Learn, Connect, Growth | Tingkatkan Mutu Pelayanan Kesehatan Indonesia

Headline

oleh: Citra Jaya, Donni Hendrawan, Ni MAS Ratna Sudewi, dan Tono Rustiano
Direktorat Perencanaan, Pengembangan dan Teknologi Informasi PT Askes (Persero)

Sejak tahun 2008, Indonesia telah membayar rumah sakit yang melayani program Jamkesmas dengan sistem pembayaran prospektif yang dikemas dalam bentuk DRG (Diagnosis-Related Group). Sistem ini akan berlanjut di tahun 2014 melalui program Jaminan Kesehatan Nasional. BPJS Kesehatan akan membayar Rumah sakit berdasarkan besaran yang sudah ditetapkan sesuai dengan diagnosa pasien.

Meskipun telah dilaksanakan lebih dari lima tahun, belum ada studi yang mempelajari dampak sistem pembayaran prospektif terhadap kualitas dan biaya layanan kesehatan di Indonesia. Proses verifikasi rawat inap yang dilakukan di Indonesia masih bersifat administratif tanpa memeriksa dampak sistem pembayaran prospektif terhadap kualitas dan biaya pelayanan kesehatan.
Padahal, dampak perubahan sistem pembayaran perlu dipantau. Berbagai literatur menunjukkan bahwa rumah sakit mengantisipasi perubahan sistem pembayaran ini dengan menyesuaikan layanan rawat inap agar tetap memperoleh keuntungan.

Penurunan Kualitas Layanan

Dampak buruk penyesuaian sistem pembayaran rumah sakit terhadap kualitas layanan rawat inap telah banyak dipublikasikan dalam jurnal-jurnal internasional. Berbagai jurnal juga menjelaskan peningkatan biaya pelayanan kesehatan yang harus dibayarkan oleh asuransi kesehatan akibat implementasi DRG.

Perubahan kualitas layanan rawat inap pasca perubahan sistem pembayaran rumah sakit telah banyak terjadi khususnya di Amerika Serikat. Rata-rata durasi rawat inap turun drastis pasca penerapan sistem pembayaran prospektif dalam bentuk Diagnosis-Related Groups/DRG. Untuk pasien psikiatri misalnya, durasi rawat inap turun 15% sejak sistem pembayaran prospektif diterapkan.

Tidak hanya di Amerika Serikat, penurunan durasi rawat inap pasca perubahan sistem pembayaran juga terjadi di negara-negara Eropa seperti Belgia, Swiss, Israel dan Austria.

Pengurangan durasi rawat inap menjadi salah satu strategi rumah sakit untuk menghemat biaya untuk memaksimalkan keuntungan dengan memanfaatkan selisih antara tarif DRG dengan biaya rawat inap yang sesungguhnya. Setidaknya di Amerika Serikat, strategi ini telah berhasil menghemat biaya pelayanan rawat inap7 yang berimplikasi pada peningkatan keuntungan rumah sakit.

Selain itu, strategi rumah sakit dalam mengendalikan biaya dapat dilakukan dengan cara melakukan tindakan operasi di pelayanan rawat jalan, menolak pasien yang kondisinya parah atau tanpa asuransi, serta mengurangi pemberian layanan kesehatan penunjang diagnostik.

Bagi perusahaan asuransi kesehatan, strategi rumah sakit ini perlu dianalisis lebih lanjut. Upaya penghematan biaya cenderung berbanding terbalik dengan upaya peningkatan kualitas pelayanan kesehatan. Dampaknya, biaya yang harus dikeluarkan asuransi kesehatan meningkat.

Di Kanada misalnya, turunnya durasi rawat inap memiliki dampak pada meningkatnya kunjungan balik pasien, yang merupakan salah satu indikator kualitas layanan kesehatan. Kunjungan balik pasien uterine atau prosedur adnexal juga meningkat secara signifikan di dua tahun pertama pasca perubahan sistem pembayaran.

Hal serupa ditemui di Norwegia dimana pasien dengan durasi rawat inap yang relatif singkat akan meningkatkan risiko kunjungan balik ke rumah sakit. Studi lain juga menemukan bahwa selain meningkatnya kunjungan balik, kondisi kesehatan pasien saat kunjungan balik juga makin buruk jika dibandingkan masa sebelum sistem pembayaran prospektif.

Tingkat kunjung balik ke rumah perawatan (nursing homes) setelah dipulangkan dari rumah sakit meningkat tiga kali lipat pada pasien yang baru dipulangkan satu minggu, pasca penerapan sistem pembayaran prospektif. Pada studi khusus orang-orang cacat, penurunan durasi rawat inap selama 6.07 hari (standar deviasi 3.23) dan peningkatan tingkat kunjung balik ditemui di seluruh jenis kecacatan. Peningkatan tingkat kunjung balik bervariasi dari 6.7% untuk pasien amputasi, dan 1.4% untuk pasien ortopedi.

