Analisa Kebijakan Kesehatan Ibu dan Anak Tahun 1980 -2010 di Indonesia

Oleh: Laksono Trisnantoro

Ringkasan

Analisis kebijakan ini menggunakan pendekatan analisis segitiga kebijakan dari Bose.

Isi kebijakan: Terjadi fragmentasi pelayanan KIA antara pelayanan dengan pelayanan sekunder dan tertier. Penggunaan data kematian absolut kurang dimaksimalkan. Kebijakan menekankan pada penggunaan rates dengan data yang sudah terlambat dan memberikan rasa aman yang palsu (misal sudah lebih baik dari angka rata-rata nasional). Kebijakan monitoring dan evaluasi program belum maksimal dijalankan, padahal kunci keberhasilan program berada pada monitoring dan evaluasi program dan pelaksanaan kebijakan. Dana dekonsentrasi untuk perencanaan dan pembinaan teknis (termasuk monev) belum maksimal dipergunakan.Secara tegas dapat dinyatakan bahwa kebijakan KIA tidak fokus pada indikator kematian.

Pelaku: Kebijakan selama ini menimbulkan situasi dimana banyak pelaku di pelayanan primer dan pencegahan namun masih kurang di aspek klinis.Hal ini terjadi karena selama puluhan tahun KIA aktif dikelola oleh DitJen BinKesmas.Sementara pelaku di rumahsakit belum begitu aktif (sebelum reorganisasi Kemenkes yang menghasilkan DitJen Bina Upaya Kesehatan).Profesi yang paling banyak menjadi obyek kebijakan adalah bidan.Dokter Spesialis dan dokter umum kurang berperan.Kepemimpinan dokter spesialis dalam pengurangan kematian belum banyak ditekankan. Peran dokter umum dikesampingkan.Tidak ada tenaga ahli manajemen untuk perencanaan, pelaksanaan, dan monitoring-evaluasi program KIA.Kerjasama lintas sektor untuk promosi dan pencegahan hulu belum maksimal.Para pelaku promosi dan pencegahan yang lintas sektor belum banyak memberikan kontribusi.

Konteks kebijakan: Dampak Kebijakan Desentralisasi di sektor kesehatan belum banyak diperhitungkan.Isu program KIA belum diperhatikan di daerah, khususnya di kabupaten.Pemerintah pusat sudah mempunyai perhatian besar untuk KIA, namun tidak mampu mengajak pemerintah propinsi dan kabupaten untuk memperhatikannya.Di berbagai daerah anggaran untuk KIA masih rendah.Kebijakan KIA terlihat hanya satu di seluruh Indonesia.Perbedaan tempat kematian ibu dan bayi dimana di pulau Jawa sebagian besar berada di rumahsakit belum diperhatikan.

Proses Kebijakan: Kebijakan KIA sering ditetapkan secara top-down dari pemerintah pusat. Di masa lalu inisiatif kebijakan sering berasal dari lembaga di luar negeri.Kebijakan yang berasal dari daerah belum banyak muncul.Saat ini dari NTT dan DIY sudah mulai ada inisiatif untuk kebijakan di daerah.Inisiatif daerah ini menimbulkan berbagai inovasi seperti adanya Revolusi KIA di NTT atau penyusunan manual rujukan dan Peraturan Gubernur tentang Rujukan KIA di DIY. Saat ini belum popular adanya tim monitoring dan evaluasi kebijakan dan program KIA yang independen. Akibatnya belum ada mekanisme kontrol yang sehat terhadap efektifitas kebijakan dan program KIA.

Latar Belakang

Kebijakan KIA diartikan sebagai rangkaian tindakan yang mempengaruhi tatanan institusi, organisasi, layanan dan pengaturan pendanaan sistem KIA. Bagian ini akan membahas kebijakan yang dibuat dalam sektor publik maupun swasta. Kebijakan-kebijakan KIA mencakup tindakan-tindakan dan tindakan-tindakan terencana organisasi berkaitan dengan faktor eksternal sistem kesehatan yang mempunyai akibat terhadap indikator KIA, contohnya seperti sanitasi air, dan pendidikan. Adalah penting untuk mengangkat isu bahwa masalah Kesehatan Anak bukanlah masalah (klinis) sekunder atau tersier. Ada beragam masalah primer (seperti kurangnya pendidikan, air dan sanitasi).

