Learn, Connect, Growth | Tingkatkan Mutu Pelayanan Kesehatan Indonesia

Headline

Fenomena Medical Tourism dan Potensi Indonesia Menjadi Negara Tujuan Medical Tourism
Sekali mendayung, dua tiga pulau terlampaui.

drg. Puti Aulia Rahma, MPH
(seperti ditulis dalam Majalah Dental&Dental edisi November-Desember 2012)

Pepatah "hujan batu di negeri sendiri lebih baik dari pada hujan uang di negeri orang" sepertinya tidak berlaku bagi orang sakit. Pasalnya orang yang sudah sakit pasti tidak mau tertimpa batu juga kan?! Saat ini, orang sakit berlomba-lomba memilih perawatan terbaik untuk kondisi kesehatan yang mereka alami. Mereka tidak mau mengeluarkan uang dalam jumlah besar untuk pelayanan yang jelek, tidak profesional bahkan penyembuhan yang kurang optimal. Bila di negeri sendiri tidak ada pelayanan kesehatan yang dapat diandalkan, maka bukan salah mereka bila "meraup uang" atau mencari kebaikan di negeri orang. Mereka lari ke negeri orang untuk mendapat perawatan medis terbaik sekaligus liburan. Mereka melakukan medical tourism.

Medical tourism memiliki banyak alias: medical travel, health tourism, health travel, medical value travel, healthcare abroad, medical overseas, overseas medical, surgery overseas, medical outsourcing dan offshore medical. Medical tourism memiliki arti perjalanan yang dilakukan seseorang ke luar negara tempat tinggalnya untuk mencari perawatan medis. Pasien yang melakukan medical tourism disebut medical tourist. Biasanya medical tourist tidak melakukan perjalanan terlalu jauh dari negara tempat tinggalnya. Tujuan paling dekat adalah negara tetangga, sedangkan tujuan terjauh pun adalah negara-negara yang masih dalam satu benua dengan negara tempat tinggalnya. Dikutip dari Excel International Journal of Multidisciplinary Management Studies, medical tourist dari benua Asia memfavoritkan China, India, Malaysia, Singapura, Korea Selatan, Filipina, Taiwan dan Turki sebagai tujuan medical tourism. Sayangnya, Indonesia masih belum menjadi pilihan mereka.

Tidak jarang perawatan medis yang dikehendaki para medical tourist sebenarnya tersedia di negara tempat tinggal mereka. Namun karena berbagai alasan, mereka lebih memilih perawatan medis di luar negeri. Ada lima faktor yang menjadi penyebab medical tourist mencari perawatan medis di luar negeri. Dikutip dari SQU Medical Journal, kelima faktor tersebut adalah keterjangkauan biaya, ketersediaan jenis perawatan medis, kemudahan mendapat perawatan medis, perawatan medis yang dapat diterima serta alasan tambahan.
Keterjangakauan biaya sangat mungkin menjadi alasan utama para pasien mencari perawatan medis ke luar negeri. Misalnya, di Indonesia seorang pasien harus mengeluarkan biaya Rp. 150.000.000 untuk suatu jenis perawatan medis. Bila pasien pergi ke negara tetangga yang menyediakan perawatan sama tapi dengan biaya lebih murah, maka uang yang dikeluarkan pasien tersebut akan bernilai plus plus. Dengan Rp. 150.000.000 itu ia bisa mendapatkan perawatan medis yang baik sekaligus bisa berwisata di negara tujuannya. Sekali mendayung, dua tiga pulau terlampaui. Ketersediaan jenis perawatan medis menjadi alasan kedua seseorang mencari perawatan medis ke luar negeri. Ini memiliki dua pengertian: di negara tempat tinggal pasien memang tidak ada jenis perawatan yang dicari atau di negara tempat tinggal pasien sebenarnya ada jenis perawatan yang dicari namun pasien tidak mempercayai perawatan tersebut. Kedua pengertian ini menjadi dasar pendorong seseorang pergi ke luar negeri untuk mencari perawatan medis. Kemudahan mendapat perawatan medis membuat pasien berbondong-bondong pergi ke luar negeri. Bila perawatan di negeri sendiri sulit didapat, misalnya karena waktu antrian yang panjang, maka mencari perawatan ke luar akan dipilih sebagai solusi. Perawatan medis yang dapat diterima berarti perawatan tersebut tidak bertentangan dengan pertimbangan-pertimbangan pasien. Misalnya pertimbangan agama, pertimbangan politik atau sosial. Bila di negeri sendiri tidak ada perawatan semacam ini, maka pasien tidak akan berpikir panjang untuk lari ke luar negeri. Alasan tambahan yang melatari pasien mencari perawatan ke negara lain dapat bermacam-macam: teknologi perawatan di negara tetangga yang lebih maju, pelayanan di luar negeri yang dirasa lebih profesional dan mungkin alasan untuk sekalian berwisata di negara tetangga. Bila medical tourism dirumuskan dalam sebuah penjumlahan, maka rumusan yang diusulkan dalam Tourismos: An Internatioanl Multidisciplinary Journal of Tourism adalah sebagai berikut:

