Learn, Connect, Growth | Tingkatkan Mutu Pelayanan Kesehatan Indonesia

Headline

triharnotoOleh : dr. Triharnoto SpPD (Tim Leader Sisiter Hospital RS Panti Rapih Yogyakarta - RSUD Ende NTT)

Kasus hukum dr. Ayu dan kawan-kawan di Manado ternyata berdampak pada program sister hospital di NTT. Beberapa Rumah sakit mitra A berhenti melakukan pengiriman dokter residen senior ke rumah sakit mitra B. Hal ini dikarenakan adanya keraguan RS Mitra A mengenai perlindungan hukum bagi dokter yang bertugas dalam rangka sister hospital. Dokter residen senior menjadi takut bekerja di NTT karena statusnya sebagai residen yang bertugas sementara dan pada akhirnya tidak bersedia ditugaskan. RS mitra A tentu saja juga tidak akan mau menanggung akibatnya.

Keinginan untuk membantu yang sangat kuat dan keinginan untuk bermitra menurunkan angka kematian berubah menjadi ketakutan. Ketakutan ini bisa sangat dimengerti apabila misalnya karena kegagalan dalam menolong pasien ternyata dapat menyebabkan mereka dibui, seperti layaknya pencuri, perampok, pembunuh atau koruptor yang dianggap melakukan tindakan kriminal dan harus dipidanakan.

Disatu sisi, jiwa melayani para dokter-dokter ini tidak terbantahkan, seperti dokter-dokter lain dalam program-program kerja sama sejenis lainnya, yang menempatkan residen senior bertugas di rumah sakit-rumah sakit daerah dan terpencil lainnya. Termasuk dokter-dokter umum yang bekerja di daerah-daerah sulit diseluruh wilayah Indonesia. Tapi apa daya, merekapun menjadi takut seandainya kasus dr. Ayu menimpa mereka. Hal itu bisa saja terjadi dimanapun, kapanpun bahwa dokter bisa gagal dalam menolong pasiennya, sehingga berakibat cacat atau bahkan meninggal. Ketakutan itu tidaklah berlebihan dan manusiawi, sehingga memicu solidaritas dokter di seluruh Indonesia pada kasus dr. Ayu yang dianggap sebagai kriminalisasi terhadap dokter.

Pembaca yang budiman, saya hanyalah seorang dokter yang sangat peduli dengan masalah kesehatan, saya tidak akan membahas kasus hukumnya. Tetapi saya ingin mengajak semua pihak untuk melakukan refleksi secara jujur dengan menggunakan nalar sehat dan hati jernih. Saya percaya semua orang mempunyai nurani. Nurani itu akan berbicara sama, yaitu cinta kasih. Tidak ada satu orang dokterpun dalam melayani pasiennya bertujuan jahat, apalagi ingin membunuh. Dia hanya ingin menolong sesuai keahliannya. Tetapi bisa saja terjadi seorang dokter gagal menolong pasien dan akhirnya pasien meninggal, meskipun telah berjuang keras sekuat tenaga.

Fakta menunjukkan bahwa sebaik-baiknya dan sehebat-hebatnya dokter TIDAK MUNGKIN bisa menjamin 100% keberhasilan yaitu kesembuhan atau nyawa seseorang selamat. Oleh karena itu secara hukum jaminan yang diberikan dokter kepada pasien adalah jaminan upaya pengobatan, bukan jaminan kesembuhan. Jaminan upaya pengobatann ini diberikan oleh dokter dengan menangani pasien sesuai dengan apa yang disebut Standard Operating Procedure (SOP) dan Standar Pelayanan Medik (SPM) yang sudah ditetapkan.

Setiap disiplin ilmu kedokteran mempunyai SOP dan SPM-nya masing-masing. Pada prinsipnya SOP dan SPM ini mengacu pada bukti ilmiah pengetahuan kedokteran, yang sudah dipilih oleh profesi sebagai upaya terbaik dalam menolong pasien. Suatu SOP dan SPM memberi pedoman bagaimana menegakkan diagnosis dan penatalaksanaannya.