Hubungan antara durasi rawat inap dengan tingkat kematian juga dipelajari di beberapa penelitian. Pada tahun 1991-1997, pasien myocardial infarction di Amerika Serikat yang dipulangkan dini tingkat kematiannya meningkat sebesar 21% sampai 72%. Selain itu, studi lain juga menyimpulkan kondisi pasien yang dipulangkan lebih dini cenderung belum stabil.

Di sisi lain, durasi rawat inap yang lebih singkat dari seharusnya, setelah mempertimbangkan diagnosa dan tingkat keparahan, menjadi indikator upaya rumah sakit untuk menurunkan biaya dan meningkatkan keuntungan dengan memulangkan pasien lebih cepat.

Studi lain mempelajari hubungan antara durasi rawat inap dengan tingkat kunjungan balik dan menyimpulkan bahwa meningkatnya kunjungan balik ke rumah sakit lebih disebabkan karena upaya rumah sakit memperoleh tambahan keuntungan ketimbang karena morbiditas.

Jelaslah, bahwa durasi perawatan dapat digunakan sebagai indikator kinerja rumah sakit dan ukuran pemanfaatan sumber daya. Durasi perawatan juga sering menjadi indikator kualitas pelayanan kesehatan di rumah sakit. Dipulangkannya pasien rawat inap lebih cepat daripada seharusnya dapat diasosiasikan dengan pengurangan kualitas pelayanan kesehatan. Di sisi lain, durasi perawatan yang panjang juga bisa disebabkan layanan kesehatan yang buruk. Jadi durasi perawatan bisa menjadi sebab dan akibat dari kualitas layanan yang buruk. Ambiguitas ini menyebabkan perlunya indikator tambahan untuk mengukur kualitas pelayanan kesehatan.

Verifikasi Medicare

Perusahaan asuransi mengevaluasi pelayanan rawat inap untuk dua tujuan. Pertama, untuk memastikan perawatan yang diberikan rumah sakit kepada pasien rawat inap memang benar diperlukan dan sesuai. Kedua adalah untuk mengendalikan biaya yang berhubungan dengan pelayanan rawat inap.

Beberapa literatur menggunakan 'kunjungan balik pasien pasca pemulangan rawat inap' atau 'tingkat kematian pasien pasca pemulangan rawat inap' sebagai ukuran kualitas layanan. Pasien yang dipulangkan lebih cepat diasumsikan belum sepenuhnya pulih dari penyakitnya, sehingga dalam waktu yang tidak terlalu lama setelah dipulangkan akan kembali membutuhkan layanan kesehatan. Logika yang sama dapat diterapkan untuk hubungan antara durasi rawat inap dengan tingkat kematian pasca layanan rawat inap.

Di Amerika Serikat, evaluasi dilakukan ketika pasien melakukan kunjungan balik, ditransfer dari satu rumah sakit ke rumah sakit lain, dan juga pada pelayanan rawat inap. Pada pelayanan yang disebutkan terakhir, evaluasi dilakukan dengan mengamati durasi rawat inap. Misalkan, durasi rawat inap untuk diagnosa tertentu yang melenceng jauh dari rata-rata (kurang dari satu standar deviasi dari rata-rata durasi rawat inap), durasi rawat inap yang melebihi rata-rata, atau biaya kesehatan anak-anak yang jauh melebihi rata-rata akan dievaluasi kebutuhan medisnya pasca dipulangkan.

Contoh lain dari evaluasi utilisasi pelayanan rawat inap. Ada rumah sakit yang ingin memulangkan pasien dan kembali memasukkannya untuk mendapatkan dua tagihan yang berbeda. Pihak pembayar dapat menghalangi praktek ini dengan menolak pembayaran untuk perawatan kedua. Evaluasi dilakukan secara acak pada kasus-kasus outlier (tidak lazim) seperti kunjungan balik 15 hari pasca rawat inap, dan pada kasus-kasus tanpa diagnosa. Hasil evaluasi dapat digunakan untuk mengurangi kunjungan rawat inap pada prosedur yang bisa dilakukan dipelayanan rawat jalan, atau prosedur yang dirasakan tidak perlu atau tidak pantas.

Medicare Fiscal Intermediaries (FI) dan Medicare Administrative Contractors (MAC) melakukan evaluasi medis untuk mencegah pembayaran yang tidak lazim untuk klaim rawat inap rumah sakit. Evaluasi medis adalah proses yang dilakukan kontraktor Medicare untuk memastikan tagihan rawat inap sesuai dengan ketentuan pada peraturan.

