Learn, Connect, Growth | Tingkatkan Mutu Pelayanan Kesehatan Indonesia

Headline

Oleh: Eva Tirtabayu Hasri Skep.,MPH

art-20mei-2Pembedahan merupakan salah satu tindakan medis yang penting dalam pelayanan kesehatan. Tindakan pembedahan merupakan salah satu tindakan medis yang bertujuan untuk menyelamatkan nyawa, mencegah kecacatan dan komplikasi. Namun demikian, pembedahan yang dilakukan juga dapat menimbulkan komplikasi yang dapat membahayakan nyawa (WHO, 2009). Data World Health Organization (WHO) menunjukkan bahwa selama lebih dari satu abad perawatan bedah telah menjadi komponen penting dari perawatan kesehatan di seluruh dunia. Diperkirakan setiap tahun ada 230 juta operasi utama dilakukan di seluruh dunia, satu untuk setiap 25 orang hidup (Haynes, et al. 2009).

Penelitian di 56 negara dari 192 negara anggota WHO tahun 2004 diperkirakan 234,2 juta prosedur pembedahan dilakukan setiap tahun berpotensi komplikasi dan kematian (Weiser, et al. 2008). Berbagai penelitian menunjukkan komplikasi yang terjadi setelah pembedahan. Data WHO menunjukkan komplikasi utama pembedahan adalah kecacatan dan rawat inap yang berkepanjangan 3-16% pasien bedah terjadi di negara-negara berkembang. Secara global angka kematian kasar berbagai operasi sebesar 0,2-10%. Diperkirakan hingga 50% dari komplikasi dan kematian dapat dicegah di negara berkembang jika standar dasar tertentu perawatan diikuti (WHO, 2009).

Kejadian luka traumatis, kanker dan penyakit kardiovaskular terus meningkat. WHO memprediksi bahwa dampak dari intervensi bedah pada sistem kesehatan masyarakat akan juga terus tumbuh. Untuk alasan ini, WHO telah melakukan inisiatif untuk upaya keselamatan bedah. Dunia Aliansi untuk keselamatan pasien mulai bekerja pada Januari 2007 dan WHO mengidentifikasi tiga fase operasi yaitu sebelum induksi anestesi ("sign in"), sebelum sayatan kulit ("time out"), dan sebelum pasien meninggalkan ruang operasi ("sign out") (Cavoukian, 2009). Tiga fase operasi sebelum seperti pada gambar dibawah ini:

art-20mei-1

  1. Fase Sign In
    Fase sign In adalah fase sebelum induksi anestesi koordinator secara verbal memeriksa apakah identitas pasien telah dikonfirmasi, prosedur dan sisi operasi sudah benar, sisi yang akan dioperasi telah ditandai, persetujuan untuk operasi telah diberikan, oksimeter pulse pada pasien berfungsi. Koordinator dengan profesional anestesi mengkonfirmasi risiko pasien apakah pasien ada risiko kehilangan darah, kesulitan jalan nafas, reaksi alergi.
  2. Fase Time Out
    Fase Time Out adalah fase setiap anggota tim operasi memperkenalkan diri dan peran masing-masing. Tim operasi memastikan bahwa semua orang di ruang operasi saling kenal. Sebelum melakukan sayatan pertama pada kulit tim mengkonfirmasi dengan suara yang keras mereka melakukan operasi yang benar, pada pasien yang benar. Mereka juga mengkonfirmasi bahwa antibiotik profilaksis telah diberikan dalam 60 menit sebelumnya.
  3. Fase sign out
    Fase Sign Out adalah fase tim bedah akan meninjau operasi yang telah dilakukan. Dilakukan pengecekan kelengkapan spons, penghitungan instrumen, pemberian label pada spesimen, kerusakan alat atau masalah lain yang perlu ditangani. Langkah akhir yang dilakukan tim bedah adalah rencana kunci dan memusatkan perhatian pada manajemen post operasi serta pemulihan sebelum memindahkan pasien dari kamar operasi (Surgery & Lives, 2008).