Sebagai contoh adalah kasus saya sendiri. Pada bulan Juli 2012 lalu, kornea mata kiri saya mengalami kebocoran akibat luka yang terjadi saat saya berenang disalah satu hotel tempat saya menginap di Ende, saat saya melakukan tugas saya dalam sister hospital dengan RSUD Ende. Selanjutnya luka itu tidak kunjung sembuh, sehingga kornea bocor. Singkat cerita, saya ditolong oleh seorang dokter ahli mata di Jakarta. Kemudian dilakukan operasi emergensi, dan dilanjutkan tranplantasi korena. Hasilnya gagal, kornea donor tidak berfungi dan mata saya tidak bisa melihat. Sebelum dilakukan operasi/transplantasi dijelaskan prosedur penanganan, bahwa dengan diagnosis "perforasi kornea", tidak ada pilihan lain selain transplantasi. Kemungkinan bila berhasil akan bisa melihat lagi, dan bila gagal kornea tidak bisa hidup, ditolak tubuh saya dan tidak akan bisa melihat. Dalam hal ini, perforasi kornea adalah diagnosis, dan transplantasi adalah penanganan. Saya tahu dan percaya bahwa dokter Mata yang menangani saya sudah melakukan penanganan sesuai SOP dan SPM dengan baik, tetapi hasilnya gagal. Sampai sekarang mata kiri saya tidak bisa melihat. Apakah saya akan menuntut?. Jawabnya tidak. Melainkan saya bersyukur. Meski saya tdak bisa melihat lagi, tapi bola mata saya masih utuh. Saya tahu dan merasakan dr. Mata yang menangani saya sudah melakukan yang terbaik, sesuai SOP dan SPM.

Seorang dokter dalam bekerja, pertama dan yang utama mendasarkan suatu prinsip Primum Non Nocere, atau First Do No Harm atau pertama-tama tidak boleh merugikan orang lain (pasien). SOP dan SPM disusun sebagai pegangan yang terperinci bagaimana dokter melaksanakan prinsip tersebut. Sehingga bila seorang dokter sudah melakukan tindakannya sesuai SOP dan SPM, maka secara esensial dia sudah melakukan yang terbaik buat pasiennya. Dan di sinilah seorang dokter tidak bisa dipidanakan bila dokter gagal menolong pasiennya.

Dinegara yang menganut hukum "good samaritan law" dalam keadaan emergensi, seorang dokter yang menolong pasien tidak bisa dipidanakan, karena dalam kategori emergensi maka bila tidak dilakukan pertolongan segera orang tersebut akan meninggal, dan bila dilakukan pertolongan mungkin akan bisa menyelamatkan pasien.

Sebagai penutup, saya berharap kasus ini tidak menyurutkan sejawat dokter untuk melakukan tugas-tugas mulianya melayani pasien, dengan tetap patuh pada SOP dan SPM masing-masing dengan lebih mengutamakan komunikasi yang baik dengan pasiennya. Masyarakat tetap harus lebih kritis tanpa menghilangkan respek terhadap dokter. Para penegak hukum saya harap mau belajar dengan bijak, khusunya Hakim MA yang tidak perlu merasa gengsi, malu, merasa wibawanya akan jatuh untuk meninjau kembali, bila memang ada yang kurang pas, harus jujur memperbaikinya secara adil. Terakhir kepada pemerintah, supaya lebih peduli, lebih adil dalam menjalankan amanat Undang-undang khususnya bidang kesehatan. Saya percaya, bahwa kita semua menginginkan wajah pelayanan kesehatan yang manusiawi. Mari kita sambut era baru pelayanan BPJS yang akan dimulai 1 januari 2014.

Penulis adalah Pemerhati Medical Humanity.
Team leader Sisiter Hospital RS Panti Rapih Yogyakarta - RSUD Ende NTT.

Dokter Spesialis Penyakit Dalam sedang menempuh pendidikan Spesialis
Konsultan Ginjal Hipertensi di FK UNUD/RSUP Sanglah Denpasar,
Penulis buku The Doctor Catatan hati Seorang Dokter

 

 

sirirajPKMK, Bangkok – Pada sesi visitasi RS Siriraj, tidak semua bagian rumah sakit dikunjungi peserta. Peserta hanya diajak menuju dua bagian yakni divisi layanan primer dan departemen pediatrik. Menurut penjelasan seorang perawat, fungsi divisi ini seperti fungsi UGD di rumah sakit, yaitu untuk menyaring pasien sebelum mendapat perawatan lanjutan. Namun, karena fokus utamanya adalah memberi layanan primer bagi pasien, fungsi divisi ini hampir mirip juga dengan fungsi Puskesmas di Indonesia. Bedanya, bila di Indonesia Puskesmas terletak terpisah dari RS, "puskesmas" ini terletak dalam satu gedung RS Siriraj.