Selain mengandalkan sumber daya internal Medicare, proses evaluasi juga melibatkan sumber daya eksternal seperti perawat rumah sakit. Proses evaluasi ini dilakukan untuk mengevaluasi kebutuhan pasien akan perawatan di rumah sakit. Perawat mendiskusikan kebutuhan medis untuk pasien rawat inap. Pasien tidak boleh diberi layanan yang tidak perlu, tidak layak, berlebihan, atau layanan yang tidak diatur dalam peraturan. Kualitas dan durasi rawat inap harus sesuai dengan standar medis dan sesuai dengan gejala, tanda-tanda, serta diagnosa pasien.

Verifikasi Askeskin Jamkesmas

Sayangnya, evaluasi sistematis tentang kualitas layanan rawat inap pada program Askeskin dan Jamkesmas belum banyak dilakukan. Data Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) mengindikasikan turunnya durasi rawat inap peserta Askeskin/Jamkesmas pada periode tahun 2004-2009, namun hubungannya dengan perubahan sistem pembayaran rumah sakit masih belum jelas. Studi tersebut juga menemukan bahwa metode verifikasi yang dilakukan oleh verifikator independen Jamkesmas baru sebatas pemeriksaan kelengkapan dokumen yang sifatnya administratif. Verifikasi belum sampai pada upaya memeriksa kualitas layanan kesehatan yang diberikan rumah sakit.

Sampai dengan saat tulisan ini disusun, belum ditemukan bukti ilmiah yang mendukung penurunan kualitas layanan rawat inap dihubungkan dengan penerapan tarif tarif INA-DRG pada program Jamkesmas.

Proses evaluasi klaim Jamkesmas baru berhasil mengidentifikasi DRG upcoding, yaitu kecurangan rumah sakit dalam pemberian kode diagnosa dengan memberikan kode diagnosa yang berbiaya lebih tinggi. Efektifitas sistem pembayaran INA-DRG terhadap pengendalian biaya sendiri belum jelas. Perubahan sistem pembayaran dari fee-for-service yang dianut Askeskin ke sistem pembayaran INA-DRG yang dianut Jamkesmas baru terbukti mempersingkat durasi rawat inap, namun dampaknya terhadap kualitas dan biaya pelayanan kesehatan yang dibayarkan belum terbukti.

Persiapan JKN dan BPJS Kesehatan

Sesuai amanat Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN), pada tahun 2014 PT Askes (Persero) yang akan berubah menjadi BPJS Kesehatan diwajibkan menerapkan sistem pembayaran Indonesia Case Base Groups (INA-CBGs). Sayangnya, ketentuan ini tidak dibekali dengan informasi perubahan kualitas layanan kesehatan pasca penerapan sistem pembayaran prospektif. Hal ini akan membuat BPJS Kesehatan tidak dapat mengukur potensi kerugian finansial yang diakibatkan implementasi INA-CBGs, setidaknya pada tahun-tahun pertama penyelenggaraan JKN.

Kondisi ini berbeda dengan Amerika Serikat, di mana perusahaan asuransi mendapatkan informasi akurat tentang dampak implementasi DRG. Salah satu informasi penting adalah biaya akibat kunjungan balik. Kunjungan balik menjadi komponen biaya yang cukup besar pada pengeluaran kesehatan yaitu mencapai 24% dari total pengeluaran Medicare. Pada tahun 2010, tingkat kunjungan balik pasien Medicare adalah 19.2% (1.9 juta kunjungan balik dari total 10 juta kunjungan). Biaya yang ditimbulkan kunjungan balik pelayanan rawat inap mencapai US$ 17.5 milyar atau sekitar Rp 175 trilyun. Dengan demikian, angka kunjung balik menjadi perhatian serius pada sistem pembayaran prospektif.

Indonesia dapat mengambil pelajaran dari pengalaman negara lain dalam melakukan verifikasi layanan rawat inap dalam kondisi rumah sakit dibayar dengan sistem pembayaran prospektif. Penyusunan pedoman rinci tentang tata cara verifikasi layanan rawat inap sebaiknya menjadi tujuan studi di masa mendatang. Pelajaran lain yang bisa diperoleh dari proses evaluasi pelayanan kesehatan adalah dilakukannya evaluasi oleh lembaga independen di luar perusahaan asuransi. Pemisahan ini meningkatkan independensi karena menghilangkan potensi konflik kepentingan antara pembayar dengan pemeriksa.

