Learn, Connect, Growth | Tingkatkan Mutu Pelayanan Kesehatan Indonesia

Headline

Konsumsi alkohol pada masa pranatal merupakan penyebab utama bayi lahir cacat. Namun kesadaran untuk berhenti minum alkohol menjadi hal yang masih susah dihilangkan. National Center on Birth Defects and Developmental Disabilities, Centers for Disease Control and Prevention (Floyd), Atlanta, Georgia melakukan Randomized Controlled Trial untuk mencegah Alcohol-Exposed Pregnancy (AEP) menggunakan intervensi A brief motivational. Hasil penelitian menghasilkan bahwa intervensi tersebut mengurangi risiko AEP.

Setiap tahun ada 500.000 wanita hamil melaporkan mengkonsumsi alkohol. Janin yang terpapar alkohol menyebabkan Fetal alcohol syndrome (FAS). Kebanyakan wanita mengurangi konsumsi alkohol setelah mengetahui bahwa mereka hamil, tetapi banyak yang tetap meminum alkohol karena mereka tidak menyadari bahwa mereka hamil selama minggu-minggu. Konsumsi alkohol selama masa kehamilan bukan hanya dapat menyebabkan FAS pada anak, tapi juga meningkatkan risiko keguguran. Tidak ada kadar aman konsumsi alkohol pada ibu yang mengandung, banyak atau pun sedikit alkohol yang dikonsumsi, tetap akan berpotensi menyebabkan FAS.

Intervensi motivasi singkat (a brief motivational) dilakukan dengan cara memberikan konseling, konsultasi kontrasepsi, dan kunjungan layanan. Intervensi didasarkan pada teori dan penelitian dalam intervensi singkat, wawancara motivasi, dan Model Transtheoretical. Transtheoretical Model adalah perubahan perilaku atas kesiapan individu untuk memiliki tindakan yang lebih sehat, memberikan strategi, atau proses perubahan untuk memandu individu untuk berperilaku sehat melalui tahapan perubahan dan pemeliharaan kesehatan.Tujuan dari intervensi untuk mendorong perempuan untuk mengubah salah satu atau kedua target tersebut yaitu perilaku minum alkohol dan penggunaan kontrasepsi yang tidak efektif. Intervensi difokuskan untuk meningkatkan komitmen peserta agar berubah melalui penggunaan motivasi wawancara dan konten yang bertujuan untuk meningkatkan motivasi. Wawancara motivasi adalah gaya konseling yang direktif tetapi berpusat pada klien dimaksudkan untuk meminimalkan penolakan terhadap perubahan.

Konselor menggunakan wawancara motivasi untuk mengekspresikan empati, tanpa mengelola perlawanan konfrontasi, dan mendukung kemanjuran diri peserta. Prosedur untuk meningkatkan motivasi disampaikan dalam empat sesi konseling wawancara motivasi dan satu kontrasepsi kunjungan konseling dengan penyedia layanan kesehatan .

Session Two

  • personalized feedback (delived from baseline assessment)
  • review and discussion of information recorded in the daily journal
  • arrangement of contraception counseling visit
  • review of decisional balance exercise
  • completion of self-evaluation rulers addressing readiness to change drinking and contraception
  • completion of initial goal statement and change plan
  • discussion of templation and confidence profiles

Session three

  • discussion of contraception counseling appointment
  • discussion of information recorded in daily journal
  • review and update of decisional balance and self-evaluation exercises, goal statements and change plans

Session Four

  • review of previous sessions
  • review of goals and finalization of change plans
  • problem solving reinforcement of goals, strengthening commitment to change, and discussion of the participant's next steps

Contraceptive counseling visit

  • determine appropriate and suitable contaceptive methods
  • provide prescriptions or services
  • provide follow-up clinical cate or referral as needed

Kunjungan konsultasi kontrasepsi mencakup riwayat kesehatan peserta dan diskusi tentang pilihan kontrasepsi nya. Bagi sebagian wanita, pemeriksaan fisik, tes kehamilan, dan kontrasepsi gratis disediakan. Biasanya, kunjungan kontrasepsi terjadi antara detik dan sesi konseling ketiga, memberikan kesempatan kepada konselor wawancara motivasi untuk berdiskusi tentang kunjungan dengan peserta. Intervensi disampaikan oleh 21 konselor terlatih dan diawasi oleh Tim Peneliti dan enam penyedia perawatan kontrasepsi (dokter dan perawat keluarga berencana).

