Learn, Connect, Growth | Tingkatkan Mutu Pelayanan Kesehatan Indonesia

Hambatan dalam Akses Layanan Kesehatan bagi Perempuan Penyandang Disabilitas

Hari Disabilitas Internasional (HDI) diperingati setiap tanggal 3 Desember yang merupakan wujud penghormatan terhadap hak-hak serta kesejahteraan penyandang disabilitas. Peringatan HDI pertama kali diusung oleh PBB pada tahun 1992, dengan tujuan untuk mendorong partisipasi penyandang disabilitas dalam kehidupan sosial, ekonomi, dan budaya, serta untuk mengurangi stigma dan diskriminasi. Tema yang ditetapkan tahun ini yaitu, “Amplifying the Leadership of Persons with Disabilities for an Inclusive and Sustainable Future” atau “Memperkuat Kepemimpinan Penyandang Disabilitas untuk Masa Depan yang Inklusif dan Berkelanjutan.”

Tantangan yang dihadapi oleh penyandang disabilitas sangat beragam, mulai dari keterbatasan fisik, intelektual, hingga sosial. Selain itu, mereka seringkali menghadapi hambatan dalam mengakses pendidikan, layanan kesehatan, pekerjaan, dan fasilitas publik. Salah satu fokus utama dalam peringatan HDI tahun ini adalah untuk mengingatkan bahwa penyandang disabilitas berhak mendapatkan kesempatan yang sama seperti individu lainnya. Hal ini mencakup hak untuk mengakses pendidikan berkualitas, mendapatkan pekerjaan yang layak, serta berpartisipasi dalam kegiatan sosial politik tanpa diskriminasi. Meski demikian, dalam sebuat literatur disebutkan bahwa sekitar 15% (sekitar satu miliar orang) dari populasi dunia hidup dengan beberapa bentuk disabilitas. Survei Kesehatan Dunia memperkirakan bahwa prevalensi disabilitas di kalangan perempuan 60% lebih tinggi daripada laki-laki. Di antara penyandang disabilitas, perempuan penyandang disabilitas lebih mungkin memiliki kebutuhan perawatan kesehatan yang tidak terpenuhi daripada perempuan tanpa disabilitas.Selain itu, kita melihat tingkat status disabilitas yang lebih tinggi di negara-negara berpenghasilan rendah. Selain itu, literatur tentang perawatan kesehatan menunjukkan bahwa penyandang disabilitas mengalami hasil kesehatan yang lebih buruk dibandingkan dengan rekan-rekan mereka yang bukan penyandang disabilitas.

Perempuan penyandang disabilitas juga menghadapi berbagai tingkat perilaku kesehatan berisiko yang memengaruhi status kesehatan mereka. Berbagai penelitian menunjukkan bahwa perempuan penyandang disabilitas intelektual lebih cenderung melaporkan tingkat aktivitas fisik yang rendah dan kelebihan berat badan dibandingkan dengan perempuan tanpa disabilitas. Selain itu, beberapa penelitian menunjukkan bahwa perempuan penyandang disabilitas mengalami masalah kesehatan mulut yang lebih besar, termasuk prevalensi yang lebih tinggi dan tingkat keparahan penyakit periodontal yang lebih tinggi daripada perempuan tanpa disabilitas. Jelas, ada kebutuhan untuk merumuskan dan menerapkan kebijakan yang efektif untuk meningkatkan akses ke layanan kesehatan bagi perempuan penyandang disabilitas.

Berbagai faktor penentu (misalnya pendapatan rendah, pendidikan buruk, layanan kesehatan berkualitas rendah, dll.) dapat menyebabkan status kesehatan yang lebih buruk dan akses yang tidak memadai ke layanan kesehatan bagi perempuan penyandang disabilitas, yang pada gilirannya memengaruhi inklusi sosial mereka. Berbagai hambatan finansial, fisik, sikap, dan struktural telah disebutkan dalam penelitian sebelumnya. Frier et al. menemukan bahwa pendapatan, sebagai faktor penentu sosial, memiliki pengaruh terbesar pada akses ke layanan kesehatan bagi orang penyandang disabilitas. Hambatan-hambatan ini dapat berbeda dari satu masyarakat ke masyarakat lainnya. Negara-negara berkembang dibandingkan dengan negara-negara maju, memiliki konteks sosial-ekonomi yang berbeda yang memengaruhi akses terhadap layanan kesehatan bagi perempuan penyandang disabilitas dengan cara yang berbeda. Misalnya, akses terhadap berbagai sumber informasi, seperti internet, lebih terbatas di negara-negara berkembang dibandingkan negara-negara maju.

Studi yang dilakukan oleh Levesque’s et al. model yang menkategorikan dengan mengidentifikasi hambatan yang dibagi menjadi 5 dimensi berdasarkan sudut pandang pasien:

  1. Kemampuan untuk mempersepsi;
  2. Kemampuan untuk meraih;
  3. Kemampuan untuk mencari;
  4. Kemampuan untuk membayar; dan
  5. Kemampuan untuk terlibat.

