Bagaimana Kerangka Kerja Mutu Pelayanan Kesehatan Indonesia?
Departement Health Policy and Management (HPM) Fakultas Kedokteran UGM dan Divisi Mutu PKMK (Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan) FK UGM telah menyelenggarakan seminar series in health policy and management tentang "kerangka kerja mutu pelayanan kesehatan Indonesia. Kegiatan ini membahas tiga isu penting mulai dari sistem makro sampai dengan sistem mikro yaitu:
- Peran Kementerian Kesehatan dalam Pengembangan Mutu Pelayanan;
- Kebijakan Mutu dan Fraud di Era Jaminan Kesehatan Nasional;
- Kerangka Kerja Mutu Pelayanan Kesehatan: Kebutuhan Akan Pengembangan di Indonesia.
Seminar ini menghadirkan narasumber dari direktur mutu dan akreditasi pelayanan kesehatan Kementrian Kesehatan RI dr. Eka Viora, Sp.KJ, dr. Laksono Trisnantoro.,MSc.,Ph.D dan dr. Adi Utarini.,MSc.,MPH.,Ph.D. Seminar ini dimoderatori dr. Hanevi Djasri MARS. Peserta berasal dari mahasiwa pasca sarjana, doktoral, Kementrian Kesehatan, perguruan tinggi, rumah sakit dan peneliti.
Sejak terbentuknya direktorat mutu dan akreditasi pada awal 2016, Indonesia belum mempunyai kerangka mutu tingkat nasional. Setiap fasilitas kesehatan mengukur indikator sesuai dengan yang diminta oleh lembaga sehingga pengukuran mutu pelayanan kesehatan di indonesia tidak terintegrasi. Indikator mutu yang harus diukur oleh Faskes sangat banyak, mulai dari indikator mutu dari Kemenkes, indeks kepuasan masyarakat Kemenpan RB, BPJS Kesehatan, akreditasi RS, dan indikator keselamatan pasien. Namun, telah ditetapkan bahwa indikator mutu yang akan digunakan hanya yang disusun oleh Kementrian Kesehatan.
Era JKN meningkatkan akses dan efisiensi namun tidak diikuti oleh peningkatan mutu. Walaupun ada kewajiban akreditasi bagi puskesmas dan rumah sakit, namun budaya mutu tidak berjalan. Permasalahan mutu pelayanan yang terjadi dikarenakan tidak adanya keterlibatan pasien dalam penyusunan kebijakan, kompetensi SDM yang belum memadai, alokasi sumber daya yang minim, rendah budaya mutu dan keselamatan pasien, sarana prasarana yang belum memadai, hak pasien yang belum diakomodir, penggunaan antibiotik yang berlebihan. Salah satu upaya peningkatan mutu fasilitas pelayanan kesehatan yang telah dilakukan oleh Kemenkes saat ini adalah penyusunan 12 indikator mutu pelayanan RS berdasarkan enam dimensi mutu Institute of Medicine, namun indikator belum dapat diterapkan karena masih dalam proses penyusunan kamus indikator.
Salah satu dimensi mutu yang ditargetkan oleh Kementrian Kesehatan adalah dimensi mutu efisiensi. Dimensi ini terkait dengan sistem pembayaran INA CBGs yang berpotensi menimbulkan fraud dalam layanan kesehatan. Fraud akan mengancam mutu pelayanan kesehatan sehingga akan melibatkan penegak hukum dalam proses penindakan pelaku fraud. Fraud dapat dicegah dengan cara: 1) membangun sistem pencegahan kecurangan JKN, 2) pembentukan tim pencegahan kecurangan JKN, 3) melakukan upaya pencegahan kecurangan, 4) mekanisme pengaduan, 5) investigasi dan 6) sanksi administratif.
Indonesia harus menyusun quality framework sebagai pedoman untuk meningkatkan mutu pelayanan kesehatan. Prof. Adi Utarini MSc., MPH., Ph.D mengusulkan lima tahap pengembangan kerangka kerja mutu:
- Desk review, Melakukan review berbagai dokumen kebijakan dari berbagai lembaga seperti Kemenkes, KARS, dan BPJS kesehatan.
- Eksplorasi, Melakukan analisa dimensi prioritas dan memetakan berbagai peran lembaga.
- Formulasi, Merumuskan quality framework, dimana didalamnya melakukan penyusunan indikator sesuai dengan dimensi mutu yang telah ditetapkan dan strategi untuk melakukan quality improvement.
- Impementasi pilot, Melakukan uji coba kerangka kerja mutu. Dilakukan uji coba apakah indikator yang telah ditetapkan bisa diterapkan oleh semua fasilitas kesehatan.
- Penyusunan panduan, Menyusun guidline penerapan kerangka kerja mutu dan guidline pengukuran indikator mutu.
Reporter : Eva Tirtabayu Hasri S.Kep.,MPH