Belajar dari Negara Lain: Cara Menjaga Mutu Layanan Kesehatan dalam Era BPJS

Belum genap 1 bulan BPJS Kesehatan diberlakukan di Indonesia, berita-berita buruk dan keluhan tentang pelaksanaan BPJS sudah marak bermunculan. Dirangkum dari situs Liputan6.com, anggapan-anggapan buruk maupun keluhan atas pelaksanaan BPJS Kesehatan ini datang dari berbagai kalangan. Mulai dari masyarakat yang mengeluhkan beberapa layanan yang ternyata tidak ditanggung BPJS; organisasi profesi yang masih mempertanyakan besaran kapitasi; hingga pernyataan mantan menteri kesehatan RI, Dr. dr. Siti Fadhilah Supari, Sp. JP(K), yang mengatakan bahwa sistem penarikan iuran BPJS yang tidak sesuai konstitusi.

Untuk merebut hati pihak-pihak yang merespon negatif terhadap BPJS, pemerintah punya tugas besar. Pemerintah harus dapat membuktikan bahwa program baru ini dapat memberi nilai "plus" dibanding program sebelumnya. Pemerintah harus menjamin mutu layanan kesehatan yang diberikan kepada peserta BPJS. Selain itu, agar layanan kesehatan yang diberikan kepada pasien dapat lebih bermutu, pemerintah juga punya tugas untuk "memuaskan" provider.

Penelitian yang dilakukan oleh Dalinjong, dkk. (2012)1, menunjukkan bahwa secara umum, peserta maupun bukan peserta jaminan kesehatan merasa puas dengan layanan yang diberikan provider. Namun, adanya peningkatan utilisasi failitas kesehatan oleh peserta jaminan kesehatan menyebabkan tingginya beban kerja provider. Ini berdampak kepada perilaku provider terhadap peserta jaminan kesehatan. Akibatnya, beberapa peserta jaminan kesehatan harus mengalami waktu tunggu yang panjang, kekerasa verbal, tidak diperiksa secara fisik dan diskriminasi dibandingkan pasien kaya ataupun pasien yang bukan peserta jaminan kesehatan. Selain itu, akibat adanya skema jaminan kesehatan nasional ini, pembayaran klaim menjadi tertunda. Ini memberikan pengaruh terhadap operasional fasilitas kesehatan dan juga mempengaruhi perilaku provider. Akibatnya, provider lebih memilih untuk melayani pasien yang dapat membayar tunai segera pasca perawatan. Hasil penelitian Dalinjong, dkk. ini menjadi bukti bahwa baik pasien maupun provider harus sama-sama dipuaskan.

Untuk menjaga mutu layanan kesehatan dalam era BPJS Kesehatan, pemerintah dapat belajar dari beberapa negara di dunia yang sudah lebih dulu mengimpelementasikan skema asuransi kesehatan nasional. Salah satunya adalah Thailand. Untuk menjamin mutu layanan kesehatan dalam skema jaminan kesehatan nasional, Thailand melakukan hal-hal berikut ini2: pendaftaran fasilitas-fasilitas kesehatan; mempromosikan akreditasi rumah sakit; memperkuat sistem finansial; melakukan survei kepuasan; memperkuat sistem audit; dan melakukan manajemen komplain.

Fasilitas-fasilitas kesehatan yang mendaftar menjadi mitra untuk melayani pasien dengan jaminan kesehatan di Thailand harus memenuhi aspek registrasi dan perizinan. Misalnya, rumah sakit (RS) harus mematuhi undang-undang rumah sakit seperti memiliki surat izin atau memenuhi berbagai persyaratan yang ditetapkan oleh kementerian kesehatan. Personel yang bekerja di rumah sakit juga harus memiliki izin dan mematuhi standar yang ditetapkan. Pada tahun 2011, sudah terdapat 44 RS swasta dan 167 klinik swasta yang terdaftar bermitra dengan National Health Security Office (NHSO).