Medical and Healthcare Services + Tourism and Travel Services + Support Services = MEDICAL TOURISM

Selain potensi keuntungan yang akan didapat para medical tourist di negara tujuan, sederet resiko medical tourism pun berpotensi menimpa mereka. Dalam artikel The Ethics of Medical Tourism Companya Websites yang ditulis Katherine Wertz dan Magdalena Berry, disebutkan sekurangnya terdapat 6 potensi resiko pelaksanaan medical tourism. Asuransi yang tidak mencakup perawatan medis internasional. Asuransi medis dasar yang dimiliki pasien atau asuransi dari pemerintah di negara asal pasien mungkin tidak mencakup perawatan medis internasional. Ini membuat pasien harus membayar biaya tambahan. Efek samping pasca pembedahan. Pada prosedur pembedahan, mungkin saja akan terjadi efek samping pasca pembedahan yang baru diketahui setelah pasien pulang ke negara asal. Untuk menyelesaikan masalah ini, akan cukup merepotkan pasien bila harus kembali lagi ke negara tempatnya mendapat perawatan. Efek samping itu juga dapat berasal dari obat yang diberikan dokter. Selain itu, biasanya follow up pasca perawatan medis di negara asing cukup rendah. Bila ada permasalaha pasca perawatan yang terjadi, akan sulit ditangani dengan optimal. Bantuan terhadap terjadinya malpraktek. Beberapa negara yang menawarkan prosedur medis yang sangat menarik biasanya hanya membantu sedikit bila terjadi kasus malpraktek pada pasien asing. Jelek-jeleknya bisa dibilang bila pasien tertimpa kasus malpraktek, dia hanya bisa pasrah. Terpapar virus di negara tujuan perawatan medis. Selain membawa oleh-oleh suvenir dari negara tujuan perawatan medis, bila para medical tourist memiliki daya tahan tubuh yang rendah, dia juga dapat membawa pulang virus-virus yang hidup di negara tersebut. Kesenjangan komunikasi. Ketika melakukan medical tourism, seorang medical tourist harus mampu berkomunikasi menggunakan bahasa internasional. Ada kalanya kemampuan berbahasa asing yang dimiliki medical tourist kurang baik sehingga menyulitkan saat berkomunikasi dengan dokter yang menanganinya. Bila komunikasi saja sulit, maka informasi yang didapat medical tourist tersebut tidak akan optimal. Perjalanan panjang. Setelah mendapat tindakan pembedahan, seharusnya pasien bersitirahat secara optimal baik di rumah. Namun pasien asing tidak bisa seperti itu. Setelah mendapatkan perawatan medis, khususnya tindakan bedah, pasien asing harus menempuh perjalanan yang cukup jauh untuk tiba di rumah dan beristirahat dengan optimal.