BPJS perlu menyusun metode evaluasi layanan rawat inap. Evaluasi yang dilakukan selama ini baru bersifat administratif dan belum menyentuh kualitas layanan kesehatan serta dampaknya pada biaya. Tentunya metode evaluasi akan lebih tajam jika didukung data layanan kesehatan yang lengkap dan benar. Evaluasi dapat dilakukan dengan mengambil sampel secara acak sebanyak 10%-30% kasus rawat inap setiap harinya.

Selain itu, BPJS juga bisa melakukan evaluasi dalam bentuk inspeksi mendadak ke beberapa rumah sakit untuk mengawasi proses entri data pelayanan kesehatan yang dilakukan pegawai rumah sakit. BPJS harus memastikan data-data yang dimasukkan ke perangkat lunak INA-CBGs adalah benar sehingga menghasilkan tagihan yang benar pula.

Metode lain yang lebih akurat adalah melakukan entri ulang berkas klaim yang diberikan oleh rumah sakit untuk memastikan besaran biaya yang dihasilkan kedua entri adalah sama, sekalipun cara ini akan memerlukan waktu yang lebih panjang dan biaya yang lebih tinggi.

Aspek lain dari metode evaluasi adalah perbandingan antara biaya penyelenggaraan evaluasi dengan biaya pelayanan kesehatan yang berhasil dihemat. Norma yang banyak digunakan adalah: "metode evaluasi tidak efektif jika biaya penyelenggaraannya melebihi biaya pelayanan kesehatan yang dihemat." Sebagai badan nirlaba yang bertanggungjawab untuk memastikan keberlangsungan dan efektifitas program, BPJS Kesehatan dapat mengabaikan norma ini dan tetap menentukan metode evaluasi yang paling efektif dan efisien untuk memastikan pasien memperoleh pelayanan yang maksimal.

Daftar Pustaka

  1. Ellis, R.P., dan McGuire, T.G. 1996. Hospital response to prospective payment: Moral hazard, selection, and practice-style effects. Journal of Health Economics 15: 257-277.
  2. Freiman, M.P., Ellis, R.P., dan McGuire, T.G. 1989. Provider Response to Medicare's PPS: Reduction in Length of Stay for Psychiatric Patients Treated in Scatter Beds. Inquiry 26: 192-201.
  3. Perelman, J. dan Closon, M-C. 2007. Hospital response to prospective financing of in-patient days: The Belgian case. Health Policy 84: 200-209.
  4. Schuetz, P., Albrich, W.C., Suter, I., Hug, B.L., Christ-Crain, M., Holler, T., Henzen, C., Krause, M., Schoenenberger, R., Zimmerli, W., dan Mueller, B. 2011. Quality of care delivered by fee-for-service and DRG hospitals in Switzerland in patients with community-acquired pneumonia. Swiss Medical Weekly 141: w13228.
  5. Shmueli, A., Intrator, O., dan Israeli, A. 2002. The effects of introducing prospective payments to general hospitals on length of stay, quality of care, and hospitals' income: the early experience of Israel. Social Science & Medicine 55: 981-989.
  6. Theurl, E., dan Winner, H. 2007. The impact of hospital financing on the length of stay: Evidence from Austria. Health Policy 82: 375-389.
  7. Carey, K. 2002. Hospital Length of Stay and Cost: A Multilevel Modeling Analysis. Health Services & Outcomes Research Methodology 3: 41-56.
  8. Horn, S.D. dan Backofen, J.E. 1987. Ethical Issues in the use of a prospective payment system: The issue of a severity of illness adjustment. The Journal of Medicine and Philosophy 12 (145-153).
  9. Harrison, M.L., Graff, L.A., Roos, N.P., and Brownell, M.D. 1995. Discharging Patients Earlier from Winnipeg Hospitals: Does It Adversely Affect Quality of Care? Canadian Medical Association Journal: 153 (6).
  10. Heggestad, T. 2002. Do Hospital Length of Stay and Staffing Ratio Affect Elderly Patients' Risk of Readmission? A Nation-wide Study of Norwegian Hospitals. Health Services Research 37:3.
  11. Anderson, M.A., Clarke, M.M., Helms, L.B., dan Foreman, M.D. 2005. Hospital Readmission From Home Health Care Before and After Prospective Payment. Journal of Nursing Scholarship 37:1, 73-79.
  12. Ottenbacher, K.J., Smith, P.M., Illig, S.B., Fiedler, R.C., dan Granger, C.V. 2000. Length of Stay and Hospital Readmission for Persons with Disabilities. American Journal of Public Health 90: 1920-1923
  13. Baker, D.W., Einstadter, D., Husak, S.S. and Cebul, R.D. 2004. Trends in Postdischarge Mortality and Readmissions: Has Length of Stay Declined Too Far? Archives of Internal Medicine; 164: 538-544.
  14. Rogers, W.H., Draper, D., Kahn, K.L., Keeler, E.B., Rubenstein, L.V., Kosecoff, J. and Brook, R.H. 1990. Quality of Care Before and After Implementation of the DRG-Based Prospective Payment System: A Summary of Effects. The Journal Of American Medical Association Vol. 264 No. 15.
  15. Feinglass, J., dan Holloway, J.J. 1991. The Initial Impact of the Medicare Prospective Payment System on U.S. Health Care: A Review of Literature. Medical Care Research and Review 48: 91.
  16. Cutler, D.M. 1995. The Incidence of Adverse Medical Outcomes Under Prospective Payment. Econometrica Vol. 63 No. 1 pp. 29-50.
  17. Thomas, J.W., Guire, K.E., Horvat, G.G. 1997. Is Patient Length of Stay Related to Quality of Care? Journal of Healthcare Management 42, 4: 489.
  18. Department of Health and Human Services. 2012. Medicare Program; Hospital Inpatient Prospective Payment Systems for Acute Care Hospitals and the Long-Term Care Hospital Prospective Payment System and Fiscal Year 2013 Rates; Hospitals' Resident Caps for Graduate Medical Education Payment Purposes; Quality Reporting Requirements for Specific Providers and for Ambulatory Surgical Centers; Final Rule.42 CFR Parts 412, 413, 424, & 476
  19. Sloan, F.A., Morrisey M.A., & Valvona, J. 1988. Effects of the Medicare Prospective Payment System on Hospital Cost Containment: An Early Appraisal. The Milibank Quarterly, Vol. 66, No. 2, pp. 191-220.
  20. Department of Health and Human Services. 2008. Inpatient Prospective Payment System Hospital and Long Term Care Hospital Review and Measurement Fact Sheet. Centers for Medicare & Medicaid Services.
  21. Department of Public Welfare. 2010. Manual for All Patient Refined Diagnosis Related Group Review of Inpatient Hospital Services. Office of Medical Assistance Programs 837 Institutional/UB-04 Claim Form.
  22. Harimurti, P., Pambudi, E., Pigazzini, A. Dan Tandon, A. 2009. The Nuts & Bolts of Jamkesmas: Indonesia's Government-Financed Health Coverage Program. The World Bank, Washington DC.
  23. Centers for Medicare & Medicaid Services. 2012. National Medicare Readmission Findings: Recent Data and Trends. Office of Information Product and Data Analytics.