Ini membawa keuntungan sendiri bagi pasien RS Siriraj. Pasien tidak perlu jauh-jauh dirujuk bila ada kasus yang tidak bisa ditangani di divisi layanan primer. Tinggal pindah ke bagian lain yang ada di RS Siriraj. Pasien dapat ditangani oleh dokter spesialis maupun subspesialis di RS Siriraj ini. Dengan demikian, layanan primer, sekunder dan tersier jadi satu di RS Siriraj.

Pasien-pasien yang datang ke RS Siriraj umumnya merupakan peserta jaminan kesehatan Thailand. Pasien-pasien dengan jaminan kesehatan tidak akan dipungut biaya sepeser pun setelah melakukan pemeriksaan. Masyarakat tanpa jaminan kesehatan juga dapat berobat ke RS Siriraj. Biaya berobatnya pun murah, hanya 30 TBH untuk semua jenis perawatan.

Seperti RS pemerintah pada umumnya, RS Siriraj didesain tidak terlalu mewah namun tetap tertata rapi. Saat menginjakkan kaki di pintu masuk divisi layanan primer, peserta disambut dengan lautan pasien yang duduk teratur di kursi yang telah disediakan di depan meja pendaftaran. Ada juga pasien yang tidur di brangkar di dekat area pendaftaran. Pasien yang berkunjung tidak hanya pasien lokal tetapi juga turis asing yang membutuhkan perawatan. Jumlah pasien yang banyak dan berlalu lalang, ditambah gerombolan peserta yang berkunjung membuat area ruang pendaftaran menjadi semakin terasa sempit.

Peserta kemudian masuk ke area ruang tunggu. Di area ini, bangku-bangku pasien disusun menghadap ruang-ruang pemeriksaan. Di sini ada televisi sehingga pasien tidak bosan menunggu. Di atas meja televisi ada hiasan-hiasan dari kertas lipat. Ruangan ini sedikit lebih besar dari ruang pendaftaran. Sayangnya karena banyak pasien, area ruang pendaftaran maupun ruang tunggu tidak boleh di foto.

Di divisi layanan primer terdapat pula layanan pengobatan tradisional Thailand. Untuk menuju ruang pengobatan tradisional, kita tinggal masuk menuju lorong yang agak sempit di dekat ruang tunggu. Aroma jamu tercium sejak dari pintu masuk ruang pengobatan tradisional ini. Ruangan ini tidak terlalu luas. Di samping kiri pintu masuk, terdapat lemari berisi obat-obatan tradisional yang sudah diracik. Di depan pintu, terdapat meja tempat mengukus bahan-bahan untuk melakukan "Thai Massage". Di samping meja terdapat sekat untuk memisahkan ruang pijat. Layanan "Thai Massage" juga dapat dipanggil ke rumah.

Setelah selesai berkeliling divisi layanan primer, peserta menuju Departemen Pediatrik. Departemen pediatrik RS Siriraj hanya buka dari pukul 09.00 waktu setempat hingga pukul 12.00 siang. Lepas pukul 12.00, pasien anak akan diterima di klinik khusus di RS Siriraj. Dinding di ruang pediatrik digambari beraneka ragam hewan dan tumbuhan berwarna-warni. Pasien-pasien anak yang ditangani di departemen pediatrik umumnya memiliki kelainan berat. Dalam sehari, sekitar 200-250 pasien anak yang masuk ke dapartemen pediatrik.

Text: drg. Puti Aulia Rahma, MPH

 

 

Anuwat SupachutikulPKMK, Bangkok – Hari terakhir pelaksanaan Exchange and Study Program on "Universal Health Coverage and Hospital Accreditation Program Realization" diisi dengan paparan dan diskusi singkat kesimpulan-kesimpulan hasil workshop. Narasumber pada sesi ini adalah Dr. Suwit Wilbulpolprasert, Dr. Viroj Tangcharoensathien, serta Anuwat Supachutikul, MD. Materi paparan dan diskusi diringkas menjadi satu sesi, karena para narasumber memiliki jadwal kegiatan berbeda di tempat lain.