Kesimpulannya, penelitian ini menunjukkan intervensi motivasi berperilaku singkat menghasilkan penurunan risiko AEP yang signifikan. Temuan ini menggembirakan karena intervensi bersifat prakonsepsi, dan meskipun banyak dari peserta yang tidak berencana hamil, sebenarnya tidak sadar bahwa mereka berisiko terkena AEP. Wanita yang tidak berencana untuk hamil boleh saja merasa mereka memiliki sedikit alasan untuk khawatir tentang kebiasaan minum atau praktek kontrasepsi mereka. Temuan dari studi ini menunjukkan bahwa wanita yang berisiko AEP bisa menyadari risikonya, dan dapat membuat perubahan selanjutnya untuk mengurangi risiko itu.

Penulis Eva tirtabayu Hasri, disarikan dari sumber dibawah ini.

Sumber: R. Louise Floyd, DSN, RN, Mark Sobell, PhD, ABPP, Mary M. Velasquez, PhD, Karen Ingersoll, PhD, Mary Nettleman, MD, MS, Linda Sobell, PhD, ABPP, Patricia Dolan Mullen, DrPH, Sherry Ceperich, PhD, Kirk von Sternberg, PhD, Burt Bolton, MS, Bradley Skarpness, PhD, Jyothi
Nagaraja, MS, and Project CHOICES Efficacy Study Group. (2007). Preventing Alcohol-Exposed Pregnancies: A Randomized Controlled Trial. Published in final edited form as: Am J Prev Med. 2007 January ; 32(1): 1–10. doi:10.1016/j.amepre.2006.08.028.

 

Oleh Hanevi Djasri

Latar Belakang

Hingga akhir Augustus 2020 telah tercatat jumlah tenaga kesehatan (Nakes) meninggal karena Covid-19 setidaknya telah mencapai: 100 dokter (catatan IDI), 55 perawat (catatan PPNI), 15 bidan, 8 dokter gigi, 1 tenaga kesehatan masyarakat, 1 asisten apoteker, dan 1 ahli teknologi laboratorium medik. Berdasarkan data yang ada, didapatkan bahwa kematian dokter terutama terjadi pada dokter berusia > 50 tahun, dokter umum, memiliki komorbid, dan masih produktif berkarya.

Dampak kematian Nakes ini menimbulkan efek domino pada sistem kesehatan daerah dan nasional. Kematian Nakes akibat Covid-19 akan mengakibatkan beban kerja Nakes yang ditinggalkan semakin meningkat, tidak saja karena berkurangnya jumlah Nakes, namun juga karena meningkatnya stress fisik dan beban psikologis. Beban kerja yang meningkat akan membuat kapasitas pelayanan kesehatan menurun, terlebih pada daerah dengan kekurangan dan kelangkaan Nakes. Efek berikutnya adalah meningkatnya morbiditas & mortalitas masyarakat, tidak saja karena Covid-19 tetapi juga karena penyakit lain, baik penyakit akut dan kronis termasuk prioritas nasional seperti KIA, TB, dan Malaria akibat menurunnya kemampuan sistem kesehatan dalam pencegahan dan penanganan penyakit.

Analisa

Analisa dari kasus kematian Nakes terutama berusaha untuk menjawab dua hal: Mekanisme Nakes tertular Covid-19, dan Mutu tatalaksana Nakes yang tertular Covid-19. Berbagai asumsi yang sering digunakan untuk menjelaskan mengapa Nakes tertular Covid-19 adalah: Tidak mengetahui pasien merupakan pembawa virus Covid-19, tidak mengggunakan atau tidak adekuat penggunaan APD, kelelahan, desain fisik Fasilitas pelayanan kesehatan (Faskes), hingga terkait dengan aktivitas sosial para Nakes diluar Faskes. Asumsi ini belum didukung dengan data dan informasi yang akurat, kerena tiadanya mekanisme pencatatan dan pelaporan yang sistematis.