Fasilitas-fasilitas kesehatan yang mendaftarkan diri untuk bermitra dengan NHSO akan dinilai kesiapannya untuk memberi pelayanan. Kriteria penilaian mencakup infrastruktur, tenaga kerja, peralatan, obat-obatan, sistem manajemen dan kondisi kelengkapan fasilitas kesehatan. Kemudian, NHSO akan memverifikasi keberlanjutan kontrak dan pemantauan rutin. Semua tahapan ini berlaku bagi semua jenis fasilitas kesehatan mulai dari layanan primer hingga rumah sakit. Baik fasilitas kesehatan milik pemerintah maupun swasta.

Pada tahun 2007, NHSO juga memperkenalkan program "Pay for Quality Performance". Tujuan program ini adalah untuk memberi insentif finansial untuk memotivasi berbagai pihak untuk melakukan peningkatan mutu berkelanjutan. Ada tiga metode yang dilakukan dalam program ini yaitu NHSO membuat indikator penilaian mutu dan kinerja, melakukan penilaian terhadap RS dan membayar RS sesuai dengan nilai yang didapat. Key indicator untuk penilaian kinerja secara umum disusun oleh NHSO pusat. Untuk menyesuaikan dengan kondisi lokal masng-masing daerah, kantor NHSO cabang akan memilih indikator yang akan dijadikan prioritas di daerahnya sehingga terbentuk indikator regional. Indikator regional ini digunakan untuk menilai kinerja rumah-rumah sakit di regional tersebut. Masing-masing kantor cabang regional ini juga menentukan anggaran untuk sebagai insentif untuk RS berkinerja baik di daerah tersebut. Semakin tinggi nilai yang didapat sebuah RS, makin tinggi pula insentif yang akan didapat. Insentif ini memiliki plafon 20 THB per populasi UHC.

Untuk memantapkan kualitas layanan di RS, NHSO menggalakkan akreditasi RS. Status akreditasi RS (terkareditasi, terakreditasi tingkat 2 dan terakreditasi tingkat 1) merupakan indikator dalam program "Pay for Quality Performance". Status terakreditasi artinya RS sudah memenuhi seluruh standar (standar RS dan profesi) dan menjalankan budaya mutu. Terakreditasi tingkat dua artinya RS sudah memiliki jaminan mutu dan quality improvement berkelanjutan yang fokus kepada proses. Terakreditasi tingkat satu artinya RS memiliki peninjauan mutu untuk mencegah resiko. Dari data NHSO, diketahui bahwa pada tahun 2007, sebanyak 42,9% RS mendapat akreditasi tingkat 1 sedangkan 31,3% RS mendapat status akreditasi dan 20% RS mendapat akreditasi tingkat 2. Pada tahun 2011, komposisi ini berubah. Jumlah RS yang mendapat status terakreditasi menempati posisi tertinggi (63,6%) diikuti RS dengan status akreditasi tingkat 2 (29,9%) dan status akreditasi tingkat 1 (6%).

Untuk mengetahui tingkat kepuasan anggota UHC, NHSO melakukan survei kepuasan. Survei ini dilakukan kepada pasien dan provider. Dari data yang dikumpulkan sejak tahun 2003 sampai 2013, diketahui bahwa kepuasan pasien dan provider mengalami peningkatan selama pelaksanaan UHC ini. Kepuasan pasien berada meningkat dari 83,01 % di tahun 2003 menjadi 95,49% di tahun 2013, sedangkan kepuasan provider meningkat dari 45,6% di tahun 2003 menjadi 67,60% di tahun 2013. Lebih lanjut, dalam survei tersebut pasien menilai bahwa kualitas perawatan dokter lebih meningkat saat adanya program UHC ini. Survei ini dilakukan secara independen oleh ABAC Poll Research Center, Assumption University.

NHSO juga melakukan audit di RS. Pada biro Audit di NHSO, auditornya merupakan auditor independen yang bekerja sama dengan NHSO. Auditor ini bersertifikat dan kualitas auditor ini juga diaudit tiap tahun. Audit yang dilakukan terhadap RS meliputi audit tagihan, audit kelengkapan dan kualitas rekam medik serta audit terhadap kualitas layanan. Audit tagihan meliputi audit coding (ringkasan pasien keluar dan coding yang akurat) dan billing audit. Audit terhadap kualitas layanan meliputi diagnosis dan perawatan yang mengacu pada standar atau pedoman serta sember-sumber utilisasi.