Berdasarkan riwayat alamiah penyakit, ada tiga tahap pencegahan penyakit, yaitu I, II, III. Pencegahan I bertujuan untuk mencegah kontak awal dengan faktor resiko (diagnosa dan pengelolaan faktor resiko). Di kesehatan anak, kebijakan dalam pencegahan I berkaitan dengan faktor determinan sosial dari kesehatan, termasuk air dan sanitasi. Kebanyakan kebijakan sosial kesehatan publik dan lingkungan ada pada tahap ini. Pencegahan II mencakup beberapa kegiatan untuk mencegah kontak awal dengan penyebab penyakit. Pencegahan tersebut dapat digambarkan sebagai diagnosa dan pengobatan dini. Pencegahan III mencakup aktivitas klinis untuk mencegah kematian dan kelumpuhan (cacat).

Siklus alami penyakit dapat dilihat sebagai pendekatan paling berpengaruh untuk menjelaskan mortilitas dan morbiditas anak. Walaupun menggunakan penyakit sebagai hasil proses akhir, pendekatan ini memandang kebijakan sosial dan ekonomi sebagai persoalan yang penting dalam pencegahan penyakit. Istilah lain adalah pendekatan hulu dan hilir.

Paper ini menggunakan pendekatan tersebut untuk menganalisa kebijakan KIA di Indonesia. Analisa kebijakan diartikan sebagai sebuah analisa kritis dari kebijakan yang masih berlaku dan implementasinya; seberapa efektif kebijakan tersebut terhadap masalah. Analisa kebijakan menggunakan segitiga kebijakan yang meliputi: Analisa isi kebijakan, analisa konteks, analisa pelaksana, dan analisa proses.

Analisa isi kebijakan

Secara tradisional KIA adalah sebuah program vertikal yang diatur oleh kebijakan nasional. Sebagian besar kebijakan utama KIA adalah inisiatif nasional yang dipengaruhi oleh organisasi internasional seperti Bidan Desa, Membuat Kehamilan lebih Aman, dan Manajemen Terintegrasi dari Penyakit Masa Anak-anak, Kebijakan KIA adalah program yang sangat kuat di level pemerintah pusat, tetapi bukan termasuk yang penting di level pemerintah daerah.

Di pemerintah pusat, kekuatan kebijakan KIA sangat jelas. Program KIA dibahas dengan baik di Tindakan-tindakan Kesehatan, Rencana Jangka Menengah dan Jangka Panjang Pemerintah, Kebijakan Bappenas dan dokumen rencana strategis Kementrian Kesehatan. Di sisi lain, kelemahan kebijakan utama nasional juga jelas. Tidak ada rencana pendanaan KIA berdasarkan intervensi efektif dalam implementasi kebijakan. Sebagai hasilnya, implementasi kebijakan menjadi tidak efektif.

Dibandingkan dengan kebijakan mengenai Kesehatan Ibu, kebijakan untuk Kesehatan Anak relatif tidak kuat. Untuk memenuhi perjanjian untuk Sasaran Pembangunan Millenium (MDGs) dan Dunia yang Layak Untuk Anak (WFFC- A World Fit for Children), sebuah inisiatif baru yang disebut Program Nasional Bagi Anak Indonesia 2005 - 2015 (PNBAI 2005 – 2015) telah dibuat di tahun 2005. Dokumen ini adalah sebuah refleksi komitmen pemerinyah Indonesia dalam deklarasi A World Fit for Children di Sidang Umum PBB ke 27 Sesi Khusus mengenai Anak tahun 2001 ada 4 persoalan dalam deklarasi tersebut: mempromosikan hidup sehat, menyediakan pendidikan berkualitas, melindungi dari pelecehan, eksploitasi dan kekerasan, dan melawan HIV/AIDS