Mutu tatalaksana Nakes yang tertular Covid-19 lebih sulit terjawab. Meski dapat diyakini bahwa klinisi telah berusaha memberikan pelayanan terbaik bari teman sejawatnya, namun karena tidak adanya kegiatan audit kematian yang sistematis membuat tidak dapat dipastikan apakah kematian Nakes yang terinfeksi Covid-19 merupakan anavoidable death (kematian yang memang tidak dapat dicegah menurut ilmu medis), atau ada pelayanan sub-standard dalam mengatasi manisfestasi klinis Covid-19, sehingga kematian tersebut dimasukan sebagai avoidable death sehingga perlu ada tindak lanjut dalam bentuk peningkatan mutu tatalaksana.

Kebijakan Saat Ini

Saat ini kebijakan pemerintah dalam Covid-19 terutama terfokus pada upaya pencegahan penyebaran dan penularan virus, serta telah mulai kepada upaya pemulihan kondisi sosial-ekonomi, namun belum cukup porsi untuk kebijakan terkait dengan upaya menurunkan angka kematian, termasuk angka kematian dikalangan Nakes.

Fokus kebijakan lain adalah pada upaya pencatatan angka kejadian dan kematian untuk pemantauan epidemiologi, meski telah dapat diakses publik, namun belum cukup memuat data klinis yang dapat dijadikan analisa kematian (audit kematian) termasuk kematian dikalangan Nakes. Berbagai data klinis yang diperlukan belum lengkap terisi atau tidak tersedia.

Alternatif Kebijakan

Berbagai usulan dalam forum diskusi nasional telah cukup banyak memberikan rekomendasi terkait dengan pencegahan penularan Covid-19 kepada Nakes, dan sebagian telah dijalankan, antara lain:

  • Membatasi jam kerja Nakes
  • Memastikan kecukupan APD
  • Pelatihan pencegahan infeksi
  • Pelatihan protokol kesehatan
  • Jaminan, perlindungan, dan kompensasi bagi Nakes
  • Klaster/pemisahan Faskes yang dikhususkan untuk Covid-19
  • Memindahkan Nakes ke Faskes yang kekurangan (redistribusi Nakes)

Berbagai rekomendasi kebijakan tersebut belum secara spesifik terkait dengan upaya menurunkan angka kematian pada Nakes yang terinfeksi Covid-19. Negara-negara lain juga mengeluarkan rekomendasi kebijakan serupa, dan telah ada yang mengarah ke tatalaksana Nakes yang terinfeksi Covid-19, rekomendasi tersubut adalah:

  • Peningkatan upaya pengendalian infeksi di luar area berisiko tinggi
  • Memberikan dukungan psikologis kepada Nakes
  • Meningkatkan supervisi ke RS secara rutin
  • Menerapkan telehealth bila memungkinkan
  • Memperketat screening para pengujung Faskes dimana saja
  • Meningkatkan kepedulian Nakes terhadap kondisi dirinya sendiri
  • Mengembangkan sistem pengumpulan, analisis, dan publikasi data kematian secara sistematis. Rekomendasi ini dapat digunakan sebagai dasar menurunkan angka kematian pada Nakes yang terinfeksi Covid-19

Rekomendasi Kebijakan

Berdasarkan analisa dan alternatif kebijakan yang ada, maka direkomendasikan kebijakan sebagai berikut:

  1. Menjadikan isu penurunan angka kesakitan dan kematian Nakes karena Covid-19 menjadi salah satu prioritas nasional. Disadari bahwa semua komponen bangsa berperan, namun Nakes menjadi benteng terakhir dalam menghadapi Pandemi Covid-19
  2. Menyusun dan menjalankan Covid-19 Morbidity and Mortality Reduction Program (C19-MMRP) untuk Nakes secara nasional. Inti program ini adalah: a) Pendataan kasus kesakitan dan kematian Nakes secara sistematis; b) Analisa akar masalah dan penyusunan rekomendasi serta pelaksanaan perbaikan, c) Pemantuaan secara berkala/tiap bulan; d) Pengalaman dari program ini kemudian dapat dikembangkan menjadi program sejenis bagi seluruh masyarakat

Kebijakan ini direkomendasikan kepada:

  • Kementerian Kesehatan RI
  • Pemerintah Daerah
  • Asosiasi Fasilitas Pelayanan Kesehatan (rumah sakit dan Faskes tingkat primer)
  • Organisasi Profesi

Kesimpulan dan Saran

Kematian Nakes akibat Covid-19 telah menjadi masalah penting, karena posisi strategis dari Nakes serta efek domino yang menyertainya, namun berbagai kebijakan yang ada/diusulkan masih terbatas pada upaya mengurangi penularan ke Nakes, belum kearah mengurangi kematian Nakes yang terinfeksi Covid-19. Disarankan agar pemerintah pusat dan stakeholders terkait untuk: 1) Menjadikan isu penurunan angka kesakitan dan kematian Nakes karena Covid-19 menjadi salah satu prioritas nasional, 2) Menyusun dan menjalankan Covid-19 Morbidity and Mortality Reduction Program (C19-MMRP) untuk Nakes secara nasional.

