Learn, Connect, Growth | Tingkatkan Mutu Pelayanan Kesehatan Indonesia

Headline

replaIHI

Institute for Healthcare Improvement (www.ihi.org) baru-baru ini mengumumkan bahwa mereka telah mengembangkan alat bantu peningkatan mutu pelayanan kesehatan secara on-line yang disebut sebagai "The IHI Improvement Map". Tools ini menyediakan pedoman yang jelas untuk para pengelola sarana pelayanan kesehatan terutama manajer rumah-sakit untuk menetapkan agenda, memilih prioritas, mengorganisasi kegiatan dan mengelola sumber daya secara efisien dalam upaya peningkatan mutu.

IHI telah mengeluarkan versi percobaan pada bulan Juni 2009, namun demikian versi sebenarnya baru akan dikeluarkan pada bulan September 2009. Pada versi ini para fasilitator upaya peningkatan mutu akan mendapatkan akses interaktif, web-based, yang akan menyediakan informasi terbaik secara manajerial dan klinis untuk membantu rumah-sakit menyediakan pelayanan yang terbaik.

Halaman awal web ini akan ditampilkan pilihan tujuan peningkatan mutu sesuai prioritas yang ditetapkan oleh Institute of Medicine, yang dapat dipilih para pengguna, yaitu: Efektifitas; Efisiensi; Keadilan; Fokus kepada pasien; Keselamatan; dan Ketepatan waktu. Berdasarkan tujuan yang dipilih kemudian akan disajikan berbagai upaya peningkatan mutu yang pernah dilakukan berikut dengan hasil, waktu, biaya dan kesulitan serta level evidence-nya. Lebih lanjut setiap upaya tersebut juga dapat dibaca secara detail untuk mempelajari indikator keberhasilan yang digunakan, hubungannya dengan inisiatif nasional, instrumen dan referensi lain yang digunakan.

Informasi lebih lanjut pada:

http://www.ihi.org/IHI/Programs/ImprovementMap/ImprovementMapPreview.htm

Meski tools ini didesain terutama untuk digunakan oleh rumah-sakit di Amerika, tidak ada salahnya kita pelajari dengan baik untuk kemudian kita kembangkan tools serupa bagi rumah-sakit di Indonesia demi kemajuan bangsa. Dirgahayu Indonesia !

 

 

Implementasi Clinical Pathway Untuk Kendali Mutu
dan Kendali Biaya Pelayanan Kesehatan

Banyak jalan menuju Roma. Supaya tidak bingung, bacalah peta!

drg. Puti Aulia Rahma, MPH
(seperti ditulis dalam Majalah Dental&Dental edisi Januari-Februari 2013)

Ada yang bilang bahwa proses perawatan pasien adalah proses yang sarat seni "bernilai tinggi". Kalimat di atas tidak melulu salah melihat kenyataan bahwa dalam merawat pasien, dokter kadang memberikan pelayanan yang bervariasi sesuai denga ilmu pengetahuan dan "rasa" yang dimilikinya. Ada kalanya, variasi ini memang diperlukan, mengingat masing-masing pasien juga memiliki variasi kondisi tubuh saat bereaksi terhadap obat dan penyakit yang dideritanya. Namun tidak jarang, variasi yang diberikan malah tidak perlu dan bahkan beresiko membebani pasien. Beban yang paling "mudah" dirasakan adalah beban biaya. Agar kondisi seperti ini bisa dikendalikan, implementasi clinical pathway bisa menjadi jawaban.

Clinical pathway adalah alur yang menunjukkan secara detail tahap-tahap penting dari pelayanan kesehatan termasuk hasil yang diharapkan. Secara sederhana dapat dibilang bahwa clinical pathway adalah sebuah alur yang menggambarkan proses mulai saat penerimaan pasien hingga pemulangan pasien. Clinical pathway menyediakan standar pelayanan minimal dan memastikan bahwa pelayanan tersebut tidak terlupakan dan dilaksanakan tepat waktu. Clinical pathway memiliki banyak nama lain seperti: Critical care pathway, Integrated care pathway, Coordinated care pathway, Caremaps®, atau Anticipated recovery pathway.