Dokumen ini merujuk pada UUD 1945 ayat 28a dan 2bc, dan Undang-undang no 23/2002 tentang Perlindungan Anak, Konvensi Hak Anak, dan Sasaran Pembangunan Milenium (MDGs). Hal ini merupakan sebuah dokumen kebijakan yang menarik perhatian yang dikeluarkan Bappenas. Hal ini mencakup tidak hanya kesehatan anak tapi juga pendidikan dan hak-hak anak. Akan tetapi, implementasi kebijakan ini tidak jelas. Penjelasannya hanya satu yaitu dokumen strategi tersebut terlalu luas dan kekurangan implementasinya secara detail, termasuk keuangan strategis dan operasional.

Rencana Strategis National tentang Membuat Kehamilan Lebih Aman (Makes Pregnancy Safer) di Indonesia 2001-2010 menyatakan visinya adalah memastikan bahwa semua ibu mengalami kehamilan dan persalinan yang aman dan melahirkan bayi yang sehat. Misinya adalah mengurangi morbiditas dan mortalitas ibu dan bayi yang baru lahir. Obyektif: mengurangi morbiditas dan mortalitas ibu dan bayi yang baru lahir melalui perbaikan sistem kesehatan untuk menjamin akses kepada intervensi dengan biaya-efektif dan berkualitas, memberdayakan ibu- ibu, keluarga dan masyarakat dan mempromosikan kesehatan ibu dan bayi baru lahir sebagai prioritas nasional. Strategi utama yang diimplementasikan meliputi: meningkatkan akses dan jangkauan layanan kesehatan ibu dan neonatal yang berkualitas; Membangun kemitraan yang efektif melalui kerjasama antar program dan antar sektor dan koordinasi yang lebih baik; Meningkatkan pemberdayaan wanita dan keluarga melalui peningkatan pengetahuan untuk menjamin perilaku yang sehat dan memanfaatkan layanan untuk ibu dan bayi baru lahir; dan mendorong keterlibatan masyarakat dalam penyediaan dan pemanfaatan layanan kesehatan ibu dan neonatal.

Beberapa kebijakan untuk kesehatan anak terkait dengan baik dengan kesehatan ibu, seperti program Bidan Desa. Kebijakan lain yang juga penting adalah IMCI. Di beberapa provinsi, sebuah kebijakan untuk meningkatkan kinerja bidan pada kesehatan anak diperkenalkan oleh proyek PATH-USAID. Sesuai pengamatan, kebijakan Kesehatan Anak seharusnya mencakup kelangsungan hidup anak, dan kebijakan-kebijakan untuk remaja. Kebijakan kelangsungan hidup anak dalam proses penyusunan di tahun 2010.

Jika dikaji lebih lanjut, isi kebijakan sebagian besar berada di wewenang DitJen Bana Kesehatan Masyarakat.Jarang ada kebijakan mengenai kesehatan ibu dan anak yang berasal dari Ditjen Pelayanan Medik, Akibatnya di lapangan terjadi fragmentasi pelayanan KIA antara pelayanan dengan pelayanan sekunder dan tertier.

Lebih lanjut, isi kebijakan jarang yang langsung berhubungan dengan indikator kematian yang menjadi penekanan program MDG4 dan MDG5. Penggunaan data kematian absolut kurang dimaksimalkan.Kebijakan terlalu menekankan pada penggunaan rates dengan data yang sudah terlambat dan memberikan rasa aman yang palsu (misal sudah lebih baik dari angka rata-rata nasional).

Kebijakan monitoring dan evaluasi program KIA belum maksimal dijalankan, padahal kunci keberhasilan program berada pada monitoring dan evaluasi program dan pelaksanaan kebijakan. Dana dekonsentrasi untuk perencanaan dan pembinaan teknis (termasuk monev) belum maksimal dipergunakan.Secara tegas dapat dinyatakan bahwa kebijakan KIA kurang memberikan perhatian pada indikator kematian.