Sumber: www.jamsosindonesia.com 

Oleh: Nasiatul Aisyah Salim, SKM, MPH

“Karyawan adalah aset terbaik bagi organisasi”

art-15julDalam suatu jajak pendapat baru-baru ini di Australia, sekitar 85 % dari semua pekerja mengatakan bahwa mereka merasa tertindas di tempat kerja. Lalu bagaimana dampaknya pada produktivitas kerja dan motivasi? Sehingga kinerja seorang pekerja akan menjadi lebih baik jika pekerja merasa nyaman saat bekerja. Ibarat gunung es yang mengapung di suatu lingkungan, jika mengapung di lautan yang hangat, gunung es itu akan mencair tetapi jika suhu laut sangat dingin, maka gunung es akan bertambah besar. Gunung es itu juga dapat mempengaruhi suhu laut di sekelilingnya dengan menurunkan suhu di sekelilingnya. Hal yang sama juga terjadi di dalam organisasi. Setiap orang pasti mampu mempengaruhi lingkungan organisasi dan pada akhirnya akan mempengaruhi anggota yang lain. Sehingga dalam hal ini budaya ikut bermain misalnya dengan belajar membiarkan dan mempercayai anggota tim, cara berinteraksi dengan orang lain, dan membuat "katup keselamatan". Tim dapat menyukseskan atau menghancurkan organisasi. Sehingga perlu untuk mengatur semangat tim dan memiliki waktu untuk mengutarakan uneg-uneg tanpa takut balasan orang lain. Hal tersebut merupakan "katup keselamatan" yang sangat kuat dan berfungsi dengan sangat baik.

Untuk membuat lingkungan kerja menjadi lebih nyaman dapat dilakukan dengan memberikan pengetahuan seperti pelatihan berkelanjutan untuk meningkatkan keterampilan anggota tim karena organisasi akan tumbuh jika anggota tim tumbuh sehingga perlu adanya rancangan sistem pelatihan berkelanjutan untuk memastikan anggota tim selalu mendapat pengetahuan baru seperti (1) mengadakan sesi tim berbasis keterampilan, (2) mengembangkan klub komunitas, (3) berlangganan majalah sesuai bidang organisasi sehingga membuat anggota tim memahami perkembangan dan membuat mereka merasa mendapat informasi, (4) membuat program pelatihan penerimaan untuk anggota baru, (5) menjalankan program pelatihan pembangunan tim, (6) menciptakan perencanaan karier di dalam organisasi, (7) menetapkan tujuan organisasi dan setiap anggota tim, (8) mengadakan pelatihan manajemen waktu.