Menurut dr. Hanevi Djasri, MARS, konsultan dari PMPK FK UGM, terdapat sekitar tujuh tujuan utama implementasi clinical pathway: (1) memilih pola praktek terbaik dari berbagai macam variasi pola praktek, (2) menetapkan standar yang diharapkan mengenai lama perawatan dan penggunaan prosedur klinik yang seharusnya, (3) menilai hubungan antara berbagai tahap dan kondisi yang berbeda dalam suatu proses dan menyusun strategi untuk mengkoordinasi agar dapat menghasilkan pelayanan yang lebih cepat dengan tahap yang lebih sedikit, (4) memberikan informasi kepada seluruh staf yang terlibat mengenai tujuan umum yang harus tercapai dari sebuah pelayanan dan apa peran mereka dalam proses tersebut, (5) menyediakan kerangka kerja untuk mengumpulkan dan menganalisa data proses pelayanan sehingga penyedia layanan dapat mengetahui seberapa sering dan mengapa seorang pasien tidak mendapatkan pelayanan sesuai dengan standar, (6) mengurangi beban dokumentasi klinik, (7) meningkatkan kepuasan pasien melalui peningkatan edukasi kepada pasien (misalnya dengan menyediakan informasi yang lebih tepat tentang rencana pelayanan).

Secara konvensional, clinical pathway ditulis dalam bentuk fomulir matrix dengan aspek pelayanan di satu sisi, dan waktu pelayanan disisi yang lain (gambar 1). Interval waktu biasanya dalam hitungan hari mengikuti instruksi klinik harian, namun hal ini dapat berbeda tergantung dari perjalanan dan perkembangan penyakit atau tindakan yang ada (misalnya clinical pathway untuk penyakit kronis mungkin memilik interval waktu perminggu atau bulan). Umumnya clinical pathway dikembangkan untuk diagnosa atau tindakan yang sifatnya "high-volume", "high-risk" dan "high-cost". Clinical pathway banyak dikembangkan di rumah sakit, namun saat ini secara bertahap sudah mulai diperkenalkan ke sarana pelayanan kesehatan lain seperti nursing home dan home healthcare.

formclinpath

Gambar 1. Formulir Clinical Pathway Konvensional

Menurut dr. Hanevi Djasri, MARS, berbagai proses dapat dilakukan untuk menyusun clinical pathway, salah satunya terdiri dari beberapa tahap sebagai berikut:

