, memilih strategi terbaik untuk menerapkan masih menjadi tantangan besar bagi negara-negara berkembang. Analisis historis menunjukkan bahwa penurunan tingkat kematian ibu terjadi akibat faktor teknis dan juga dipengaruhi oleh beberapa faktor lainnya. Tidak ada strategi tunggal yang efektif secara signifikan untuk menurunkan tingkat kematian ibu. Hadirnya sistem pelayaanan obstetrik dan neonatal emergensi komprehensif (PONEK) serta pelayanan obstetrik dan neonatal emergensi dasar (PONED) pada pelayanan kesehatan dasar, merupakan dua strategi yang beberapa tahun belakangan diterapkan untuk mengurangi anga kematian ibu. Namun tidak pula luput dari pentingnya strategi lain seperti mengurangi keterlambatan dalam menerima perawatan dan meningkatkan cakupan pelayanan.

Bahkan ketika beberapa strategi kombinasi terbaik pun telah teridentifikasi untuk menurunkan angka kematian ibu dan bayi, masih banyak kendala yang masih belum dapat teratasi diantaranya adalah tidak memadainya sumber daya manusia (SDM) baik dari segi kuantitas maupun kualitas. Peningkatan kualitas pelayanan kesehatan akan bergantung pada kompetensi ketersediaan produktivitas dan daya tanggap profesional kesehatan.

Apa yang diketahui tentang peran SDMK dalam memberikan obstetrik Darurat berkualitas? serta bagaimana pengetahuan yang diterjemahkan ke dalam kebijakan kesehatan? Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan ini, telah banyak kajian literatur yang membahas mengenai peran SDMK dalam peningkatan kualitas pelayanan obstetrik emergensi baik berupa bukti-bukti mengenai ketersediaan tenaga dan juga kesenjangan pengetahuan SDMK tersebut yang pada akhirnya bahasan tersebut dapat berguna untuk pengambilan suatu kebijakan kesehatan. Dalam kaitannya dengan konsep obstetrik emergensi maka dapat kita bagi menjadi tiga dimensi yaitu: struktur, proses dan hasil. Struktur meliputi material, sumber daya manusia, organisasi. Proses meliputi aspek teknis klinis dan perawatan interpesonal serta motivasi. Hasil mencakup indikator-indikator kesehatan ibu dan bayi baru lahir dan penilaian terhadap pengunaan pelayanan. Kerangka kerja inilah yang telah dimodifikasi dan disesuaikan untuk mendukung analisis dalam dimensi kualitas pelayanan obstetrik emergensi.

Struktur : Material

Sebagian besar intervensi yang terkait dengan obstetrik emergensi adalah antibiotik parenteral, kelahiran secara bedah secaria, kelahiran per vaginam, manual plasenta, kekurangan peralatan atau tidak adanya unit yang lengkap, pendelegasian pada tenaga kesehatan yang bertugas di lokasi perifer pun terbatas, dll.

Struktur : Sumber Daya Manusia Kesehatan (SDMK)

Pembahasan mengenai sumber daya manuasia yang dilihat adalah dari aspek ketersediaan, kualifikasi dan kompetensi. Kekurangan jumlah SDMK akan meningkatan beban kerja dan berpengaruh terhadap kualitas pelayanan terhadap pasien, termasuk didalamnya terkait dengan profesional waktu tunggu dan pengendalian terhadap infeksi akan menjadi lebih sulit.

Profesi yang dimaksud dalam SDMK dalam pelayanan obstetri emergensi menurut referensi dari PBB adalah dokter, dokter spesialis kandungan, dokter sepesialis anastesi. Bidan dan perawat. Kualifikasi dari profesional SDMK ini menentukan kemampuan mereka untuk mendiagnosa dan menangani pasien secara memadai. Dengan demikian morbiditas ibu secara signifikan lebih baik didiagnosis dan diobati oleh dokter dan bidan daripada oleh perawat dan bidan tradisional. Kualifikasi SDMK juga mempengaruhi pengguna terhadap persepsi pelayanan yang berkualitas. Hal ini dilaporkan di Tanzania pada tahun 2003, dimana tingkat pemanfaatan puskesmas rendah dalam menangani kasus obstetrik darurat hal ini terjadi akibat sebagian persepsi pengguna terhadap buruknya kualitas pelayanan yang diakibatkan oleh dari kekurangnya tenaga profesional yang trampil.