Unduh Dokumen Policy Brief

Referensi

Nasional:

Internasional

 

 

Di Belanda, seluruh wanita hamil diharuskan untuk menjalani screening untuk Human Immunodeficiency Virus (HIV), syphilis dan hepatitis B virus (HBV). Bila hasil screening positif, maka dilanjutkan dengan tes konfirmasi. Bila hasil tes lanjutan juga positif, sang ibu akan dirujuk ke pelayanan sekunder untuk perawatan dan atau pengukuran pencegahan lainnya.

Pada tahun 2014 World Health Organization (WHO) menetapkan kriteria validasi untuk mengeliminasi transmisi ibu ke bayi atau mother-to-child-transmission (EMTCT) untuk penyakit HIV dan syphilis yang kemudian diperbarui pada tahun 2017. Kriteria ini mencakup 3 dampak – 6 proses indikator minimum untuk validasi EMTCT HIV, syphilis, dan kriteria tambahan untuk hepatitis B. Tim peneliti yang dipimpin oleh Maartje Visser, melakukan evaluasi terhadap praktek yang telah berjalan di Belanda apakah telah mencapai kombinasi kriteria WHO untuk HIV, syphilis, dan HBV.

Data terkait HIV, syphilis, dan infeksi HBV pada ibu hamil dan anak-anak (yang lahir di Belanda dengan infeksi kongenital) sejak tahun 2009 – 2015, dan data yang dibutuhkan untuk memvalidasi kriteria WHO dikumpulkan dari berbagai sumber seperti: screening antenatal registry, database yayasan monitoring HIV, Perinatal Registry of the Netherlands, laboratorium referensi nasional untuk syphilis kongenital, dan data notifikasi HBV nasional.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa cakupan screening diantara perempuan hamil mencapai lebih dari 99% dalam semua rentang umur, prevalensi HIV, syphilis, dan HBV sangat rendah. Pada tahun 2015, pervalensi HIB sebesar 0,006%; syphilis sebesar 0,006%; dan HBV sebesar 0,29%. Tidak ditemukan infeksi ketiga penyakit ini pada bayi yang baru lahir di Belanda yang dilaporkan sepanjang tahun 2015. Pada tahun tahun sebelumnya hanya kasus sporadic yang diobservasi pada tahun 2015. Terapi wanita hamil yang positif HIV sebesar 100% dan vaksinasi HBV pada anak-anak dengan ibu yang positif HBV mencapai lebih dari 99%. Untuk syphilis, data komprehensif untuk memvalidasi kriteria WHO sangat kurang.

Penelitian ini menyimpulkan bahwa prevalensi HIV, syphilis, dan HBV maternal di Belanda rendah dan infeksi kongenital terbilang sangat jarang. Di Belanda semua kriteria WHO minimum untuk validasi EMTCT dijumpai untuk HIV dan HBV, namun untuk syphilis masih membutuhkan lebih banyak data untuk membuktikan eliminasi. Dapat disimpulkan juga bahwa Belanda memiliki program antenatal screening dengan cakupan yang tinggi, dan bahwa layanan tambahan untuk mengurangi EMTCT HIV dan HBV seperti perawatan dan vaksinasi sudah diselenggarakan dengan baik.

Dirangkum oleh: drg. Puti Aulia Rahma, MPH, CFE

Referensi: Visser et al., 2019, Evaluating progress towards triple elimination of mother-to-children transmission of HIV, syphilis and hepatitis B in the Netherlands, BMC Public Health, 19:353, https://doi.org/10.1186/s12889-019-6668-6 

 

Penulis: Andriani Yulianti,  Divisi Mutu PKMK FK KMK UGM)

Pandemi COVID-19 saat ini memaksa banyak sistem kesehatan secara proaktif mengurangi pemberian pelayanan kesehatan untuk mengurangi kontak dengan sarana pelayanan kesehatan demi menghindari paparan virus. Terdapat kekhawatiran bahwa penangguhan pelayanan memiliki dampak kesehatan yang negatif, sehingga pemanfaatan telemedicine dapat memberikan alternatif yang layak untuk dipertimbangkan.