  1. Pembentukan tim penyusun clinical pathway.
    Tim penyusun clinical pathway terdiri dari staf multidisplin dari semua tingkat dan jenis pelayanan. Bila diperlukan, tim dapat mencari dukungan dari konsultan atau institusi diluar RS seperti organisasi profesi sebagai narasumber. Tim bertugas untuk menentukan dan melaksanakan langkah-langkah penyusunan clinical pathway.
  2. Identifikasi key players.
    Identifikasi key players bertujuan untuk mengetahui siapa saja yang terlibat dalam penanganan kasus atau kelompok pasien yang telah ditetapkan dan untuk merencanakan focus group dengan key players bersama dengan pelanggan internal dan eksternal
  3. Pelaksanaan site visit di rumah sakit.Pelaksanaan site visit di rumah sakit bertujuan untuk mengenal praktik yang sekarang berlangsung, menilai sistem pelayanan yang ada dan memperkuat alasan mengapa clinical pathway perlu disusun. Jika diperlukan, site visit internal perlu dilanjutkan dengan site visit eksternal setelah sebelumnya melakukan identifikasi partner benchmarking. Hal ini juga diperlukan untuk mengembangkan ide.
  4. Studi literatur.
    Studi literatur diperlukan untuk menggali pertanyaan klinis yang perlu dijawab dalam pengambilan keputusan klinis dan untuk menilai tingkat dan kekuatan bukti ilmiah. Studi ini sebaiknya mengasilkan laporan dan rekomendasi tertulis.
  5. Diskusi kelompok terarah.
    Diskusi kelompok terarah atau Focus Group Discussion (FGD) dilakukan untuk mengenal kebutuhan pelanggan (internal dan eksternal) dan menyesuaikan dengan kemampuan rumah sakit dalam memenuhi kebutuhan tersebut serta untuk mengenal kesenjangan antara harapan pelanggan dan pelayanan yang diterima. Lebih lanjut, diskusi kelompok terarah juga perlu dilakukan untuk memberi masukan dalam pengembangan indikator mutu pelayanan klinis dan kepuasan pelanggan serta pengukuran dan pengecekan.
  6. Penyusunan pedoman klinik.
    Penyusunan pedoman klinik dilakukan dengan mempertimbangkan hasil site visit, hasil studi literatur (berbasis bukti ilmiah) dan hasil diskusi kelompok terarah. Pedoman klinik ini perlu disusun dalam bentuk alur pelayanan untuk diketahui juga oleh pasien.
  7. Analisis bauran kasus.Analisis bauran kasus dilakukan untuk menyediakan informasi penting baik pada saat sebelum dan setelah penerapan clinical pathway. Meliputi: length of stay, biaya per kasus, obat-obatan yang digunakan, tes diagnosis yang dilakukan, intervensi yang dilakukan, praktisi klinis yang terlibat dan komplikasi.
  8. Menetapkan sistem pengukuran proses dan outcome.
    Contoh ukuran-ukuran proses antara lain pengukuran fungsi tubuh dan mobilitas, tingkat kesadaran, temperatur, tekanan darah, fungsi paru dan skala kesehatan pasien (wellness indicator).
  9. Mendisain dokumentasi clinical pathway.
    Penyusunan dokumentasi clinical pathway perlu memperhatikan format clinical pathway, ukuran kertas, tepi dan perforasi untuk filing. Perlu diperhatikan bahwa penyusunan dokumentasi ini perlu mendapatkan ratifikasi oleh Instalasi Rekam Medik untuk melihat kesesuaian dengan dokumentasi lain.

Setelah clinical pathway tersusun, perlu dilakukan uji coba sebelum akhirnya diimplementasikan di rumah sakit. Saat uji coba dilakukan penilaian secara periodik kelengkapan pengisian data dan diikuti dengan pelatihan kepada para staf untuk menggunakan clinical pathway tersebut. Lebih lanjut, perlu juga dilakukan analisis variasi dan penelusuran mengapa praktek dilapangan berbeda dari yang direkomendasikan dalam clinical pathway.

Hasil analisis digunakan untuk: mengidentifikasi variasi umum dalam pelayanan, memberi sinyal kepada staf akan adanya pasien yang tidak mencapai perkembangan yang diharapkan, memperbaiki clinical pathway dengan menyetujui perubahan dan mengidentifikasi aspek-aspek yang dapat diteliti lebih lanjut. Hasil analisis variasi dapat menetapkan jenis variasi yang dapat dicegah dan yang tidak dapat dicegah untuk kemudian menetapkan solusi bagi variasi yang dapat dicegah (variasi yang tidak dapat dicegah dapat berasal dari penyakit penyerta yang menyebabkan pelayanan menjadi kompleks bagi seorang individu).

Dengan implementasi clinical pathway, diharapkan pasien benar-benar mendapat pelayanan yang dibutuhkan sesuai kondisinya sehingga biaya yang dikeluarkan pun dapat sesuai dengan perawatan yang diterima dan hasil yang diharapkan. Adanya clinical pathway juga dapat membantu dokter saat melakukan perawatan. Rincian tahapan-tahapan perawatan pasien yang tertera dalam clinical pathway dapat menjadi panduan dokter saat "beraksi". Memang, banyak cara untuk menangani sesuatu, seperti banyaknya jalan menuju Roma. Tetapi bila sering nyasar, maka akan memakan waktu yang panjang untuk mencapai tujuan dan berdampak pada tingginya biaya yang harus dikeluarkan. Oleh karena itu... bacalah peta sebagai panduan.

 

 

 

Oleh : Nasiatul Aisyah Salim, SKM.,MPH

artjan28-aisMenetapkan indikator mutu pelayanan klinis, mengukur dan mengevaluasinya secara periodik lalu melakukan intervensi berdasarkan hasil evalusi terbukti efektif meningkatkan mutu. Di Amerika Utara berkurangnya angka kematian di rumah sakit akibat penyakit cardiovascular terutama myocardial infarction akut (AMI) terjadi setelah banyak rumah sakit melaporkan indikator mutu secara rutin untuk membandingkan dan menilai rumah sakit.