Kerangka ini kemudian diterapkan ke dalam penelitian yang dilakukan oleh Matin, et al (2021) sebagai konsep yang dikelompokkan dalam melakukan tinjauan sistematis terhadap literatur mengenai hambatan yang ditemui wanita dengan disabilitas. Hasil dari tinjauan sistematis yang dilakukan pada berbagai literatur sistematis ini yakni:

Dimensi Hambatan Personal Hambatan Struktural
Approachability
(Kemudahan meraih)
  • Kesulitan menggunakan informasi yang tersedia
  • Pengetahuan terbatas
  • Kurangnya Informasi yang dibutuhkan
  • Kurangnya Transparansi
  • Penggunaan istilah biomedis yang tidak dikenal
  • Pengetahuan yang terbatas
  • Kurangnya pengalaman
Acceptability
(Penerimaan)
  • Kurangnya otonomi
  • Ketidakpercayaan
  • Ketidaknyamanan fisik
  • Keterasingan sosial
  • Kekurangan kognitif
  • Pengalaman negatif di masa lalu
  • Stres dan kecemasan
  • Malu
  • Merasa sakit dan tersiksa
  • Dukungan sosial yang tidak memadai
  • Asumsi yang salah
  • Sikap negatif
  • Stigma
  • Sikap diskriminatif
  • Dihakimi
  • Diabaikan
  • Keengganan untuk memberikan perawatan Kekerasan atau pelecehan
  • Pelecehan verbal, fisik, dan seksual
  • Ketidaksopanan/kekasaran
  • Hinaan
Availability
(Ketersediaan)
Tidak dapat diterapkan
  • Peralatan yang tidak dapat diakses
  • Transportasi
  • Kurangnya akses internet
  • Akses fisik
  • Kurangnya panduan praktik bersalin
  • Kurangnya alat bantu di tempat layanan kesehatan
  • Kurangnya konsultasi dan/atau pemberitahuan
Affordability
(Keterjangkauan)
  • Tidak mampu membayar layanan kesehatan swasta
  • Kemiskinan Ketergantungan finansial
  • Biaya transportasi tinggi
  • Menjadi lajang
  • Penggantian biaya asuransi
  • Kurangnya cakupan asuransi
Appropriateness (Kelayakan)
  • Masalah komunikasi
  • Literasi kesehatan yang rendah
  • Layanan yang terputus
  • Kurangnya alat komunikasi di lingkungan layanan kesehatan
  • Kurangnya keterampilan dan pelatihan di antara penyedia layanan

 

Approachability (Kemudahan meraih)

Kemudahan Dicapai Dalam dimensi ini, empat faktor yaitu pengetahuan yang buruk, pengalaman negatif, informasi yang terbatas, dan kurangnya transparansi membatasi akses ke layanan kesehatan. Di negara-negara berkembang, seperti Kamboja, perempuan penyandang disabilitas yang tinggal di daerah pedesaan melaporkan pola yang berbeda dalam akses ke layanan seperti informasi kesehatan seksual dan reproduksi. Di negara-negara tersebut, lembaga swadaya masyarakat (LSM) memiliki peran sekunder dalam menyediakan informasi tentang perawatan ibu bagi perempuan penyandang disabilitas. Dalam beberapa penelitian, perempuan penyandang disabilitas menyebutkan bahwa staf layanan kesehatan tidak memberikan penjelasan yang memadai tentang prosedur seperti menandatangani formulir persetujuan.

Acceptability (Penerimaan)

Banyak penelitian menunjukkan bahwa terdapat asumsi dan sikap yang keliru terhadap orang penyandang disabilitas. Kekerasan dalam lingkungan layanan kesehatan dan keluarga merupakan salah satu hambatan terpenting dalam akses ke layanan kesehatan di antara perempuan penyandang disabilitas. Temuan Bradbury et al. menunjukkan bahwa perempuan dengan disabilitas belajar menghadapi kekerasan dan kekerasan dalam rumah tangga. Penelitian menunjukkan bahwa perempuan dengan disabilitas intelektual menghadapi hambatan dalam membuat keputusan yang tepat. Penyedia layanan kesehatan terkadang mengabaikan preferensi mereka untuk memilih layanan kesehatan yang dibutuhkan. Selain masalah sosial budaya yang disebutkan di atas, penelitian menunjukkan bahwa stigma merupakan faktor utama yang menyebabkan buruknya akses terhadap layanan kesehatan.

Availability (Ketersediaan)

Dimensi ini meneliti apakah akomodasi tersedia dan apakah layanan kesehatan tersedia di tempat dan waktu yang tepat saat dibutuhkan. Salah satu hambatan penting dalam dimensi ini terkait dengan bukti ilmiah. Transportasi, terutama di negara berkembang, disebut sebagai salah satu hambatan terpenting untuk akses fisik ke fasilitas kesehatan. Beberapa peserta mengalami kurangnya akses internet ke informasi kesehatan.

Affordability (Keterjangkauan)

Dalam dimensi ini, faktor-faktor seperti kemiskinan, pengangguran, ketergantungan finansial, hidup melajang, biaya transportasi yang tinggi, dan kurangnya cakupan asuransi diidentifikasi sebagai hambatan utama akses ke layanan kesehatan. Tinjauan penelitian menunjukkan bahwa ketergantungan finansial mungkin menjadi hambatan utama untuk memanfaatkan layanan kesehatan. Perempuan penyandang disabilitas biasanya menganggur dan tidak mampu membayar layanan yang dibutuhkan. Selain itu, mereka berasal dari keluarga berpenghasilan rendah di mana anggota rumah tangga mereka menganggur atau memperoleh pendapatan di sektor informal.

Appropriateness (Kelayakan)

Perempuan penyandang disabilitas, karena gangguan kognitif, pendengaran, dan penglihatan, tidak mampu berkomunikasi dengan tenaga kesehatan secara efektif. Namun, faktor-faktor seperti rendahnya literasi kesehatan, kurangnya alat komunikasi di lingkungan layanan kesehatan, dan kurangnya keterampilan dan pelatihan yang diperlukan di antara penyedia layanan kesehatan untuk berkomunikasi dengan perempuan penyandang disabilitas diidentifikasi sebagai hambatan signifikan dalam akses layanan kesehatan bagi perempuan penyandang disabilitas.

Selengkapnya dapat diakses melalui:
https://pmc.ncbi.nlm.nih.gov/articles/PMC7847569/