Berkaca dari fenomena medical tourism, Indonesia harus berbenah diri dalam hal pelayanan kesehatan. Selain untuk penduduknya sendiri, Indonesia juga harus siap memberikan pelayanan kesehatan terbaik bagi masyarakat negara asing. Indonesia sebenarnya tidak jelek-jelek amat, bahkan ada salah satu situs agen medical tourism (surgeryplanet.com) yang menjadikan Indonesia sebagai tujuan perawatan medis. Alasan surgeryplanet.com bekerja sama dengan fasilitas kesehatan di Indonesia adalah karena Indonesia dapat memberi perawatan medis yang cukup murah, berkualitas baik dan panorama daerah-daerah Indonesia yang cantik yang layak dikunjungi oleh medical tourist. Ini potensi besar yang bisa kita olah karena saat ini sudah banyak negara yang menjadikan medical tourism seperti industri nasional. Agar dapat menjadi pilihan para medical tourist, penyelenggara layanan kesehatan, aspek pariwisata dan aspek pendukung di Indonesia harus menunjukkan sisi terbaiknya. Tidak bisa biasa-biasa saja.

Penyelenggara layanan kesehatan di Indonesia bisa bekerja sama dengan agen medical tourism untuk mempromosikan pelayanan terbaik yang dipunyai. Dalam berpromosi, pilihlah agen medical tourism yang baik dan buat kesepakatan untuk menyajikan informasi dengan cara-cara sesuai etika. Bila menginformasikan tentang tindakan-tindakan medis yang bisa didapat oleh para medical tourist, maka agen medical tourism tersebut harus menyampaikan juga detail perawatan medis tersebut, alat-alat yang digunakan dan efek samping yang mungkin mengiringi perawatan tersebut.

Bagi penyelenggara layanan kesehatan, siapkanlah pelayanan paripurna bagi calon medical tourist. Penyelenggara layanan kesehatan bisa membuat paket yang berisi perawatan sekaligus penanganan bila terjadi efek samping perawatan hingga follow up perawatan. Karena medical tourist bertempat tinggal jauh dari lokasi penyelenggara layanan kesehatan, paket konsultasi menggunakan media elektronik pastinya akan sangat bermanfaat. Penyediaan penerjemah dari pihak penyelenggara layanan kesehatan juga akan sangat membantu medical tourist. Jangan lupa, penyelenggara layanan kesehatan juga perlu menyiapkan biaya untuk membayar agen medical tourism yang diajak bekerja sama. Untuk meningkatkan nilai jual dimata internasional, penyelenggaran layanan kesehatan khususnya rumah sakit perlu mendapatkan akreditasi internasional dari JCI (Joint Comission International). Dengan akreditasi ini, calon medical tourist menjadi tahu bahwa rumah sakit yang menjadi tujuannya memiliki kualitas layanan kesehatan yang sesuai dengan standar dunia.

Selain persiapan seputar penyelenggaraan layanan kesehatan, persiapan "di luar" itu juga harus diperhatikan. Sebagaimana rumusan "medical tourism = medical and health services + tourism and travel services + support services", maka daya tarik Indonesia di sisi pariwisata dan pendukung juga perlu ditonjolkan. Misalnya mal-mal cantik dan modern di kota-kota besar, wisata alam di beberapa daerah di Indonesia atau situs-situs bersejarah yang ada di Indonesia. Perlu dilakukan pembenahan lokasi-lokasi wisata Indonesia yang masih semrawut dan perawatan rutin untuk lokasi-lokasi wisata yang sudah baik dan terkenal di dunia. Beruntung bila di dekat lokasi penyelenggara layanan kesehatan terdapat tempat-tempat wisata yang bisa dikunjungi medical tourist tanpa perlu menggunakan alat transportasi. Bila medical tourist harus menggunakan sarana transportasi, Indonesia perlu menyiapkan berbagai alternatif sarana transportasi yang terjangkau, aman dan nyaman bagi mereka. Bila negara-negara lain memiliki pengawasan dan tindakan yang lemah terhadap kasus malpraktek pada medical tourist, maka Indonesia harus berbeda. Bila ada penyelenggara layanan kesehatan di negara asing menyelenggarakan perawatan medis yang belum teruji, maka penyelenggara layanan kesehatan di Indonesia tidak boleh seperti itu. Semua aspek yang mendukung medical tourism harus dipersiapkan sebaik-baiknya di Indonesia.