 

Berbagai cara dapat dilakukan untuk menetapkan indikator mutu pelayanan klinis, salah satunya dilakukan oleh Hongpeng Sun dan kawan-kawan yang menetapkan 3 jenis indikator mutu yang potensial yaitu indikator struktur, indikator proses dan indikator hasil untuk AMI.

Indikator struktural didefinisikan sebagai aspek lingkungan atau teknis perawatan pasien. Indikator proses atau pengukuran kinerja klinis, meliputi bagaimana dokter menangani pasien. Indikator hasil didefinisikan sebagai perubahan status kesehatan pasien. American Heart Association (AHA) merekomendasikan bahwa aspek struktural perawatan AMI meliputi sarana dan prasarana yang diberikan sejak masa pre-hospitalisasi, IGD, rawat inap dan rawat jalan. Indikator proses didasarkan pada perawatan pharmakologis dan non-pharmakologis sesuai pedoman pelayanan klinis.

Untuk menentukan indikator mutu AMI, Hongpeng Sun dkk menggunakan 3 tahap melalui diskusi panel yaitu :

  1. Menetapkan definisi: Empat panelis dan dua ahli biostatistik dari Harbin diundang dalam pertemuan pertama tatap muka untuk mendiskusikan definisi dari masing-masing indikator, signifikansi klinis dan bagaimana menggunakan indikator.
  2. Menilai indikator mutu yang potensial: Kuesioner penilaian semua indikator dibuat dan dikirim ke anggota panel untuk memperoleh opini ahli. Panelis diminta untuk menilai masing-masing indikator yang potensial sesuai karakteristik berikut : berdasarkan bukti, kegunaan, kamampuan interpretasi, validasi, kemampuan mencegah akibat, kelayakan, dan dugaan secara keseluruhan. Masing-masing karakteristik, menggunakan skala 5 poin : tidak setuju (nilai=1), agak setuju (nilai=2-4), dan setuju (nilai=5).
  3. Menentukan indikator mutu: Dalam diskusi tatap muka kedua, hasil dari penilaian awal dipresentasikan ke para ahli. Panelis mendiskusikan variasi aspek indikator. Fokusnya mendiskusikan apakah indikator ini cocok dengan lingkungan perawatan kesehatan China atau tidak serta menguraikan alasannya. Jika anggota panel setuju ada indikator yang tidak sesuai dengan China maka indikator tersebut dibuang. Opini terakhir para ahli, diambil ketika mencapai sebuah konsensus.

Hasil penetapan indikator mutu pelayanan untuk pelayanan AMI yang disusun oleh Hongpeng Sun adalah sebagai berikut:

  1. Indikator struktur meliputi review administrasi ilmiah rumah sakit, menguatkan peraturan, menaikkan fasilitas medis, dan menjadi latar belakang dasar pemikiran alokasi sumber daya manusia.
  2. Indikator proses meliputi empat indikator pengobatan untuk mengevaluasi prosedur pemberian obat bagai pasien rawat inap meliputi aspirin, clopidogrel, beta-adrenoceptor blocking agent dan terapi thrombolytic.
  3. Indikator hasil meliputi angka kematian di rumah sakit.

Daftar Pustaka :

Hongpeng Sun, Meina Liu & Shuang Hou. Quality Indicators for Acute Myocardial Infarction Care in China. International Journal for Quality in Health Care 2011; Volume 23, Number 4: pp 365-374

 

 

Akreditasi Rumah Sakit, Pengakuan Atas Kualitas Layanan
Tulis apa yang kamu kerjakan. Kerjakan apa yang kamu tulis.

drg. Puti Aulia Rahma, MPH
(seperti ditulis dalam Majalah Dental&Dental edisi September-Oktober 2012)