Dalam paparannya Dr. Suwit Wilbulpolprasert menekankan kembali bahwa pelaksanaan Universal Health Coverage (UHC) tidak semata-mata terkait biaya atau status kaya dan miskin suatu negara. "When we're poor it's time to move and when rich it's time to share. Justru saat terjadi krisis ekonomi di negara kita, kita dapat menghasilkan inovasi yang lebih baik," tegasnya. Dr. Suwit menghimbau kembali bagi negara-negara yang akan atau sedang melaksanakan UHC untuk memperhatikan aspek kesehatan dalam pelaksanaan UHC. "Lihat sistemnya untuk menyediakan layanan yang bermutu bagi masyarakat. Lalu, memikirkan kemudahan akses bagi masyarakat di daerah terpencil. Pikirkan tentang tenaga kesehatan. Uang bisa dicari dari mana saja," tutur penasehat senior Kementrian Kesehatan Masyarakat (MoPH) Thailand ini.

Dr. Suwit juga menekankan kembali mengenai mutu pelayanan kesehatan dalam skema UHC. "Quality is the spirit of health worker. It's the spirit to give good health care to people," tegasnya lagi. Jika hanya memikirkan uang, maka spiritual akan turun. Jika tingkat spiritual turun, maka mutu pelayanan kesehatan juga akan menurun. Jadi dalam UHC ini penting sekali untuk mengutamakan mutu pelayanan yang diberikan kepada pasien. "Kita harus melakukan segala hal untuk meningkatkan motivasi, moral dan passion tenaga kesehatan dalam memberi layanan kesehatan," demikian Dr. Suwit.

Terkait dengan mutu layanan kesehatan, Anuwat Supachutikul, MD memberikan paparan tentang upaya mengaitkan konsep akreditasi dalam skema UHC. Anuwat menekankan perhatian pada tingkat nasional dan tingkat rumah sakit. "Di tingkat nasional, kita harus melihat standar umum apa yang paling berdampak pada pasien, misalnya patient safety, kemudian lakukan pengembangan standar," terang Anuwat. Dalam pengembangan standar ini, perlu juga diperhatikan mekanisme pemberian insentif bagi pihak-pihak yang sudah melaksanakan standar tersebut. Selain itu perlu juga ditetapkan sebuah sistem untuk menilai efektivitas penggunaan dana pada skema UHC.

Di tingkat rumah sakit, Anuwat menekankan perlunya motivasi kepada staf RS untuk memberi pelayanan yang berkualitas bagi pasien. Tidak mengapa bila RS ingin memberi insentif bagi staf yang telah bekerja keras, namun insentif hendaknya tidak dijadikan penekanan utama dalam memberi pelayanan. Hampir senada dengan paparan Anuwat, Dr. Viroj Tangcharoensathien mengungkapkan tentang upaya mencari keuntungan yang umumnya dilakukan oleh RS swasta. "Tidak selamanya private sector for profit, buruk. Ini tergantung kekuatan pemerintah untuk membuat regulasi," terang Dr. Viroj. Selain itu, perlu juga adanya solidaritas tinggi untuk meminimalisir gap antara orang kaya dan miskin.

Oleh : drg. Puti Aulia Rahma, MPH

 

Oleh: dr. Nunang Yuliawan, RS Semen Gresik, Jawa Timur
Dipresentasikan pada Forum Mutu Pelayanan Kesehatan IHQN (Jakarta 19-20 November 2013)

Biaya pengobatan pegawai yang selalu meningkat menjadi isu yang terjadi di PT Semen Gresik (Persero) Tbk (PTSG), sekarang bernama PT Semen Indonesia (Pesero) Tbk.. Pada dasarnya PTSG menyadari bahwa peningkatan biaya ini wajar yang disebabkan faktor-faktor eksternal. Akan tetapi PTSG menghendaki ada peran aktif dari RS Semen Gresik (RSSG) atau PT Cipta Nirmala (PTCN) sebagai provider untuk ikut mengendalikan biaya pengobatan ini. Sejak 2006 wacana Managed Care sering dibahas dalam rapat-rapat pimpinan antara PTSG dan RSSG/PTCN.

Dalam tahap-tahap negosiasi belum pernah ada kesepahaman. Tahun 2012 mulai ada titik temu untuk melaksanakan Managed Care dengan konsekuensi-konsekuensinya. Secara umum akan menyulitkan pihak RSSG/PTCN, tetapi pilihan ini harus diambil atas dasar faktor-faktor efisiensi, era Jaminan Kesehatan Nasional, transparansi dan lain-lain.