Dengan adanya pembenahan total dalam aspek medis, pariwisata dan pendukung, maka bukan tidak mungkin negara Indonesia akan segera menjadi tujuan medical tourism minimalnya untuk penduduk benua Asia. Kita tidak bisa hanya melarang penduduk Indonesia memilih perawatan medis di negeri orang. Tetapi kita sendiri yang harus berusaha menarik minat penduduk Indonesia, khususnya dan masyarakat dunia pada umumnya untuk memilih perawatan medis di Indonesia. Boleh dibilang bila kita hanya sibuk melihat rumput tetangga yang lebih hijau, maka rumput di taman kita akan kering kemudian mati sendiri. Bila kita hanya sibuk memandang negara lain yang dijadikan tujuan medical tourism oleh penduduk Indonesia, lama-lama negara kita sendiri yang akan ketinggalan. Indonesia juga layak menjadi tujuan medical tourism, asal ada kemauan untuk berubah lebih baik.

Sumber : Majalah Dental&Dental diterbitkan November-Desember 2012

tampilan web karsDalam rangka meningkatkan mutu pelayanan di RS, saat ini pemerintah telah memperbaiki dan menyempurnakan sistem akreditasi RS di indonesia. Sistem akreditasi versi baru tersebut akan mulai diterapkan pada tahun 2012. Perbedaan sistem akreditasi baru ini terletak pada standarnya yang fokus pada pasien serta menilai tidak hanya pada standar input dan dokumen melainkan pada proses hingga outcome. Selain itu apabila standar akreditasi KARS yang lama lemah pada implementasi, maka standar akreditasi baru ini kuat pada implementasi dan harus melibatkan seluruh staf.

Perbaikan Budaya Organisasi, Kunci Perbaikan Mutu Organisasi
Kebiasaan akan membentuk sikap. Sikap akan membentuk karakter

drg. Puti Aulia Rahma, MPH
(seperti ditulis dalam Majalah Dental&Dental edisi Juli-Agustus 2012)

Bila Anda seorang klinisi sekaligus pimpinan sarana pelayanan kesehatan (baik klinik dental, puskesmas, rumah sakit atau lainnya) dan melihat bahwa mutu organisasi yang anda pimpin mengalami penurunan, maka Anda harus segera meninjau dan memperbaiki budaya kerja di organisasi yang anda pimpin!

Dalam kuliah yang disampaikan oleh Dr. Atik Triratnawati, MA seorang Doktor dari Jurusan Antropologi Fakultas Ilmu Budaya UGM, disampaikan bahwa karena organisasi di jalankan oleh manusia, maka organisasi dapat dipandang sebagai makhluk hidup. Organ-organ (baca: individu-individu) di dalam organisasi membawa kebiasaan – kebiasaan individu kemudian berkembang menjadi sikap dan ujungnya adalah menjadi karakter organisasi. Kebiasaan-kebiasaan ini lama-lama akan dianggap wajar dan seolah di"sah"kan sebagai budaya organisasi. Dalam buku Organizational Behaviour karangan Robert Kreitner dan Angelo Kinicki, budaya awal organisasi merupakan perkembangan dari nilai-nilai para pendirinya dan filosofi bisnis yang didirikan. Seiring perkembangan kehidupan organisasi, budaya asli organisasi akan melekat seperti semula atau berkembang mengikuti kondisi lingkungan saat ini.