Kualifikasi SDMK saja tidak menjamin kompetensi. Seperti yang ditunjukkan dalam keterampilan dan evaluasi tingkat pengetahuan di Benin, Ekuador, Jamaika dan Rwanda, profesional obstetrik emergensi hanya mencetak 50% pada keterampilan yang dibutuhkan. Pengetahuan dievaluasi dengan menggunakan pertanyaan pilihan ganda dan keterampilan dengan tes pada model anatomi. Beberapa alasan terjadinya kesenjangan antara tingkat pemahaman teoritis terhadap ketrampilan klinis diakibatkan oleh metode pelatihan yang kurang memadai, muatan praktek klinis yang kurang didukung oleh peralatan, ketidakmampuan untuk mendelegasikan tugas-tugas dan terlalu bervariasinya standar oprasional prosedur klinis sehingga tidak mudah dipahami oleh setiap SDMK yang bertugas. Para penulis menyarankan agar dapat menerapkan pelatihan keterampilan klinis yang berbasis pada clinical instructor, seperti yang pernah dicoba oleh beberapa tim. Pendekatan ini tidak hanya akan menjadi lebih efektif tetapi juga akan mengurangi waktu pelatihan.

Struktur : Organisasi

Beberapa studi yang dibahas dalam kaitannya dengan organisasi mengenai kebijakan manajemen SDMK dan pengaruhnya terhadap sikap staf, manajemen peralatan, sistem informasi dan mekanisme peningkatan kualitas kinerja. Studi ini menyimpulkan bahwa penguatan kemampuan manajerial akan membantu untuk lebih mengkoordinasikan perawatan pasien menjadi lebih optimal. Aspek-aspek organisasi seperti jasa pelayanan, sistem rujukan dapat menjadi bahsan penting didalam peningkatan program obstetrik emergensi menjadi lebih efektif.

Proses : Aspek Pelayanan Klinis

Ketidaklengkapan fasilitas penunjang seperti bank darah dan laboratorium akan mempengaruhi pelayanan inti dari obstetrik ginekologi. Termasuk juga salah satunya adalah ketidakklengkapan bahan emergsi esensial, sehingga pelayanan terhadap pasien menjadi tertunda disebabkan oleh karena keluarga harus membeli dan melengkapi bahan terapi tersebut. Memang beberapa intervensi obsterik emergensi akan sangat tergantung kepada tersediaan peralatan khusus seperti forceps, vacums dan tensiometers.

Penilaian pelayanan klinis dengan metode evaluasi keterampilan mandiri masih dianggap sulit dengan demikian penilaian pelayanan klinis secara multi disiplin dari staf-staf yang saling berhubungan, akan jauh lebih dan efektif digunakan sebagai metode untuk audit klinis. Oleh karena itu, sebagaimana terungkap dalam sebuah penelitian di Indonesia, audit klinis lebih informatif daripada angka kematian yang sederhana dibandingkan dengan hanya melihat pada angka-angka kematian yang tanpa dapat dianalisa secara rinci. Audit klinis dapat menjabarkan secara rinci infromasi-informasi tentang aspek mana yang harus diperbaiki dari pelayanan obsterik emergesi guna mencegah terjadinya kasus yang sama agar tidak terulang kembali di masa yang akan datang pada instansi tersebut.

Proses : Perawatan Interpersonal

Aspek interpersonal proses obstetrik emergensi dinilai dari perspektif pengguna dengan menggunakan ques-tionnaires kepuasan pelanggan.

Proses : Motivasi SDMK

Motivasi tidak ditujukan sebagai pertanyaan yang sifatnya eksklusif dari sebuah penelitian, tapi tampaknya hal ini menjadi penting dalam kaitannya dengan perekruitan tenaga di pelayanan obstetrik emergensi sebelum SDMK tersebut masuk menjadi bagian dari tim pelayanan obsterik. Semangat yang tinggi dan orientasi terfokus terhadap kualitas pelayanan akan dapat meningkatkan akuntabilitas, kondisi kerja yang lebih baik serta perencanaan karir yang lebih matang serta peluang untuk mendapatkan insentif pun menjadi meningkat.