Saat ini masyarakat semakin sadar untuk memilih layanan kesehatan yang baik. Beberapa contohnya adalah masyarakat saat ini tidak sungkan lagi untuk mempertanyakan alternatif perawatan yang akan mereka terima sesuai dengan kondisi keuangan mereka saat ini. Mereka juga tidak sungkan lagi untuk berdiskusi dengan dokter mengenai kegunaan dan efek samping obat yang diresepkan dokter kepada mereka. Masyarakat juga mulai kritis mempertanyakan apakah alat kedokteran yang digunakan untuk memeriksa mereka sudah steril atau belum. Bahkan tidak sedikit orang yang ingin melihat proses sterilisasi tersebut. Bila ada pelayanan yang dirasa kurang memuaskan, masyarakat saat ini tidak malas lagi menegur staf medis yang bersangkutan atau mengeluarkan unek-unek mereka melalui kotak saran. Singkatnya masyarakat mau yang terbaik untuk diri mereka sesuai kondisi mereka saat ini.

Untuk menghadapi dinamika masyarakat sedemikian rupa, pemerintah melalui Kementerian Kesehatan tidak tinggal diam. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia mewajibkan dilaksanakannya akreditasi rumah sakit dengan tujuan untuk meningkatkan pelayanan rumah sakit di Indonesia. Dasar hukum pelaksanaan akreditasi di rumah sakit adalah UU No. 36 tahun 2009 tentang kesehatan, UU No. 44 tahun 2009 tentang rumah sakit dan Permenkes 1144/ Menkes/ Per/ VIII/ 2010 tentang organisasi dan tata kerja kementerian kesehatan. Akreditasi mengandung arti suatu pengakuan yang diberikan pemerintah kepada rumah sakit karena telah memenuhi standar yang ditetapkan. Rumah sakit yang telah terakreditasi, mendapat pengakuan dari pemerintah bahwa semua hal yang ada di dalamnya sudah sesuai dengan standar. Sarana dan prasarana yang dimiliki rumah sakit, sudah sesuai standar. Prosedur yang dilakukan kepada pasien juga sudah sesuai dengan standar.

Berdasarkan standar akreditasi versi 2007, terdapat tiga tahapan dalam pelaksanaan akreditasi yaitu akreditasi tingkat dasar, akreditasi tingkat lanjut serta akreditasi tingkat lengkap. Akreditasi tingkat dasar menilai lima kegiatan pelayanan di rumah sakit, yaitu: Administrasi dan Manajemen, Pelayanan Medis, Pelayanan Keperawatan, Pelayanan Gawat Darurat dan Rekam Medik. Akreditasi tingkat lanjut menilai 12 kegiatan pelayanan di rumah sakit, yaitu: pelayanan yang diakreditasi tingkat dasar ditambah Farmasi, Radiologi, Kamar Operasi, Pengendalian Infeksi, Pelayanan Resiko Tinggi, Laboratorium serta Keselamatan Kerja, Kebakaran dan Kewaspadaan Bencana (K-3). Akreditasi tingkat lengkap menilai 16 kegiatan pelayanan di rumah sakit, yaitu: pelayanan yang diakreditasi tingkat lanjut ditambah Pelayanan Intensif, Pelayanan Tranfusi Darah, Pelayanan Rehabilitasi Medik dan Pelayanan Gizi. Rumah sakit boleh memilih akan melaksanakan akreditasi tingkat dasar (5 pelayanan), tingkat lanjut (12 pelayanan) atau tingkat lengkap (16 pelayanan) tergantung kemampuan, kesiapan dan kebutuhan rumah sakit baik pada saat penilaian pertama kali atau penilaian ulang setelah terakreditasi. Berdasarkan standar akreditasi versi 2007 ini, sertifikasi yang diberikan kepada rumah sakit berupa: tidak terakreditasi, akreditasi bersyarat, akreditasi penuh dan akreditasi istimewa. Tidak terakreditasi artinya hasil penilaian mencapai 65% atau salah satu kegiatan pelayanan hanya mencapai 60%. Akreditasi bersyarat artinya penilaian mencapai 65% - 75% dan berlaku satu tahun. Akreditasi penuh artinya hasil penilaian mencapai 75% dan berlaku selama 3 tahun. Akreditasi istimewa diberikan apabila dalam tiga tahun berturut-turut rumah sakit mencapai nilai terakreditasi penuh dan status ini berlaku selama 5 tahun. Rumah sakit wajib melaksanakan akreditasi minimal 6 bulan setelah SK perpanjangan izin keluar dan 1 tahun setelah SK izin operasional.