Budaya berasal dari bahasa Sansekerta, yaitu buddhayah yang berarti segala hal yang berkaitan dengan budi dan akal manusia. Dalam bahasa Inggris, budaya disebut culture yang berasal dari kata Latin yaitu colere yang berarti mengolah atau mengerjakan. Dari pengertian di atas dapat dikatakan bahwa budaya adalah sesuatu yang dapat dipikirkan, dibentuk, dipelajari dan diterapkan. Oleh karena itu, dalam buku Organizational Behaviour karangan Robert Kreitner dan Angelo Kinicki, anggota organisasi perlu diajarkan mengenai nilai-nilai, kepercayaan, harapan dan perilaku organisasi melalui mekanisme-mekanisme sebagai berikut: a) Adanya pernyataan formal mengenai filosofi organisasi, misi, visi, nilai-nilai dan instrumen yang digunakan pada saat perekrutan, seleksi dan sosialisasi anggota baru; b) Pembuatan desain ruangan, lingkungan kerja dan gedung yang sesuai dengan budaya organisasi; c) Pembuatan slogan, akronim dan kata-kata khusus; d) Pimpinan memberi contoh langsung, melakukan pelatihan, pendidikan dan pembinaan terhadap anggota; e) Pemberian hadiah, status dan promosi kepada anggota organisasi; f) Cerita, legenda dan mitos mengenai orang-orang kunci di organisasi; g) Aktivitas organisasi, proses atau keluaran yang sangat di perhatikan oleh pimpinan; h) Reaksi pimpinan terhadap peristiwa kritis atau krisis organisasi; i) Bentuk alur kerja dan struktur organisasi; j) Sistem dan prosedur organisasi, dan; k) Penetapan tujuan organisasi dan kriteria yang dikaitkan dalam perekrutan, seleksi, pengembangan, promosi, pemberhentian dan pengunduran diri anggota organisasi.
Supaya individu-individu di dalam organisasi lebih patuh terhadap budaya organisasi yang telah terbentuk, selain dibekali pelatihan untuk menjadi leader yang baik, setiap individu perlu dibekali pelatihan untuk menjadi follower yang baik. Bagi individu yang menempati posisi sebagai leader, dia harus ikhlas memimpin dan mengarahkan bawahannya sesuai budaya organisasi yang terbentuk. Individu yang menempati posisi sebagai follower harus ikhlas dipimpin dan diarahkan sesuai budaya organisasi yang terbentuk. Bila individu-individu dalam organisasi sudah meresapi nilai-nilai dari organisasi, maka budaya yang terbentuk akan lebih ajeg diterapkan.
Lalu apa hubungan antara budaya dan dengan perbaikan mutu?
Dalam buku Total Quality Management karangan Vincent Gasperz, disebutkan bahwa mutu adalah sesuatu yang mampu memenuhi kebutuhan pelanggan karena keistimewaan atau keunggulan suatu produk dapat diukur dari kepuasan pelanggan. Dalam buku Handbook of Organizational Culture and Climate yang diedit oleh Neal M. Ashkanasy, dkk., disebutkan bahwa dalam budaya terkandung hal-hal terkait mutu dan inovasi yaitu values atau nilai-nilai dan norms atau norma.
Values adalah segala hal terkait budaya organisasi. Values juga mempengaruhi perilaku spesifik anggota organisasi. Bila anggota organisasi memiliki values yang baik dalam hal mutu, maka perilakunya tentu akan mengarah kepada hal-hal baik. Beberapa values dalam organisasi yang berorientasi Total Quality Management (TQM) yaitu: pelayanan bermutu yang beriorientasi kepada pelanggan; pengembangan berkelanjutan; pegawai yang menyelesaikan pekerjaan dengan baik dan saling menghormati; adanya komunikasi, kerjasama dan kerja tim; manajemen berdasarkan fakta; pencegahan masalah mutu; fokus strategis jangka panjang dan tanggungjawab publik. Di bawah manajemen yang berdasarkan values, anggota organisasi diberikan arahan tidak secara harfiah namun dalam bentuk penggambaran sasaran, tujuan dan hasrat organisasi.