Kematian dan komplikasi akibat pembedahan dapat dicegah. Salah satu pencegahannya dapat dilakukan dengan surgical safety checklist. Surgical Safety Checklist adalah sebuah daftar periksa untuk memberikan pembedahan yang aman dan berkualitas pada pasien. Surgical safety checklist merupakan alat komunikasi untuk keselamatan pasien yang digunakan oleh tim profesional di ruang operasi. Tim profesional terdiri dari perawat, dokter bedah, anestesi dan lainnya. Tim bedah harus konsisten melakukan setiap item yang dilakukan dalam pembedahan mulai dari the briefing phase, the time out phase, the debriefing phase sehingga dapat meminimalkan setiap risiko yang tidak diinginkan (Safety & Compliance, 2012).

Telah dilakukan uji coba penggunaan surgical safety checklist di delapan rumah sakit di dunia. Hasil penelitian di delapan rumah sakit menunjukkan penurunan kematian dan komplikasi akibat pembedahan. Dari total 1750 pasien yang harus dilaksanakan operasi dalam 24 jam (emergency) dibagi 842 pasien sebelum pengenalan surgical safety checklist dan 908 pasien setelah pengenalan surgical safety checklist. Dari 842 pasien yang belum diberikan pengenalan surgical safety checklist mendapat komplikasi pembedahan 18,4% (N=151) dan setelah diberikan pengenalan surgical safety checklist angka komplikasi menjadi 11,7% (N=102). Data kematian sebelum pengenalan surgical safety checklist 3,7% menjadi 1,4% (Weiser, et al. 2010). Komplikasi bedah setelah penggunaan surgical safety checklist secara keseluruhan turun dari 11% sampai 7%, dan angka kematian menurun dari 1,5% menjadi 0,7% (Howard, 2011).

Beberapa penelitian tentang penggunaan SSCL menghasilkan:

  1. surgical safety checklist dapat menurunkan angka kematian dan komplikasi (Robertson & Vijayarajan 2010 ; Latosinsky, et al. 2010) . Penelitian di negara Amerika Serikat menunjukkan adanya penurunan angka komplikasi dari 11 % menjadi 7% dan penggunaan antibiotik profilaksis yang meningkat dari 56% menjadi 83%, infeksi luka operasi (ILO) berkurang 33% sampai 88% (Baldrige & Quality, 2009).
  2. Menurunkan surgical site infection dan mengurangi risiko kehilangan darah lebih dari 500 ml. Penelitian Weiser menunjukkan angka infeksi luka operasi (ILO) mengalami penurunan setelah dilakukan penelitian dengan menggunakan SSCL. Angka ILO turun dari 11,2% menjadi 6,6% dan risiko kehilangan darah lebih dari 500 ml turun dari 20,2% menjadi 13,2% (Weizer, et al. 2008).
  3. Menurunkan proporsi pasien yang tidak menerima antibotik sampai insisi kulit. Vries pada penelitiannya tentang 'a surgical Patient safety system" menghasilkan penerapan SSCL pra operasi menghasilkan waktu yang lebih lama dari 23,9-29,9 menjadi 32,9 menit, akan tetapi jumlah pasien yang tidak menerima antibiotik sampai insisi kulit menurun sebesar 6% (Vries, et al. 2009).
  4. Fungsi yang paling umum adalah menyediakan informasi yang detail mengenai kasus yang sedang dikerjakan, korfimasi detail, penyuaraan fokus diskusi dan pembentukan tim (Lingard et al. 2005).
  5. Penggunaan ceklist kertas merupakan salah satu solusi karena ceklist kertas dapat disediakan dengan cepat dan membutuhkan biaya sedikit, selain itu ceklist kertas juga dapat disesuaikan ukuran dan bentuknya sesuai dengan kebutuhan serta tidak memerlukan penguasaan teknologi yang tinggi untuk mengisinya (Verdaasdonk et al. 2009).