Referensi :

Bradley J. Sugars. 2012. Instant Team Building. Kesaint Blanc Publishing.

Oleh: Nasiatul Aisyah Salim, SKM, MPH

"Anda hanya akan mendapatkan orang yang pantas Anda dapatkan"

art-15jul-2Memilih orang yang tepat merupakan awal dari pembentukan tim yang sukses untuk suatu organisasi dan memiliki orang-orang hebat yang bekerja untuk organisasi adalah satu hal. Namun tidak bisa hanya berharap bahwa tim saja sudah cukup mengubah organisasi. Ada faktor lain yang turut berperan, salah satunya adalah kepemimpinan. Jika tim tidak didukung oleh kepemimpinan yang kuat maka hasilnya akan seperti supertanker yang berlayar di tengah samudera tanpa kemudi. Kepemimpinan yang kuat adalah hal yang krusial. Pemimpin yang kuat disini bukan hanya mengenai gaya kepemimpinannya melainkan kualitas kepemimpinannya. Tidak ada gaya kepemimpinan yang benar atau salah. Sehingga tidak perlu mengubah gaya kepemimpinan melainkan harus mengadaptasi gaya kepemimpinan supaya sesuai dengan situasi yang ada dan juga ketika situasi tersebut berubah.

Ciri dari seorang pemimpin yang kuat adalah semangat dan tanggungjawab. Kedua hal ini yang membedakan dari pemimpin yang biasa-biasa saja atau situasional. Orang selalu merespons dengan baik pemimpin yang memiliki semangat tentang pekerjaannya atau kehidupannya. Karena hal ini menular dan anggota tim akan menemukan bahwa dirinya termotivasi untuk melakukan yang terbaik ketika dipimpin oleh seorang pemimpin yang penuh semangat. Selain itu, pemimpin yang kuat adalah pemimpin yang juga menerima tanggungjawab atas tindakan seluruh tim. Pemimpin harus mampu mengambil keputusan dengan tegas yang artinya harus menerima tanggung jawab atas keputusan yang dibuat dan konsekuensi yang ditimbulkan. Tidak hanya itu, kemampuan untuk menindaklanjuti juga berperan penting yaitu mampu melihat konsekuensi dari keputusan manajerial sampai akhir dan menerima tanggung jawab penuh untuk tim.

Perbedaan antara manager dan pemimpin adalah pemimpin menaruh minat lebih besar pada area "hati dan semangat". Sehingga pemimpin harus menciptakan orang-orang luar biasa di dalam organisasi. Selain itu harus membantu tim tumbuh sehingga organisasi dapat tumbuh. Dan perbaharui pengetahuan tim. Maka jadilah pemimpin yang hebat sehingga akan mendapatkan orang-orang yang hebat.

Referensi :

Bradley J. Sugars. 2012. Instant Team Building. Kesaint Blanc Publishing.

Oleh: Dewi Puspita Sari, SE, MPH

Isu tanggung jawab sosial perusahaan (corporate social responsibility-CSR) sudah cukup lama muncul di negara-negara maju. Di Indonesia, isu tersebut baru akhir-akhir ini mengalami perhatian yang cukup intens dari berbagai kalangan (perusahaan, pemerintah, akademisi, dan NGOs/LSM). Respons pemerintah terhadap pentingnya CSR ini misalnya terlihat dari dikeluarkannya Kebijakan Pemerintah melalui Kepmen. BUMN Nomor: Kep-236/MBU/2003, yang mengharuskan seluruh BUMN untuk menyisihkan sebagian labanya untuk pemberdayaan masyarakat yang dikenal dengan Program Kemitraan dan Program Bina Lingkungan (PKBL), yang implementasinya ditindaklanjuti dengan Surat Edaran Menteri BUMN, SE No. 433/MBU/2003 yang merupakan petunjuk pelaksanaan dari Keputusan Menteri BUMN tersebut di atas (Badaruddin, 2008). Begitu juga dengan dikeluarkannya UU No 40 Tahun 2007 tentang Perseroaan Terbatas yang memuat pasal mengenai tanggung jawab sosial perusahaan.