Norms atau norma-norma, dalam konteks budaya organisasi dapat diterjemahkan sebagai "serangkaian cara yang dilakukan di dalam organisasi". Secara umum, norms memiliki 2 aspek: apa yang orang lakukan dan pemahaman mengenai apa yang seharusnya dilakukan seseorang. Norms yang tepat dibutuhkan dalam hal mutu. Hal ini dapat berarti sebagai berikut: kita akan menjadi organisasi yang berorientasi TQM hanya bila TQM dijadikan norms dalam organisasi kita. Norms dan values saling berkaitan. Norms menunjukkan values yang dapat diidentifikasi, misalnya terdapat nilai kerjasama sebagai values tersembunyi dari kegiatan berbagi informasi. Adanya keterkaitan ini menunjukkan bahwa baik norms maupun values mengarah kepada sebuah perilaku.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa budaya mengandung values dan norms yang diterjemahkan dalam bentuk perilaku organisasi. Bila organisasi memiliki budaya yang berorientasi mutu, maka perilaku organisasi juga akan menunjukkan mutu. Agar perilaku ini dapat membawa kepada perbaikan mutu organisasi, menurut buku Handbook of Organizational Culture and Climate yang diedit oleh Neal M. Ashkanasy, dkk., ada 3 hal yang perlu dilakukan: pelatihan, pengukuran dan pemberian hadiah. Pelatihan dapat dianggap faktor sukses bagi mutu organisasi. Bila terdapat konsep mutu yang baru dalam organisasi, maka pelatihan memainkan peran penting. Anggota organisasi perlu diberikan pelatihan mengenai konsep baru tersebut dan juga pelatihan perilaku antar anggota. Setelah anggota organisasi diberikan pelatihan, maka dampak dari pelatihan itu perlu diukur. Banyak sekali aspek yang dapat diukur dalam manajemen mutu misalnya komponen-komponen dalam proses produksi, atau transaksi-transaksi di dalam proses pelayanan pengukuran. Pengukuran juga dapat dilakukan dengan melihat tingkat kecacatan produksi atau tingkat ketidakpuasan pelanggan. Bila anggota organisasi sudah menunjukkan perilaku baik yang berdampak baik bagi organisasi, maka mereka layak mendapat hadiah. Pemberian hadiah dalam bentuk nyata kepada anggota organisasi dapat membantu meningkatkan mutu organisasi. "Budaya" pemberian hadiah atau "budaya menghargai" ini dapat digunakan sebagai dorongan bagi anggota organisasi untuk mengusahakan kinerja yang lebih baik. Adanya budaya menghargai ini, akan membuat kerja tim dan segala peningkatan kinerja anggota organisasi nampak bernilai di mata pimpinan (pihak dalam) dan akan berujung kepada penghargaan dari para pelanggan (pihak luar).
Sebagai penutup, bila organisasi yang Anda pimpin mengalami penurunan mutu, maka lihatlah budaya organisasi yang berkembang di dalamnya. Bila ternyata budaya yang berkembang memang kurang baik, maka perlu dilakukan modifikasi budaya menjadi lebih baik yang sesuai kondisi organisasi Anda saat ini. Dari uraian di atas ditunjukkan bahwa budaya organisasi memang dibentuk mulai dari puncak pimpinan, namun harus disosialisasikan juga kepada para anggota organisasi. Berikan pelatihan, pengukuran dan pemberian hadiah kepada anggota organisasi. Jadilah pimpinan yang tidak hanya dapat memberi contoh baik kepada anggota organisasi, tetapi juga menjadi pimpinan yang mampu menghargai kinerja bermutu baik yang dilakukan anggota organisasi. Dengan adanya penghargaan ini, anggota organisasi akan terpacu untuk terus mengusahakan yang terbaik bagi organisasi tempatnya bernaung.