Referensi :
Hasri, Eva Tirtabayu. 2012. Praktik Keselamatan Pasien Bedah di RSUD X. Tesis. Universitas Gadjah Mada Yogyakarta

 

Oleh: dr. Hanevi Djasri, MARS

art-6meiKeselamatan pasien atau patient safety merupakan hal yang marak dibicarakan dalam dunia medis belakangan ini. Pertemuan tahunan Joint Comission International tahun 2005 telah menekankan mengenai pentingnya pelayanan kesehatan yang aman. Kesalahan yang terjadi pada upaya pelayanan kesehatan adalah kesalahan dalam mendiagnosis, kesalahan dalam menggunakan alat bantu penegakan diagnosis, kesalahan dalam melakukan follow up, pengobatan yang salah atau kejadian yang tidak diharapkan setelah pemberian pengobatan. Permasalahan-permasalahan diatas dapat terjadi karena penggunaan teknologi yang tidak diimbangi kompetensi penggunanya, bertambahnya pemberi pelayanan kesehatan tanpa mengindahkan komunikasi antar individu serta tingginya angka kesakitan serta kecelakaan, perlunya pengambilan keputusan yang cepat dan tepat yang menyebabkan stressor tersendiri serta kelelahan yang dialami oleh para staff medis karena keterbatasan jumlah staff yang tersedia. Salah satu budaya patient safety adalah mengkomunikasikan kesalahan, melaporkan kesalahan dengan tetap berpegang pada keselamatan pasien dan belajar dari kesalahan dan mendesain ulang sistem keselamatan pasien yang lebih baik. Untuk menyelesaikan permasalahan yang terjadi, dicetuskan suatu ide sistem analisis yang proaktif sebagai strategi pencegahan error.

Root cause merupakan alasan yang paling mendasar terjadinya kejadian yang tidak diharapkan. Apabila permasalahan utama tidak dapat diidentifikasi, maka kendala-kendala kecil akan makin bermunculan dan masalah tidak akan berakhir. Oleh karena itu, mengidentifikasi dan mengeliminasi akar suatu permasalahan merupakan hal yang sangat penting. Root cause analysis merupakan suatu proses mengidentifikasi penyebab-penyebab utama suatu permasalahan dengan menggunakan pendekatan yang terstruktur dengan teknik yang telah didesain untuk berfokus pada identifikasi dan penyelesaian masalah.

Di Amerika telah dilakukan 2840 root cause analysis pada berbagai bidang, seperti kasus bunuh diri pada pasien rawat jalan, komplikasi post operatif, kesalahan pemberian obat, kematian pasien karena keterlambatan penanganan, kematian perinatal, kasus infeksi, kasus anestesi dan lainnya. Penelitian tersebut dilakukan di RS umum, RS jiwa, unit gawat darurat, unit psikiatri, long term care facility, home care facility dan laboratorium klinis. Root cause analysis dipercaya mampu menurunkan terjadinya kejadian yang tidak diharapkan.

Root cause analysis memberikan jalan keluar yang lebih baik, tidak sekedar "faktor A menyebabkan kejadian B", namun "Dengan mengubah faktor A, maka kemungkinan rekurensi kejadian B dapat dikurangi atau bahkan dicegah." Mempelajari root cause analysis secara tepat merupakan kajian yang penting untuk diperkenalkan kepada para pemberi pelayanan kesehatan.

Berikut ini adalah langkah-langkah RCA dan tools yang dapat digunakan pada setiap langkah

Langkah Deskripsi Note and Tools
1 Bentuk Tim (Organize a team) Anggota tim kurang dari 10
2 Rumuskan masalah (Define the problem) Brainstorming, multivoting, FMEA
3 Pelajari Masalah (Study the problem) Braintorm, flowchart, pareto, scatter, affinity diagram, etc
4 Tentukan apa yang terjadi (Determine what happen) Flow chart, timeline
5 Identifikasi faktor penyebab (Identify contributing factors) Control chart, tree analysis, FMEA
6 Identifikasi faktor-faktor lain yang ikut mendorong terjadinya insiden (Identify other contributing factors) Brainstorm, affinity diag, cause-effect diagram
7 Ukur, kumpulkan dan nilai data berdasar penyebab utama dan terdekat. (Measure, collect and assess data on proximate and underlying causes) Kembangkan indikator
8 Desain dan implementasikan perubahan sementara (Design and implement interim changes) Gantt chart
9 Identifikasi sistem mana yang terlibat (akar penyebab)(Identify which systems are involved (the root causes)) Flow chart, cause effect diag, FMEA, tree analysis (analisis pohon), barrier analysis
10 Pendekkan/kurangi daftar akar penyebab (Prune the list of root causes)
11 Pastikan/konfirmasikan akar penyebab (Confirm root causes)
12 Cari dan identifikasi strategi pengurangan risiko (Explore & identify risk-reduction strategies) FMEA
13 Formulasikan tindakan perbaikan (Formulate improvement actions) Brainstorm, flow chart, cause effect diagram (diagram sebab akibat)
14 Evaluasi tindakan perbaikan yang diajukan (Evaluate Proposes Improvement Actions)
15 Desain perbaikan (Design improvements) Gantt chart
16 Pastikan rencana diterima (Ensure acceptability of the action plan)
17 Terapkan rencana perbaikan (Implement the Improvement Plan) PDCA, critical path
18 Kembangkan cara pengukuran efektiftifitas dan pastikan keberhasilannya (Develop measures of effectiveness and ensure their success)
19 Evaluasi penerapan rencana perbaikan (Evaluate implementation of improvement plan) Run chart, control chart, histogram
20 Lakukan tindakan tambahan (Take additional action)
21 Komunikasikan hasilnya (Communicate the results)