Analisis Pelaku Kebijakan KIA

Pelaksanan Kebijakan KIA terdiri dari pemerintah (pusat dan daerah), organisasi internasional, LSM nasional dan internasional, kelompok penekan dan kelompok kepentingan, lembaga-lembaga bilateral, profesi dan lain-lain. Dengan menggunakan prinsip tata pemerintahan para pelaku kebijakan dikelompokan menjadi:

  • Pelaku yang terlibat dalam penyusunan kebijakan dan fungsi regulasi. Ada beragam organisasi yang dapat digambarkan sebagai sektor kesehatan dan sistem antar sektor. Penyusunan kebijakan sektor kesehatan dan peraturan diselenggarakan oleh Kementrian Kesehatan dan Dinas Kesehatan di tingkat provinsi dan kabupaten/kota. Kelompok intersektoral dipimpin oleh Bappenas di tingkat pusat dan Bappeda di tingkat provinsi dan kabupaten/kota.
  • Pelaku pada fungsi keuangan. Sumber daya keuangan KIA bisa dari pemerintah, masyarakat, dan sektor swasta. Beberapa pendanaan datang dari donor bilateral asing, rencana multilateral, dan Tanggug Jawab Social Perusahaan (CSR- Corporate Social Responsibility).
  • Pelaku pada fungsi penyediaan layanan. Beragam institusi dan perorangan menyediakan layanan KIA seperti: rumah sakit pemerintah dan swasta, klinik, praktek perorangan. Dalam intervensi preventif dan promotif, beragam organisasi bekerja di KIA seperti sebagai LSM, organisasi swasta, pemimpin formal dan informal.

Jaringan kerja pelaku ini terlihat belum diatur oleh prinsip tata pemerintahan yang baik untuk meningkatkan akuntabilitas, keterbukaan, dan peran serta pihak-pihak yang berkepentingan. Setiap organisasi memiliki kekuatan politik untuk meningkatkan program KIA. Organisasi-organisasi tersebut dikelola oleh para profesional seperti: politisi, birokrat, manajer, dan profesional kesehatan seperti: bidan, perawat, dokter umum, dokter ahli kandungan, dokter anak, dokter bius, dan pekerja kesehatan lainnya. Akan tetapi harus disadari bahwa kebijakan yang saat ini belum komprehensif, belum inovatif dan banyak mengandalkan Bidan Desa.

Di Indonesia, kebijakan KIA dipengaruhi oleh pelaku internasional dan diprakarsai oleh pemimpin pemerintahan dan politik yang kuat. Sejak tahun 1988 kesehatan ibu mendapat prioritas politik yang signifikan. Setelah pertemuan internasional tentang kesehatan ibu di Nairobi, Presiden Suharto memberikan ceramah utama pada seminar pertama Indonesia tentang keselamatan ibu pada 1988. Satu tahun setelah program Bidan Desa, kebijakan diperkenalkan oleh pemerintah pusat. Hal tersebut dirancang untuk meningkatkan akses kepada perawatan pre natal selama kehamilan dan bantuan saat persalinan dengan menempatkan penyedia layanan yang terampil di setiap desa. Di tahun 1989 ada sekitar 13.000 bidan yang melayani perempuan-perempuan di desa. Pada tahun 2006, jumlahnya hampir menjadi 80.000. Tujuan utama program tersebut adalah untuk mendapatkan dampak positif pada proses persalinan itu sendiri, terutama dalam masyarakat yang tidak mempunyai akses kepada fasilitas kesehatan. Akan tetapi, diharapkan juga agar dengan memperkenalkan bidan dapat memberi dampak positif lainnya, seperti cakupan perawatan antenatal yang lebih luas, hasil nutisi yang lebih baik, dan resiko kematian bayi yang lebih rendah.

Perhatian Internasional pada kesehatan ibu tumbuh dari sebuah Konferensi Internasional tentang Wanita diselenggarakan di Beijing tahun 1995. Wakil dari Indonesia hadir pada konferensi tersebut. Dengan dukungan organisasi internasional, dan dukungan presiden, pada Maret 1996, Kementrian Peranan Wanita menyelenggarakan simposium nasional yang menindak lanjuti Konferensi Beijing. Tiga bulan kemudian, seminar nasional dibuka oleh Presiden Indonesia.