Pelayanan UHC di Thailand belum sempurna. Masih banyak kekurangan yang menimbulkan keluhan dari para pasien. Keluhan-keluhan pasien dapat disampaikan ke Standard and Quality Control Board NHSO di call center 1330. Keluhan yang masuk akan ditindaklanjuti oleh Investigation Committee. Investigasi akan meliputi pasien dan provider. Bila pasien mendapatkan layanan yang tidak masuk akal, mendapat tagihan biaya perawatan melebihi standar atau ditarik bayaran padahal tidak seharusnya membayar maka komite investigasi akan melakukan tindakan mulai dari pemberian saran, pemberian ganti rugi hingga pengembalian biaya sepenuhnya. Bila fasilitas kesehatan tidak dapat memenuhi standar layanan, maka komite investigasi akan melakukan tindakan mulai dari memberikan saran, memberlakukan denda administrasi dan melakukan pelaporan kepada lembaga berwenang.

Di Taiwan3, untuk menjaga mutu layanan kesehatan dalam era jaminan kesehatan nasional, dilakukan berbagai program pemantauan mutu menggunakan teknologi informasi dan pembayaran insentif. Bentuk inovasi teknologi informasi yang digunakan untuk meningkatkan kualitas jaminan kesehatan nasional di Taiwan adalah IC-Card. Kartu yang berukuran sebesar kartu kredit ini dapat menyimpan informasi lengkap pemegangnya. Kartu ini berfungsi sebagai alat komunikasi antara National Health Insurance (NHI) dan provider serta dapat digunakan juga untuk mentransfer rekam medik antar provider (sesuai persetujuan pasien). Sharing informasi klinis ini tentunya dapat membantu menurunkan duplikasi layanan kesehatan dan mencegah pasien-pasien Taiwan melakukan "doctor shopping". Terkait pembayaran insentif, Taiwan menggunakan pendekatan pembayaran berbasis keluaran klinik yang disebut fee-for outcomes (FFO). Sebagai contoh, dokter yang dapat menunjukkan peningkatan keluaran klinis, seperti mengurangi penggunaan trigliserid pada pasien diabetes, akan diganjar dengan honor yang lebih tinggi pada tahun depan.

Besaran kapitas untuk provider memang menjadi isu yang cukup sensitif dalam pelaksanaan BPJS saat ini di Indonesia. Hal yang sama juga muncul di Burkina Faso. Dalam penelitian yang dilakukan oleh Robyn, dkk.4, diketahui bahwa pemberian kapitasi yang rendah, dapat menurunkan motivasi provider untuk memberikan pelayanan kesehatan yang bermutu kepada peserta jaminan kesehatan. Untuk menghindari hal serupa terjadi, Indonesia dapat juga mengadopsi usulan-usulan Robyn, dkk. yaitu dengan memperbaiki metode pembayaran kepada provider. Pertama, Robyn mengusulkan untuk meningkatkan besaran kapitasi. Besaran kapitasi ini harus menjamin provider menerima sumber daya yang cukup untuk memberi pelayanan komprehensif kepada peserta jaminan kesehatan. Kedua, memperkenalkan metode pemberian insentif langsung kepada provider berdasarkan kuantitas atau kualitas layanan kepada peserta jaminan kesehatan. Ketiga, memperkenalkan metode pemberian bonus kepada fasilitas kesehatan yang dikaitkan dengan keluaran layanan di area cakupan fasilitas kesehatan tersebut.

Text: drg. Puti Aulia Rahma, MPH

Sumber:

  1. Dalinjong PA and Laar AS, The national health insurance scheme: perceptions and experiences of health care providers and clients in two districts of Ghana, Health Economics Review 2012, 2:13.
  2. Health service and Quality Assurance oleh Ms. Kanjana Sirigomon yang dipresentasikan dalam workshop CAP UHC Bangkok, 25 – 29 November 2013
  3. Tsung-Mei Cheng, Taiwan's New National Health Insurance Program: Genesis And Experience So Far, Health Affairs, 22, no.3 (2003):61-76
  4. Robyn et al.; Does enrollment status in community-based insurance lead to poorer quality of care? Evidence from Burkina Faso; International Journal for Equity in Health; 2013; 12:31