Oleh karena itu, Kementerian Kesehatan menghimbau rumah sakit dan fasilitas pelayanan kesehatan lainnya untuk mengembangkan dan menggunakan pelayanan kesehatan jarak jauh (telemedicine) dalam memberikan pelayanan kesehatan kepada masyarakat. Hal tersebut dilakukan Diyakini bahwa telemedicine merupakan pendekatan inovatif untuk mengelola situasi COVID-19.

Pelayanan telemedicine merupakan pemberian pelayanan kesehatan jarak jauh oleh profesional kesehatan dengan menggunakan teknologi informasi dan komunikasi, meliputi pertukaran informasi diagnosis, pengobatan, pencegahan penyakit dan cedera, penelitian dan evaluasi, dan pendidikan berkelanjutan penyedia layanan kesehatan untuk kepentingan peningkatan kesehatan individu dan masyarakat (Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 20 Tahun 2019).

Beberapa pelayanan telemedicine di era COVID-19 dengan pemberian informasi dan edukasi kesehatan, pemberian konsultasi online masalah kesehatan, pemeriksaan kesehatan di rumah dan pelayanan keperawatan, pemeriksaan rapid test di rumah, pemberian obat serta mengarahkan rujukan ke fasilitas kesehatan / Rumah Sakit.

Pelayanan telemedicine di era COVID-19 telah tertuang dalam Surat Edaran Menkes HK.02.01/MENKES/303/2020 bahwa pelayanan telemedicine merupakan pelayanan kesehatan yang dilakukan oleh Dokter dengan menggunakan teknologi informasi dan komunikasi untuk mendiagnosis, mengobati, mencegah, dan/atau mengevaluasi kondisi kesehatan pasien sesuai dengan kompetensi dan kewenangannya, yang dibuktikan dengan surat tanda registrasi (STR) dengan tetap memperhatikan mutu pelayanan dan keselamatan pasien. Hasil pelayanan telemedicine dicatatkan dalam catatan digital atau manual yang dipergunakan oleh Dokter sebagai dokumen rekam medik dan menjadi tanggung jawab dokter, harus dijaga kerahasiaannya, serta dipergunakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Terdapat beberapa kewenangan klinis dokter seperti yang tertuang dalam surat edaran tersebut yakni; melakukan anamnesa, pemeriksaan fisik tertentu yang dilakukan melalui audiovisual, pemberian anjuran/nasihat yang dibutuhkan berdasarkan hasil pemeriksaan penunjang, dan/atau hasil pemeriksaan fisik tertentu, penegakkan diagnosis, penatalaksanaan dan pengobatan pasien, penulisan resep obat dan/atau alat kesehatan yang diberikan kepada pasien sesuai dengan diagnosis, serta penerbitan surat rujukan untuk pemeriksaan atau tindakan lebih lanjut ke laboratorium dan/atau fasilitas pelayanan kesehatan sesuai hasil penatalaksanaan pasien.

Penulisan resep elektronik obat dan/atau alat kesehatan harus silakukan secara hati-hati dengan ketentuan dapat dilakukan secara tertutup atau secara terbuka, dengan ketentuan sebagai berikut: a. Penyelenggaraan resep elektronik tertutup dilakukan melalui aplikasi dari Dokter ke fasilitas pelayanan kefarmasian. b. Penyelenggaraan resep elektronik terbuka dilakukan dengan cara pemberian resep elektronik secara langsung kepada pasien. Penyelenggaraan resep secara terbuka membutuhkan kode identifikasi resep elektronik yang dapat diperiksa keaslian dan validitasnya oleh fasilitas pelayanan kefarmasian. c. Resep elektronik digunakan hanya untuk 1 (satu) kali pelayanan resep/pengambilan sediaan farmasi, alat kesehatan, BMHP, dan/atau suplemen kesehatan dan tidak dapat diulang (iter).