Manfaat implementasi standar akreditasi versi 2007 ini terutama ditujukan bagi penerima layanan kesehatan, pasien. Selain bermanfaat bagi pasien, akreditasi juga bemanfaat bagi petugas kesehatan di rumah sakit, bagi rumah sakit itu sendiri, bagi pemilik rumah sakit dan bagi perusahaan asuransi. Bagi tenaga kesehatan di rumah sakit, akreditasi berfungsi untuk menciptakan rasa aman bagi mereka dalam melaksanakan tugasnya. Mereka akan merasa aman karena sarana dan prasarana yang tersedia di rumah sakit sudah memenuhi standar sehingga tidak akan membahayakan diri mereka. Selain itu, sarana dan prasarana yang sesuai standar juga sangat membantu mempermudah proses kerja mereka. Bagi rumah sakit, akreditasi bermanfaat sebagai alat untuk negosiasi dengan pihak ketiga misalnya asuransi atau perusahaan. Dalam hal ini, akreditasi bisa dibilang berfungsi sebagai salah satu alat berpromosi. Bagi pemilik rumah sakit, akreditasi berfungsi sebagai alat untuk mengukur kinerja pengelola rumah sakit. Sedangkan bagi perusahaan asuransi, akreditasi bermanfaat sebagai acuan dalam memilih dan mengadakan kontrak dengan rumah sakit. Perusahaan asuransi enggan mempertaruhkan nama baiknya dihadapan kliennya dengan memilih rumah sakit berpelayanan buruk.

Dalam penerapannya, standar akreditasi versi 2007 memiliki banyak kekurangan. Seperti dilansir dalam situs Komite Akreditasi Rumah Sakit (KARS), standar akreditasi versi 2007 lebih berfokus pada penyedia layanan kesehatan (rumah sakit), kuat pada input dan dokumen namun lemah dalam implementasi dan dalam proses akreditasi kurang melibatkan petugas. Untuk menutupi kekurangan ini, KARS mengembangkan standar akreditasi versi 2012. Standar akreditasi versi 2012 ini memiliki kelebihan yaitu lebih berfokus pada pasien; kuat dalam porses, output dan outcome; kuat pada implementasi serta melibatkan seluruh petugas dalam proses akreditasinya. Dengan adanya perbaikan ini diharapkan rumah sakit yang lulus proses akreditasi versi 2012 ini benar-benar dapat meningkatkan mutu pelayanannya dengan lebih berfokus pada keselamatan pasien.

Standar akreditasi 2012 ini mirip dengan standar akreditasi internasional. Dalam standar akreditasi baru ini terdapat 4 kelompok standar yang terdiri dari 1.048 elemen yang akan dinilai. Keempat kelompok standar akreditasi rumah versi 2012 yaitu: kelompok standar pelayanan berfokus pada pasien, kelompok standar manajemen rumah sakit, sasaran keselamatan pasien rumah sakit dan sasaran Millenium Development Goals. Dalam kelompok standar pelayanan berfokus pada pasien, komponen penilaian selain berfokus pada hal – hal terkait pelayanan pasien dan keluarga, mulai dari pemenuhan hak-hak pasien, pendidikan pasien dan keluarga sampai ke pelayanan yang akan diberikan kepada pasien. Pada kelompok standar manajemen rumah sakit, komponen yang dinilai misalnya upaya manajemen untuk memberikan dukungan agar rumah sakit dapat memberi pelayanan yang baik kepada pasien. Sasaran keselamatan pasien di rumah sakit dimaksudkan untuk meningkatkan mutu pelayanan lebih baik dan memperhatikan keselamatan pasien. Jangan sampai pasien yang datang ke rumah sakit membawa pulang penyakit lagi. Sasaran Millenium Development Goals merupakan komponen penilaian tambahan dalam standar akreditasi rumah sakit, khusus di Indonesia. Sasaran-sasarannya berupa penurunan angka kematian ibu dan bayi, penurunan kasus HIV dan AIDS serta pengendalian tuberkulosis. Tingkat-tingkat kelulusan berdasarkan standar akreditasi versi 2012 adalah dasar, madya, utama dan paripurna. Tingkat paripurna adalah tingkat kelulusan tertinggi yang dapat diraih oleh rumah sakit. Dalam pelaksanaan akreditasi rumah sakit menggunakan standar akreditasi versi 2012 ini, surveyor akan menemui pasien untuk mencari bukti adanya peningkatan mutu pelayanan rumah sakit yang berfokus pada keselamatan pasien. Bila tidak ditemukan bukti, maka proses penilaian tidak akan lanjut ke komponen lain. Saat ini seluruh rumah sakit memiliki kewajiban untuk menjaga mutu pelayanannya dengan melaksanakan akreditasi minimal setiap 3 tahun sekali.