Dalam struktur dan dimensi hasil sebagian besar didokumentasikan sedangkan pada dimensi proses

Dari hal yang telah dijabarkan diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa (1) kekurangan staf akan menjadi hambatan besar dalam menyediakan pelayanan obstetrik emergensi yang berkualitas, (2) wanita hamil yang melahirkan di fasilitas pelayanan kesehatan sering kali merasakan ketidakpuasan terhadap pelayanan yang diberikan oleh SDMK yang kurang profesional pada fasilitas pelayanan kesehatan tersebut, (3) teknik kualitas dari obstetrik emergensi masih harus diteliti lebih mendalam. Dari dua hal yang pertama dapat disimpulkan bahwa

Kesimpulan

SDMK merupakan komponen kunci dalam semua dimensi-keputusan pelayanan obstetrik emergensi dan menentukan kualitas pelayanan, pada khususnya dalam proses klinis. Beberapa kajian diatas telah membahas bahwa dampak negatif dari kekurangan staf dan ketidakseimbangan kualitas pelayanan akan sangat berpengaruh terhadap pelayanan. Pengaturan klinis dan sikap staf klinis terhadap ketaatan standar operasional prosedur akan dapat membantu meningkatkan kualitas pelayanan. Kebijakan-kebijakan yang dibuat bertujuan untuk memperbaiki ketidakseimbangan kuantitatif serta memperbaiki dari aspek kualitatif dengan melakukan perubahan dalam kurikulum pre service ataupun kurikulum yang digunakan untuk peningkatan kapasitas SDMK. Kebijakan ini harus melibatkan secara penuh seluruh personil yang terlibat dalam tim obstetrik emergensi dan juga stakeholder terkait dari berbagai lintas sektoral. Dengan cara ini, kinerja dalam sistem pelayanan kesehatan akan sangat konkrit dapat ditingkatkan. Adanya perbaharuan pada sistem kebijakan SDMK dalam pelayanan obstetrik emergensi, akan meningkatkan pemahaman terhadap mekanisme produksi kualitas pelayanan sehingga dapat dengan sepenuhnya memberikan peran dan kontribusi yang signifikan untuk mengurangi angka kematian ibu dan bayi dengan demikian tujuan dari point MDGs keempat dan kelima dapat tercapai.

Daftar Pustaka :

Dogba, Maman & Fournier, P. (2009). Human Resources and the quality of emergency obstetric care in developing countries : A systematic Review of the Literature.

Human Resources for Health

 

Tanggal 7 Januari 2013 lalu, Joint Commission International (JCI) mengumumkan bahwa edisi baru Standar Akreditasi Rumah Sakit JCI akan segera terbit menggantikan edisi 4 yang saat ini berlaku. Standar Edisi 5 yang telah disusun sejak tahun 2012 ini akan diterbitkan pada tanggal 1 September 2013 dan akan diberlakukan pada tanggal 1 April 2014. Beberapa hal baru dalam edisi ini meliputi proses survey di lapangan, misalnya akan ada survey tanpa pemberitahuan dan beberapa tipe telusur (tracers) baru.

Berita ini mungkin akan mengejutkan bagi beberapa RS yang sedang menyiapkan diri untuk mendapatkan sertifikasi akreditasi dari JCI berdasarkan standar edisi 4, terlebih edisi 4 tersebut juga diadopsi sebagai standar akreditasi KARS versi tahun 2012 dimana terakreditasi KARS dijadikan batu loncatan sebelum terakreditasi internasinoal (JCI). Apakah dengan adanya edisi baru tersebut KARS perlu juga memperbaharusi edisi standarnya? Apakah pengelola RS harus segera mempelajari edisi baru dari JCI ?

Akreditasi RS merupakan salah satu pendekatan pengelolaan mutu yang meliputi semua aspek RS (organisation-wide basis) dengan harapan dapat membangun budaya mutu RS meliputi aspek pembelajaran bagi seluruh staf RS, komunikasi organisasi, kerjasama multidisplin, etika bekerja hingga reputasi rumah-sakit.

Meski standar akreditasi dibutuhkan untuk membangun budaya mutu RS, namun proses membangunnya secara umum sama: memahami dan menetapkan perubahan budaya yang diinginkan (sesuai standar), menilai kondisi yang ada pada saat ini (self asssessment), menyusun rencana kerja, menerapkan rencana kerja (dimulai dari penyusunan dokumen akreditasi, sosialiasi, pelatihan dan supervisi), dan melakukan monitoring evaluasi pemenuhan standar secara periodik.

Bila proses membangun budaya mutu tersebut telah berjalan sehari-hari dimana program akreditasi telah menjadi bagian dari pekerjaan sehari-hari bukan hanya berupa sebuah "project", maka terbitnya sebuah edisi baru dari standar akreditasi tidak akan menjadi sebuah masalah bagi pimpinan dan staf RS. Edisi baru (bahkan standar akreditasi dari lembaga akreditasi yang berbeda) akan langsung masuk kedalam "mesin" budaya mutu RS. (hd)