 

 

Oleh: Hanevi Djasri, dr, MARS

art-6mei-2Banyaknya kejadian tidak diharapkan (KTD) yang sebenarnya dapat dicegah di rumah sakit telah lama menjadi pusat perhatian, di Amerika the Joint Comission on Accreditation of Health Organization (JCAHO) mewajibkan rumah sakit untuk melakukan setidaknya satu Failure Mode and Effects Analysis (FMEA) setiap tahun untuk dapat mengidentifikasi berbagai upaya pencegahan. FMEA awalnya dikembangkan di luar bidang pelayanan kesehatan dan sekarang digunakan di pelayanan kesehatan untuk menilai resiko kegagalan dan kesalahan pada berbagai proses dan untuk mengidentifikasi area-area penting yang membutuhkan perbaikan. Di bidang kesehatan sendiri, di Amerika FMEA telah diterapkan di ratusan rumah sakit dalam berbagai program perbaikan pelayanan kesehatan.

Program perbaikan pelayanan kesehatan yang dapat bertahan lama dan dapat mengurangi kemungkinan kegagalan hanya dapat dicapai melalui perbaikan sistem. Failure mode and effects analysis (FMEA) merupakan suatu teknik yang digunakan untuk perbaikan sistem yang telah terbukti dapat meningkatkan keselamatan. FMEA merupakan teknik yang berbasis tim, sistematis, dan proaktif yang digunakan untuk mencegah permasalahan dari proses atau produk sebelum permasalahan tersebut muncul/terjadi. FMEA dapat memberikan gambaran tidak hanya mengenai permasalahan-permasalahan apa saja yang mungkin terjadi namun juga mengenai tingkat keparahan dari akibat yang ditimbulkan.

Berikut ini adalah langkah-Langkah Failure Mode and Effect Analysis menurut Joint Comission Resources

Langkah Deskripsi
1 Menentukan proses yang mempunyai resiko tinggi dan membentuk tim (Select a high-risk process and assemble a team) … lihat HFMEA Decision Tree
2 Menyusun diagram proses (Diagram the process)
3 Brainstorming potential failure modes dan akibat-akibat yang ditimbulkan (Brainstorm potential failure modes and determine their effects)
4 Menentukan prioritas failure modes (Prioritize failure modes) … lihat Langkah Penetapan Prioritas berdasarkan Risk Priority Number (RPN)
5 Identifikasi akar penyebab masalah dari failure modes (Identify root causes of failure modes)
6 Membuat rancangan ulang proses (Redesign the process)
7 Analisa dan pengujian proses baru (Analyze and test the new process)
8 Implementasi dan monitoring rancangan ulang proses (Implement and monitor the new process)

Langkah untuk menentukan apakah failure modes perlu ditindak lanjuti dengan HFMEA Decision Tree

art-6mei-2a

Langkah Penetapan Prioritas berdasarkan Risk Priority Number (RPN)

# Tahapan Proses Kegagalan OCC SEV DET RPN Prioritas
1              
2              
3              
4              

Diringkas oleh : dr. Sitti Noor Zaenab, M.Kes

art29apr-3Masalah dalam pelayanan yang berhubungan dengan diagnosis sering menjadi penyebab kasus tuntutan hukum. Beberapa penulis menyatakan bahwa kesalahan diagnosis akan menyebabkan kerugian pada pasien, namun lebih mudah dicegah dari pada kesalahan yang berhubungan dengan pengobatan (seperti pembedahan pada tempat yang salah atau dosis obat yang tidak tepat), menyebabkan masalah ini menjadi penting.