Manfaat langsung dari implementasi standar akreditasi versi 2012 adalah rumah sakit akan lebih mendengarkan keluhan pasien dan keluarganya. Rumah sakit akan lebih "lapang dada" menerima kritik dan saran dari pasien dan keluarganya, tidak lagi menjadi pihak yang selalu benar. Rumah sakit juga akan lebih menghormati hak-hak pasien dan melibatkan pasien dalam proses perawatan sebagai mitra. Dalam hal ini, pasien dan keluarganya akan diajak berdiskusi dalam menentukan perawatan terbaik sesuai kondisi pasien saat ini. Implementasi standar akreditasi versi 2012 juga diharapkan dapat meningkatkan kepercayaan masyarakat bahwa rumah sakit telah melakukan upaya peningkatan mutu pelayanan berdasar keselamatan pasien. Selain itu, implementasi standar akreditasi versi 2012 juga akan menciptakan lingkungan kerja yang aman dan efisien sehingga berkontribusi terhadap kepuasan karyawan. Rumah sakit yang telah lulus akreditasi versi 2012 akan memiliki modal negosiasi dengan perusahaan asuransi kesehatan dan sumber pembayar lainnya dengan lengkapnya data tentang mutu pelayanan rumah sakit. Implementasi standar akreditasi versi 2012 akan dapat menciptakan budaya belajar dengan adanya sistem pelaporan yang tepat dari kejadian yang tidak diharapkan di rumah sakit. Manfaat lain dari implementasi standar akreditasi versi 2012 adalah terbangunnya kepemimpinan kolaboratif yang menetapkan kualitas dan keselamatan pasien sebagai prioritas dalam semua tahap pelayanan.

Tahapan yang perlu dilakukan dalam penyelenggaraan akreditasi adalah: pembinaan akreditasi oleh Kementerian Kesehatan dan Dinas Kesehatan, bimbingan akreditasi oleh surveyor pembimbing, survei akreditasi oleh surveyor akreditasi dan pendampingan pasca akreditasi oleh tim pendampingan yang terdiri dari Kemenkes, KARS (Komite Akreditasi Rumah Sakit), PERSI daerah dan Dinas Kesehatan. Tahap pembinaan akreditasi bertujuan untuk menyiapkan sistem pelayanan di rumah sakit. Hasil pembinaan berupa rekomendasi yang mencakup aspek hukum atau aspek manajemen pelayanan yang bisa digunakan untuk mengetahui apakah rumah sakit perlu bimbingan atau tidak. Tahap bimbingan akreditasi bertujuan untuk memberikan penjelasan, pemahaman dan penerapan standar pelayanan yang menjadi item penilaian dalam akreditasi. Hasil bimbingan ini berupa rekomendasi tentang langkah-langkah yang perlu dilakukan rumah sakit dan dokumen yang perlu disediakan untuk mencapai akreditasi. Bila masih membutuhkan bimbingan, rumah sakit berhak untuk meminta bimbingan dari konsultan luar selain KARS untuk mendapat bimbingan lebih intensif. Tahap survey akreditasi merupakan saatnya penilaian terhadap pemenuhan standar rumah sakit menggunakan instrumen akreditasi yang dikeluarkan oleh KARS. Survei akreditasi dilakukan oleh KARS sedangkan sertifikasi diberikan oleh Dirjen Pelayanan Medik DepKes RI berdasarkan rekomendasi KARS. Rumah sakit tidak dapat memilih surveyor akreditasi untuk menjamin objektivitas penilaian. Tahap pendampingan pasca akreditasi bertujuan menindaklanjuti rekomendasi hasil survey akreditasi agar rumah sakit yang telah terakreditasi dapat meningkatkan mutu pelayanan yang masih dibawah standar dan tetap mempertahankan mutu pelayanan yang sudah tercapai. Pendampingan dilaksanakan secara berkala minimal 6 bulan pasca survey akreditasi.