Corporate Social Responsibility didefinisikan sebagai tanggung jawab perusahaan kepada para pemangku kepentingan (stakeholders) untuk berlaku etis, meminimalkan dampak negatif dan memaksimalkan dampak positif yang mencakup aspek ekonomi, sosial dan lingkungan (triple bottom line). Hal ini yang membuat bergesernya konsep filantropis (kedermawaan semata) menjadi konsep pemberdayaan masyarakat. Perubahan ini dipertegas dengan hasil KTT Bumi (Earth Summit) di Brazil tahun 1992 yang menyatakan bahwa konsep pembangunan berkelanjutan dengan memperhatikan triple bottom line harus dilakukan (Wibisono 2007)

Berdasarkan tiga aspek tersebut (ekonomi, sosial dan lingkungan) maka Wibisono memberikan contoh lingkup program CSR yang disarikan dari beberapa perusahaan terkemuka dalam dan luar negeri dimana salah satu program CSR dalam bidang sosial adalah pelayanan kesehatan (tabel 1)

Tabel 1. Ruang Lingkup Program CSR

Sosial

Ekonomi

Lingkungan

Pendidikan

Kewirausahan

Efisiensi energi

Kesehatan

Pembinaan UKM

Produksi ramah lingkungan

Kesejahteraan sosial

Agribisnis

Pengendalian polusi

Kepemudaan/Kewanitaan

Pembukaan lapangan kerja

Penghijauan

Keagamaan

Sarana & prasarana ekonomi

Pengelolaan air

Kebudayaan

 

Pelestarian alam

Penguatan kelembagaan

 

Pengembangan ekowisata

 

 

Peyehatan lingkungan

 

 

Perumahan dan pemukiman

Dalam konteks Indonesia, karena sebagian besar masyarakat di lingkungan industri kita berada dalam kondisi kemiskinan, maka program CSR direkomendasikan untuk didedikasikan pada; peningkatan pendapatan (ekonomi) atau kesejahteraan masyarakat, masalah-masalah pekerjaan, peningkatan pendidikan, kesehatan masyarakat, penguatan kelembagaan lokal serta tersedianya basic infrastruktur yang memadai (Achada, T. (2006).

Hasil penelitian tentang implementasi CSR belum banyak dilakukan di Indonesia, khususnya yang terkait dengan pemanfaatan potensi modal sosial komunitas lokal. Riset yang dilakukan antara lain dilakukan oleh Saidi (2002); Widiyanarti (2004); Nursahid (2006); Jahya (2006); dan Suprapto(2006). Dari beberapa hasil riset tersebut secara umum dapat disimpulkan antara lain: pertama, bahwa pebisnis umumnya melihat praktik CSR sebagai kegiatan yang memiliki makna sosial dan bisnis sekaligus. Artinya, praktik CSR masih dikaitkan dengan peningkatan citra corporate di mata masyarakat; kedua, praktik CSR yang dilakukan belum mencapai hasil seperti yang diharapkan dalam arti pemberdayaan ekonomi, sosial dan budaya masyarakat. Hal ini terjadi antara lain disebabkan oleh kebijakan program yang terlalu kaku, implementasi yang salah, dan belum siapnya masyarakat calon penerima bantuan.

Temuan-temuan penelitian tersebut menunjukkan bahwa masih perlu adanya networking yang baik antara perusahaan yang memiliki program CSR dengan penerima manfaat CSR. Untuk membangun networking tersebut perlu ada proses mengidentifikasi mitra, proses memahami bersama dan proses melakukan kegiatan atau inovasi bersama. Melalui ketiga proses inilah akan terbangun kerjasama dan rasa percaya yang kuat dalam pelaksanaan CSR  (Svendsen, Ann & Laberge, M, 2005).

Strategi Marketing untuk Menggali Dana CSR bagi Pelayanan Kesehatan di RS

Contoh-contoh keberhasilan penggalian dana sosial bagi rumah sakit sudah banyak didapat, baik di dalam maupun terutama di luar negeri. Diantaranya MGH (Massachussets General Hospital) rumah sakit terkemuka di Boston, memberi kesempatan masyarakat untuk menyumbang rumah sakit sesuai minat dan keinginan masing-masing. Anggota masyarakat yang membayar US$ 100 akan diberi undangan ikut serta dalam kuliah masyarakat ilmiah Bulfinch sementara yang membayar US$ 25.000 dapat memberikan namanya untuk dikenang di rumah sakit. Bentuk sumbangan lain MGH  dapat berupa untuk mendukung penelitian dan pengembangan fasilitas pendidikan dengan memilih macam penyakit yang diinginkan untuk menyumbang dan juga berupa mewariskan hartanya untuk rumah sakit. RS Tabanan, Bali dan RSUD Syamsudin di Sukabumi, salah satu RS anggota Yakkum di Solo, berhasil menarik dana dari pengusaha atau donatur untuk mendirikan bangunan bangsal maupun pembangunan fisik (Trisnantoro, 2005)

Untuk dapat berhasil menggali sumber dana-dana sosial, rumah sakit harus menggunakan perencanaan strategi. Menurut Kotler (2000, cit Tjiptono 2004)  perencanaan strategi yang berorientasi pasar adalah proses manajerial untuk mengembangkan dan menjaga supaya tujuan, keahlian dan sumber daya organisasi sesuai dengan peluang pasar yang terus berubah, tujuan dari perencanaan ini adalah untuk membentuk dan menyempurnakan usaha bisnis dan produk perusahaan agar mencapai target laba dan pertumbuhan.