Gerakan Sayang Ibu diperkenalkan oleh Wakil Menteri Peranan Wanita sebagai geraka nasional untuk mendorong kesehatan ibu. Puncak semua event tersebut terjadi pada tanggal 22 Desember 1996 saat Presiden Suharto mengumumkan pelunvuran secara resmi Gerakan Sayang Ibu, Pada tahun 2000 diperkenalkan kebijakan Membuat Kehamilan yang Lebih Aman (MPS-Making Pregnancy Safer) sebagai strategi global WHO. Pada tahun 2002, Kementrian Kesehatan merampungkan tinjauannya dan rencana strategisnya dan secara resmi meluncrkan Membuat Kehamilan yang Lebih Aman.

Pada 1999 Jaring Pengaman Sosial untuk Kesehatan dimulai sebagai kebijakan reaktif terhadap krisis ekonomi di tahun 1997, Jaring Pengaman tersebut mencakup perawatan kesehatan ibu, dan dilanjutkan dengan Askeskin pada 2005 dan Jamkesmas pada 2008. Terlihat jelas bahwa pelaksana nasional dan internasional berperan kunci pada kebijakan KIA. Masalahnya adalah kebijakan pemerintah daerah tentang Kesehatan Anak lemah. Pelaksana daerah mempunyai peran yang terbatas. Pemerintah daerah mempunyai kemauan yang terbatas untuk menyelenggrakan program Kesehatan Anak yang dicerminkan dengan anggaran yang rendah untuk KIA, termasuk provinsi-provinsi dengan kapasitas fiskal tinggi.

Terlihat bahwa kebijakan KIA selama ini menimbulkan situasi dimana banyak pelaku di aspek social, pelayanan primer dan pencegahan namun masih kurang di aspek klinis.Hal ini terjadi karena selama puluhan tahun KIA aktif dikelola oleh DitJen BinKesmas dan Bappenas serta kementerian yang terkait masalah sosial.Sementara pelaku di rumahsakit belum begitu aktif (sebelum reorganisasi Kemenkes yang menghasilkan DitJen Bina Upaya Kesehatan).Profesi yang paling banyak menjadi obyek kebijakan adalah bidan.Dokter Spesialis dan dokter umum kurang berperan.Kepemimpinan dokter spesialis dalam pengurangan kematian belum banyak ditekankan.Peran dokter umum terkesan dikesampingkan.Tidak ada tenaga ahli manajemen untuk perencanaan, pelaksanaan, dan monitoring-evaluasi program KIA.Kerjasama lintas sektor untuk promosi dan pencegahan hulu belum maksimal.Para pelaku promosi dan pencegahan yang lintas sektor belum banyak memberikan kontribusi.

Analisis Konteks Kebijakan

Faktor Situasional
Sektor kesehatan Indonesia pada dasarnya adalah sistem berbasis pasar. Secara historis layanan kesehatan didominasi oleh sistem keuangan out of pocket (biaya sendiri). Sistem jaminan kesehatan yang dibiayai oleh pemerintah baru diperkenalkan pada 1998, setelah krisis ekonomi.
Pada 2008, program jaminan kesehatan nasional yang terakhir (Jamkesmas) dibuat, bertujuan untuk menyediakan akses kepada pelayanan kesehatan untuk orang miskin dan agak miskin, dengan membebaskan mereka dari biaya- biaya yang dikeluarkan saat menggunakan pelayanan kesehatan.

Faktor Struktural
Kebijakan desentralisasi adalah faktor struktural yang penting yang mempengaruhi kebijakan MNMCH. Pada 1999, kebijakan desentralisasi dipicu oleh tekanan politik selama masa reformasi. Dalam sebuah situasi yang tidak siap, desentralisasi membawa dampak negatif pada sektor kesehatan seperti: kegagalan sistem, kurangnya koordinasi, sumber daya yang tidak mencukupi, jenjang karir sumber daya manusia yang buruk, dan pengaruh politik yang berlebihan. Pada 2004, UU No. 22/1999 diamandemen dengan UU no.32/2004. UU yang mengamendir menekankan pada peranan baru pemerintah pusat dan pemerintah provinsi. Akan tetapi, sektor kesehatan masih tetap didesentralisasi.