Beberapa hal harus diperhatikan dalam implementasi telemedicine yakni memastikan jasa pengantaran, atau penyelenggara sistem elektronik kefarmasian dalam melakukan pangantaran, harus: 1) menjamin keamanan dan mutu sediaan farmasi, alat kesehatan, BMHP, dan/atau suplemen kesehatan yang diantar; 2) menjaga kerahasiaan pasien; 3) mengantarkan sediaan farmasi, alat kesehatan, BMHP, dan/atau suplemen kesehatan dalam wadah yang tertutup dan tidak tembus pandang; 4) memastikan sediaan farmasi, alat kesehatan, BMHP, dan/atau suplemen kesehatan yang diantarkan sampai pada tujuan; 5) mendokumentasikan serah terima sediaan farmasi, alat kesehatan, BMHP, dan/atau suplemen kesehatan; dan 6) Pengantaran melengkapi dengan dokumen pengantaran, dan nomor telepon yang dapat dihubungi.

Penggunaan telemedicine tidak lepas dari beberapa tantangann yang dapat mempengaruhi keberhasilan penggunanya seperti kerahasiaan data pasien yang harus dibangun. Selain itu, efektivitas telemedicine tergantung pada kualitas gambar dan video. Dengan demikian, penyebaran telemedicine yang efektif membutuhkan ketersediaan infrastruktur yang baik untuk pasien dan dokter. Biasanya beberapa diagnosis mungkin sulit dilakukan secara virtual. Dengan demikian, penting juga bahwa perangkat lunak virtual yang digunakan untuk telemedicine harus ramah pengguna dan juga menyediakan akses ke bantuan online untuk pasien dengan kemampuan teknologi rendah.

Selain itu, praktisi medis mungkin memerlukan pengetahuan dan peningkatan keterampilan untuk dapat menggunakan teknologi dan peralatan virtual. Praktisi medis yang sudah memiliki pengetahuan sebelumnya dalam menggunakan platform virtual dapat memberikan pelatihan dan dukungan kepada pengguna staf baru lainnya. Oleh karena itu, perlu diberikan pelatihan kepada dokter dalam menggunakan telemedicine (Anthony, 2020)

Dalam sebuah penelitian lainnya juga disebutkan tantangan lainnya untuk implementasi telemedicine di Rumah Sakit yakni adanya beban regulasi (kebutuhan akan dokumentasi tambahan )dan teknis pelaksanaan yang dapat menghambat, hal ini terutama berlaku untuk sektor publik, dimana dilaporkan setidaknya sesekali kendala telemedicine dalam lingkungan kerja. Penting untuk mengurangi hambatan ini serta berinvestasi dalam infrastruktur teknis untuk memberikan perawatan optimal bagi pasien yang dirugikan karena krisis COVID-19 harus menjadi prioritas penyelenggara pemerintah. Selanjutnya aspek sosial, seperti kendala bahasa dalam percakapan audio-video langsung dan kurangnya keterampilan teknis, dapat menghambat implementasi (Yamada, et al 2020).
Contoh Implementasi telemedicine di RS Siloam

art28ags

Setelah di implementasikan, maka penting dilakukan evaluasi pelayanan kepada pasien agar dapat memberikan kesempatan perbaikan dalam penyediaan layanan kesehatan sebagai proses perbaikan yang berkelanjutan. Survei kepuasan pasien memungkinkan penyedia layanan kesehatan untuk memastikan apakah implementasi telemedicine telah memenuhi harapan pasien agar dapat mengekspos area yang memerlukan perbaikan menuju standar yang ditetapkan. Ini sangat penting selama meningkatnya penggunaan telemedicine untuk penyediaan layanan kesehatan di masa COVID-19.

Sumber:

  • Anthony Jnr, (2020), Use of Telemedicine and Virtual Care for Remote Treatment in Response to COVID-19 Pandemic, Nature public health emergency collection, Published online 2020 Jun 15. doi: 10.1007/s10916-020-01596-5
  • Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2019 Tentang Penyelenggaraan Pelayanan Telemedicine Antar Fasilitas Pelayanan Kesehatan
  • Surat Edaran Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor HK.02.01/MENKES/303/2020 TAHUN 2020 tentang penyelenggaraan pelayanan kesehatan melalui pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi dalam rangka pencegahan penyebaran corona virus disease 2019 (COVID-19)
  • Yamada N, Aslanidis T, Ditchburn J, (2020), Telemedicine in Germany During the COVID-19 Pandemic: Multi-Professional National Survey, Journal of Medical Internet Research, Published online 2020 Aug 5. doi: 10.2196/19745