Target keselamatan pasien yang terkait dengan kesalahan diagnosis meliputi diagnosis yang "tertunda secara tidak sengaja" (informasi yang cukup sudah tersedia sebelumnya), "diagnosis yang keliru" (diagnosis lain telah dibuat sebelum diagnosis yang benar) atau "diagnosis terlewat" (tidak ada diagnosis yang diberikan). Diagnosis yang terlewat, terlambat, atau tidak tepat dapat menyebabkan pelayanan pasien yang tidak pada tempatnya, kondisi pasien yang buruk, dan biaya yang meningkat.

Dalam jurnalnya, Kathryn, M et al. (2013) menjelaskan bahwa 2 - 61 % pasien mengalami diagnosis terlewat atau tertunda. Dalam survey tentang kedokteran anak, 54% mengakui telah salah mendiagnosis setidaknya satu kali dalam sebulan, dan 45% menyatakan melakukan kesalahan diagnosis yang menyakiti pasien paling sedikit sekali dalam satu tahun. Kurangnya informasi historis atau klinis yang berhubungan dengan itu serta proses tim (contohnya koordinasi perawatan yang tidak memenuhi) turut menyumbang dalam kesalahan.

Kathryn, M et al. (2013) menyatakan adanya pendekatan strategi keselamatan pasien (Patient Safety Strategies/PSS) yang mengarah pada jenis kesalahan diagnosisi, akar penyebab kesalahan atau teknologi tertentu yang tersedia. Berikut kategori tindakan organisasi untuk mengurangi kesalahan diagnosis

  1. Teknis: Strategi teknis menjelaskan mengenai peenemuan tindakan-tindakan yang dapat mengembangkan diagnosis (contohnya pengembangan visual melalui biopsi dengan panduan ultrasonografi, perubahan pada jumlah inti biopsi, colonoscopy yang dicocokkan dengan struktur cap) atau tidak membuatnya lebih buruk (contohnya tindakan medis untuk meringankan nyeri pada pasien yang mengalami sakit perut).
  2. Perubahan Personal: Pengenalan anggota-anggota pelayanan kesehatan tambahan dan mengganti pegawai tertentu dengan yang lain
  3. Tindakan Edukasional: Implementasi strategi pendidikan, kurikulum pelatihan setempat dan pemeliharaan perubahan sertifikasi
  4. Perubahan Proses Terstruktur: Implementasi pengumpan balik atau tahap-tahap tambahan dalam tahapan diagnosis
  5. Tindakan Sistem berbasis Teknologi: Implementasi perangkat berbasis teknologi pada tingkat sistem seperti menolong diagnosis dengan bantuan komputer, algoritma pendukung keputusan, sinyal pesan teks dan sinyal perantara
  6. Metode-metode Peninjauan lainnya: Pengenalan tinjauan-tinjauan tambahan terhadap hasil uji, dari pelaporan hingga interpretasi

Kathryn, M et al. (2013) menyatakan bahwa bukti paling kuat terdapat pada sistem yang berdasar pada teknologi (contoh: pemberitahuan melalui SMS) dan teknik spesifik (contoh adaptasi peralatan tes). Selain itu, Kathryn, M et al. (2013) juga menjelaskan dengan mengadakan diagnosis yang tepat dengan strategi pengujian yang tidak efisien (misalnya menentukan urutan tes) bukan menjadi jalan yang tepat untuk meningkatkan keamanan diagnosis.
Sudah saatnya penelitian-penelitian tentang keselamatan pasien digalakkan disini. Hasil penelitian dipakai untuk membuat regulasi yang ketat dan ditegakkan dengan adil, sehingga para pasien yang membutuhkan penyembuhan dan para tenaga kesehatan yang menjalankan tugas dengan benar dan penuh dedikasi mendapat perlindungan yang memadai.

Referensi :

Kathryn, M et al. (2013). Patient Safety Strategies Targeted at Diagnostic Errors : A systematic Review. Annals of Internal Medicine. Volume 158. No 5.