Tahap awal berupa negosiasi tentang cakupan pelayanan yang diberikan oleh RSSG. Perusahaan PTSG pada dasarnya sudah memiliki regulasi tentang cakupan pelayanan kesehatan dan hak-hak pegawainya bila sakit. Akan tetapi aturan tersebut terlaksana dengan prosedur yang sangat fleksibel sehingga mengakomodir beberapa pegawai yang tidak tertib. Hal ini akan menjadi masalah bila diterapkan sistem Managed Care.

Setelah negosiasi dan mengacu pada aturan dan mekanisme yang dibuat oleh PTSG, akhirnya ada beberapa kategori penanggung biaya pengobatan, yaitu:

  1. Pengobatan yang ditanggung RSSG/PTCN.
  2. Pengobatan yang ditanggung PTSG,
  3. Pengobatan yang ditanggung bersama PTCN dan PTSG dan
  4. Pengobatan yang ditanggung pasien/ pegawai PTSG sendiri.

Pembayaran Managed Care dengan pra-upaya disepakati dibayar PTSG kepada PTCN dibayar tiap triwulan di awal dengan jumlah peserta (tertanggung) sekitar 6100-6300 orang. Nilai kontrak lebih rendah sekitar 10% dari biaya tahun sebelumnya. Cakupan pelayanan meliputi hampir semua kasus penyakit dengan perkecualian hampir sama dengan yang berlaku pada jaminan kesehatan oleh asuransi. Kasus yang mahal dibiayai dengan cost-sharing antara RSSG dan PTSG.

Tahap berikutnya sosialisasi kepada semua unit dan personal yang akan terlibat, seperti: dokter, speslalis, apoteker, perawat, front office, bendahara dan lain-lain. Sosialisasi tentang cakupan, hak dan kewajiban juga diberikan kepada semua pelanggan (peserta/ tertanggung).

Untuk menjalankan program ini dibentuk unit Verifikator Managed Care (3 orang). Untuk dokter dan spesialis ditetapkan nilai maksimal tiap lembar resep dan pilihan obat yang lebih ketat sesuai yang ditetapkan di FOSG (Formularium Obat Semen Gresik).selain Formularium RSSG. Penekanan terutaman untuk dokter umum, karena perannya sangat strategis dan menentukan besaran biaya yang akan terjadi. Kemampuan klinis ditingkatkan, sehingga jumlah rujukan ke spesialis, penunjang dan lain-lain dapat diturunkan. Standar Pelayanan Medis kasus rawat jalan dibuat khusus dan dipantau ketat.

Tahap implementasi dimonitor dengan prosedur manual seperti pemantauan oleh front office, unit terkait tentang alur dan prosedur dan melakukan verifikasi dokumen medis. Monitoring cara otomatis dengan Sistem Informasi Rumah Sakit yang memiliki fitur Decision Support System, seperti peringatan-peringatan tentang kuantum obat, interaksi obat, kunjungan yang berulang, biaya harian via SMS Gateway, dan lain-lain.

Setelah berlangsung satu tahun, indikator-indikator pelayanan kesehatan untuk pegawai PTSG dibandingkan tahun sebelumnya, didapatkan antara lain:

  1. Kunjungan Poli Umum menurun 33%.
  2. Kunjungan Poli gigi menurun 18%
  3. Kunungan Spesialis Penyakit Dalam menurun 41%.
  4. Kunjungan Spesialis Obsgyn menurun 44% .
  5. Kunjungan Spesialis Anak 64%
  6. Kunjungan Laboratorium menurun 26%.
  7. Kunjungan X-ray menurun 22%
  8. Kunjungan UGD menurun 35%
  9. Kunjungan Rawat Inap menurun 19%
  10. Angka kematian tetap.
  11. Penanggung biaya oleh RSSG sebesar 97%.
  12. Penanggung biaya oleh PTSG sebesar 1%
  13. Penanggung biaya bersama RSSG dan PTCN 2%
  14. Dana yang diterima dari PTSG untuk Managed Care, cukup (tidak rugi).

Dengan pencapaian ini, PTSG menghendaki kontrak baru sistem Managed Care periode 2013-2014.