Selain diakreditasi dengan standar nasional, beberapa rumah sakit di Indonesia, khususnya rumah sakit pemerintah, juga akan diakreditasi menggunakan standar internasional. Sebenarnya telah banyak rumah sakit di Indonesia yang terakreditasi secara internasional, namun kebanyakan rumah sakit swasta. Kondisi ini semakin menanamkan kesan bahwa rumah sakit pemerintah memang kurang layak dipercaya dan kurang mampu memberikan pelayanan terbaik baik masyarakat. Rencananya, tujuh rumah sakit besar pemerintah akan dipersiapkan untuk akreditasi internasional pada tahun 2013. Untuk mewujudkan hal ini, pemerintah bekerjasama dengan lembaga akreditasi internasional yaitu Joint Commission International (JCI) dari Amerika Serikat. JCI dipilih karena paling banyak berafiliasi dengan berbagai rumah sakit besar di dunia dan merupakan salah satu lembaga akreditasi yang dianggap berpengalaman. Akreditasi internasional ini bertujuan untuk "menyetarakan" mutu pelayanan rumah sakit pemerintah dengan rumah sakit internasional. Dengan adanya akreditasi internasional ini diharapkan tumbuh pula kepercayaan dan pengakuan dari masyarakat bahwa rumah sakit pemerintah mampu memberikan layanan kesehatan terbaik. Dengan pengakuan ini diharapkan dapat membendung arus masyarakat yang berlomba-lomba berobat ke luar negeri. Dengan adanya akreditasi internasional ini, pemerintah menjamin adanya peningkatan mutu layanan kesehatan di rumah sakit pemerintah tanpa diiringi dengan kenaikan harga. Kedepannya, tidak hanya rumah sakit swasta atau pemerintah yang akan mendapat akreditasi tetapi juga Rumah Sakit TNI atau Polri dan Rumah Sakit pendidikan. Terutama rumah sakit pendidikan, penting untuk mendapatkan akreditasi untuk membuktikan bahwa pelayanan yang diberikan rumah sakit ini memang benar-benar merupakan layanan bermutu. Adanya akreditasi bagi Rumah Sakit Pendidikan juga diharapkan dapat meluruskan anggapan masyarakat bahwa mereka akan menjadi "kelinci percobaan" bila menjadi pasien di rumah sakit tersebut.

Untuk mendapatkan tingkat kelulusan akreditasi yang baik, diperlukan adanya kerja sama antar semua pihak di rumah sakit. Semua staf rumah sakit, mulai dari pimpinan puncak sampai staf lapis terbawah harus memiliki semangat yang sama dalam mewujudkannya. Pimpinan puncak hingga ke staf lapisan bawah harus memiliki pemahaman yang sama mengenai alasan dilaksanakannya akreditasi. Jangan sampai ada pihak yang menganggap bahwa akreditasi ini akan menjadi beban yang menambah-nambah kerjaan mereka karena harus bekerja sesuai standar-standar akreditasi. Sejatinya, standar-standar yang dijadikan komponen penilaian dalam survey akreditasi adalah untuk dipenuhi dan diimplementasikan dalam jangka panjang bukan hanya pada saat survey akreditasi. Dengan adanya kerjasama dan semangat yang sama tinggi dari semua pihak di rumah sakit, bukan hal mustahil akan terciptanya layanan kesehatan berkualitas tinggi yang langgeng bagi masyarakat.

Sumber : Majalah Dental&Dental diterbitkan November-Desember 2012