Kebijakan desentralisasi tidak efektif untuk kesehatan anak. Kesenjangan antar provinsi, kabupaten/kota dan kelompok sosial ekonomi masih ada. Contohnya: Angka kematian balita berkisar dari 22 di DI Yogyakarta menjadi 96 di Sulawesi Barat. Angka kematian balita juga lebih tinggi secara substansi terhadap anak-anak yang tinggal di pedesaan (38 kematian per 1000 kelahiran). Secara nasional, 46% kelahiran terjadi di fasilitas kesehatan, secara sub-nasional berkisar dari 91% di Bali dan 8% di Sulawesi Selatan. Perbedaan yang sama di antara kelompok sosial ekonomi juga dapat diamati. Saat 83% perempuan dari kuintil kemakmuran paling atas melahirkan di fasilitas kesehatan, hanya 14% perempuan dari kuintil paling bawah yang melahirkan di fasilitas kesehatan.

Berdasarkan data pengeluaran KIA di Kementrian Kesehatan dan Kementrian Keuangan, proporsi pengeluaran KIA didominasi oleh sumber-sumber pemerintah pusat (di luar anggaran Jamkesmas). Pengeluaran pemerintah daerah hanya kurang dari 15%. Ada beberapa penjelasan dari rasa ikut memiliki pemerintah daerah yang rendah:

  1. Kesehatan Anak adalah salah satu yang disebut program vertikal. Kebanyakan anggaran Kesehatan Anak datang dari pemerintah pusat (APBN). Anggaran ini dibagi berdasarkan direktorat jenderal dan sub-direktorat (pembagian pertama)
  2. Kurangnya koordinasi lintas sektoral. Anggaran pemerintah daerah biasanya dipakai untuk pencegahan sekunder dan tersier. Pencegahan pertama lebih pada determinan sosial kesehatan. Programnya diatur oleh departemen lain, non-departemen kesehatan dalam pemerintah daerah. Ada satu lagi pembagian (pembagian kedua) yang mana proses perencanaan dan anggaran di departemen kesehatan dan departemen lain tidak terkoordinasi.

Proses anggaran dan penyaluran KIA disentralisasi dan memiliki beragam masalah. Dalam lima tahun terakhir, anggaran pemerintah pusat tidak dapat diandalkan (naik turun), penundaan dalam pengeluaran dana, dan sulit dalam penyaluran kepada penerima manfaat program KIA. Kebijakan alokasi sumber daya KIA pemerintah pusat tidak bertujuan untuk meningkatkan rasa memiliki pemerintah lokal. Kebijakan yang berlaku tidak cukup kuat untuk memaksimalkan dampak positif yang diharapkan dari kebijakan desentralisasi. Sebagai dampaknya, anggaran pemerintah daerah untuk KIA terbatas. Hal ini menjadi situasi yang rawan; program KIA Indonesia mengandalkan sumber daya keuangan tunggal dari pemerintah pusat dengan sumber daya yang tidak dapat diandalkan dan penyaluran dana yang rentan. Akhirnya, pelaksana di daerah yang seharusnya bertanggung jawab atas kebijakan lokal dan implementasinya menjadi tidak cukup aktif untuk program KIA.

Secara kontekstual terlihat bahwa Kebijakan Desentralisasi di sektor kesehatan belum banyak dipergunakan untuk kepentingan pelaksanaan kebijakan KIA.Isu program KIA belum diperhatikan di daerah, khususnya di kabupaten.Pemerintah pusat sudah mempunyai perhatian besar untuk KIA, namun tidak mampu mengajak pemerintah propinsi dan kabupaten untuk memperhatikannya.Di berbagai daerah anggaran untuk KIA masih rendah.Kebijakan KIA terlihat hanya satu di seluruh Indonesia.Perbedaan tempat kematian ibu dan bayi dimana di pulau Jawa sebagian besar berada di rumahsakit belum diperhatikan.Belum terlihat banyak program yang khas daerah. Namun saat ini sudah beberapa propinsi menggunakan kebijakan daerah misal NTT