Pemasaran strategis terkait dengan tahap-tahap perancangan produk,  penjualan dan pemasaran. Pada tahap perancangan produk, rumah sakit diharapkan untuk menunjukan bahwa rumah sakit memang memberikan pelayanan sosial pada masyarakat miskin sehingga penyumbang akan memberi sumbangan pada rumah sakit. Pada tahap penjualan, rumah sakit akan menunjukkan kepada  banyak orang yang mau menyumbang bahwa rumah sakit memang membutuhkan dana-dana sosial tersebut. Pada tahap pemasaran, rumah sakit menganalisa posisinya pada pasar donor sehingga rumah sakit dapat memahami apa yang diinginkan oleh calon donatur, (Trisnantoro, 2005).

Dalam melakukan pengembangan produk harus berfokus pada pelanggan karena apapun yang dilakukan manajemen tidak akan ada gunanya bila tidak berdampak pada peningkatan kepuasan pelanggan. Oleh karena itu, pengembangan produk dengan fokus kebutuhan pelanggan akan menjadi salah satu strategi untuk memenangkan persaingan (Tjiptono, 2004). Demikian juga yang dinyatakan oleh Ulrich (2001, cit Dwiningsih N., 2005), bahwa pengembangan produk sebaiknya menggunakan metode yang terstruktur, dimulai dari identifikasi kebutuhan pelanggan. Proses identifikasi kebutuhan pelanggan bertujuan untuk mengetahui atribut-atribut yang penting dan berhubungan dengan kepuasan pelanggan sebagai dasar dalam langkah pengembangan produk selanjutnya. Kotler (2000, cit Tjiptono 2004) dan  Trisnantoro (2007) juga mengatakan bahwa untuk mengetahui dengan baik calon donor merupakan awal dari langkah dalam mengelola ataupun menggali dana kemanusiaan.

Pengembangan produk dalam bentuk jasa seperti pelayanan rumah-sakit, perbankan, keuangan, asuransi, transportasi, komunikasi, dan jasa lainnya memiliki tantangan tersendiri karena karakteristiknya unik, antara lain karena desain produk jasa harus memasukkan unsur interaksi konsumen, seperti: Spesifikasi desain produk yang diharapkan, seperti hasil operasi plastik, tataruang rawat inap dan sebagainya; Proses realisasi jasa seperti proses pengukuran tekanan darah atau proses visitasi dokter. Kesulitan ini juga terkait dengan karakteristik produk jasa, yang menurut Kotler (2001, cit Paramita 2007) mempunyai 4 karakter utama yang mempengaruhi rancangan program pemasaran yaitu intangibility (tidak berwujud), inseparability (tidak terpisahkan), variability (bervariasi) dan perishibilit (mudah lenyap)

Untuk dapat mengembangkan produk RS yang dapat menjadi realisasi program CSR di RS maka diperlukan tahapan pengembangan produk sebagaimana yang ditulis oleh Tjiptono (2002):

  1. Perumusan ide, yang dapat bersumber dari dalam perusahaan misalnya bagian Riset dan Pengembangan dan dari luar melalui pemahaman perilaku konsumen, persaingan, peraturan, teknologi, pekerja, persediaan.
  2. Pengerahan kemampuan yang dimiliki perusahaan untuk merealisasikan ide, yaitu dengan melakukan koordinasi dengan berbagai bagian yang terkait di perusahaan yang bersangkutan.
  3. Mengidentifikasi posisi dan manfaat produk yang diinginkan konsumen melalui atribut tentang produk.
  4. Menetapkan spesifikasi fungsional, melalui identifikasi karakteristik engineering produk, kemungkinan dibandingkan dengan produk dari pesaing, mekanisme produk dibuat, menetapkan seperti ukuran dan dimensi fisik lain.
  5. Melakukan review desain, untuk menganalisa apakah spesifikasi produk sudah yang terbaik dalam memenuhi kebutuhan konsumen
  6. Melakukan tes pasar untuk melihat apakah produk memenuhi harapan konsumen dan untuk memastikan keberhasilan prospek ke depannya.
  7. Proses perkenalan di pasar dan memproduksi secara masal untuk dipasarkan.
  8. Proses evaluasi dilakukan untuk mengukur sukses atau gagal