Analisis Proses Kebijakan
Mencakup identifikasi masalah dan pengenalan persoalan, perumusan kebijakan, dan implementasi kebijakan pada tingkat nasional dan daerah. Pada tingkat nasional, identifikasi masalah menghadapi ketidaktersediaan data. Sebagian besar data (IMR dan U5MR) dianalisa dari metode estimasi. Hasilnya bisa dianalisa berdasarkan data provinsi. Akan tetapi, tidak mungkin mendapatkan analisa data tingkat kabupaten/kota menggunakan kondisi sedang berlangsung. Kebijakan Kesehatan KIA menjadi normatif. Saat kebijakan tersebut ditransfer dari program perencanaan dan anggaran, ada dasar non sistemik untuk merencanakan dan mealokasikan sumber daya dari tingkat pusat. Akan tetapi, dalam dua tahun fiskal terakhir ini, secara bertahap dibuat sebuah kebijakan untuk alokasi sumber daya yang lebih rasional.

Pada pemerintah daerah, identifikasi masalah KIA tidak ditangani dengan baik. Penjelasan dari situasi ini adalah ketersediaan data dan proses pengambilan keputusan. Penjelasan pertama adalah prinsip surveilans respon tidak dipakai secara efektif oleh pemerintah daerah. Surveilans respon yang telah disusun di Keputusan Menteri Kesehatan No. 1116/2003 tentang Panduan Implementasi Sistem Surveilans Kesehatan Epidemiologis dan Keputusan Menteri Kesehatan No. 1479/2003 tentang Panduan Implementasi sistem Surveilans terintegrasi Penyaki Menular dan Tidak Menular, tidak di implementasikan. Maka, tahapan dalam surveilans respon secara praktis tidak terjadi di tingkat daerah.

Kedua, proses pengambilan keputusan berdasarkan data tidak terjadi di tingkat provinsi dan kabupaten/kota. Secara teori, berdasarkan data, akan ada 2 respon: (1) respon segera untuk pengolaan wabah; (2) respon yang terencana untuk program tahunan dan penganggaran. Respon yang terencana dilakukan melalui Musrenbang dan persiapan anggaran. Akan tetapi, data yang tersedia tidak digunakan di Musrenbang. Data tersebut dikirim langsung ke Menteri Kesehatan di Jakarta tanpa dipakai untuk pengambilan keputusan. Tanpa penggunaan data dengan benar di tingkat kabupaten/kota, alasan utama di rumah tangga/ masyarakat dan tingkat kabupaten/ kota, dan alasan utama di tingkat masyarakat tidak bisa dikelola secara lokal. Dalam kasus ini, sulit bagi pemerintah pusat menganggarkan untuk membiayai pendidikan, akses fisik, perilaku mencari perhatian, nutrisi, air dan sanitasi, politik lokal dan kondisi sosial ekonomi. Disimpulkan bahwa data kematian di kabupaten tidak dipakai sebagai dasar pengambilan keputusan pemerintah daerah. Data tersebut dikirim ke tingkat pusat tanpa adanya analisa.

Secara ringkas dapat dinyatakan bahwa Kebijakan KIA sering ditetapkan secara top-down dari pemerintah pusat. Di masa lalu sebagian inisiatif kebijakan sering berasal dari lembaga di luar negeri.Kebijakan yang berasal dari daerah belum banyak muncul.Saat ini dari NTT dan DIY sudah mulai ada inisiatif untuk kebijakan di daerah.Inisiatif daerah ini menimbulkan berbagai inovasi seperti adanya Revolusi KIA di NTT atau penyusunan manual rujukan dan Peraturan Gubernur tentang Rujukan KIA di DIY.

Saat ini belum popular adanya tim monitoring dan evaluasi kebijakan dan program KIA yang independen. Akibatnya belum ada mekanisme kontrol yang sehat terhadap efektifitas kebijakan dan program KIA