Sesi 1
Sesi Plenary
Pentingnya Kebijakan Kesehatan Berbasis Bukti Untuk Pencapaian SDG Dan Memajukan Cakupan Kesehatan Universal Mulai Dari Pembiayaan Hingga Praktik Terbaik Dalam Pengendalian Penyakit
dr Anung Sugihantono, M.Kes dari Kementrian Kesehatan Republik Indonesia menyampaikan materi yang berjudul “pentingnya kebijakan kesehatan berbasis bukti untuk pencapaian SDG dan memajukan cakupan kesehatan universal mulai dari pembiayaan hingga praktik terbaik dalam pengendalian penyakit”. Materi berfokus pada tujuan-tujuan yang harus dicapai oleh Kementrian Kesehatan sebagai tanggung jawabnya dalam mencapai SDG’s.
Dr. Anung menyebutkan bahwa ada tiga pilar pendekatan SDGs yaitu pilar pembangunan sosial, pilar pembangunan ekonomi, pilar pembangunan lingkungan, dan pilar pembangunan inklusif dan cara pelaksanaan. Kementrian kesehatan bertanggung jawab pada pilar pembangunan sosial dan pilar pembangunan lingkungan. Ada 5 tujuan yang harus dicapai yaitu penghapusan kemiskinan, penghapusan kelaparan, kesehatan dan kesejahteraan, kesetaraan gender, dan air bersih dan sanitasi.
Presentasi membahas secara khusus tentang kesehatan dan kesejahteraan. Tantangan yang dihadapi Indonesia saat ini yaitu Indonesia mengalami ketidaksetaraan air bersih, biaya tinggi untuk mencapai universal health coverage, dan kontroversi tentang halal dan haramnya vaksin. Permasalahan ini didukung oleh kondisi kesehatan masyarakat Indonesia yang menunjukkan bahwa angka harapan hidup mencapai 71,7 tahun, stunting, wasting, imunisasi, epidemiologi penyakit ke arah penyakit ischaemic heart disease, cerevrovascular disease, TBC dan Diabetes.
Tidak bisa dipungkiri bahwa semua tantangan diatas harus diselesaikan dengan penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan yang berkualitas sehingga tujuan-tujuan SDGs tercapai sesuai dengan yang dicita-citakan. Kesehatan sebagai masukan untuk pembangunan berkelanjutan, untuk itu diperlukan input dan proses yang baik sehingga menghasilkan output dan outcome sesuai dengan indikator yang diharapkan. Walaupun banyaknya tantangan yang ada dalam mencapai SDG’s, Indonesia memiliki komitmen yang kuat dalam melaksanakan SDGs 2015-2030 dengan semua komponen bangsa. Semua kebijakan kesehatan harus didukung oleh bukti.
Input: mencapai cakupan kesehatan universal, termasuk perlindungan risiko keuangan, akses ke perawatan kesehatan dasar yang berkualitas dan akses ke obat-obatan dasar dan vaksin yang aman, efektif, dan berkualitas untuk semua orang (pada poin 3.8)
Proses: pada tahun 2030, mencapai kondisi kerja yang layak untuk pekerja yang produktif dan permanen untuk semua wanita dan pria, termasuk orang muda dan penyandang cacat dan upah yang sama untuk pekerjaan dengan nilai yang setara (pada poin 8.5)
Output:
- pada 2030, pengurangan kemiskinan di semua orang, di mana-mana, ukuran saat ini adalah orang-orang yang mata pencahariannya kurang dari USD 1,25 / hari (poin 1.1)
- pada tahun 2030, kurangi setidaknya setengah jumlah pria, wanita, dan anak-anak dari segala usia yang hidup dalam kemiskinan di semua dimensi menurut definisi nasional (poin 1.2)
Outcome:
- pada tahun 2030, mencapai dan mempertahankan pertumbuhan pendapatan 40 persen populasi bawah pada tingkat yang lebih tinggi dari rata-rata nasional secara progresif (poin 10.1)
- pada tahun 2030, memberdayakan dan mempromosikan inklusi sosial, ekonomi dan politik dari semua, tanpa memandang usia, jenis kelamin, kecacatan, ras, asal etnis, agama atau status ekonomi atau lainnya (poin 10.2)
Penulis: Eva Tirtabayu Hasri S.Kep.,MPH
Sesi 2
Sesi Plenary
Burden of Non-Communicable Diseases in Developing Countries (Associate Professor Dr.Aniza Ismail)
Professor Dr.Aniza Ismail dari Universitas Kebangsaan Malaysia
Salah satu tantangan utama dalam meraih Universal Health Coverage (UHC) pada negara berkembang adalah meningkatnya pembiayaan pelayanan kesehatan akibat peningkatan prevalensi non-communicable diaseases (NCDs) yang kronis. Associate Professor Dr.Aniza Ismail dari Universitas Kebangsaan Malaysia menjelaskan bahwa NCD bertanggung jawab terhadap 41 juta kematian secara global dan lebih dari 85% kematian dini akibat NCD terjadi di negara berkembang. Penyebab kematian NCD terbanyak karena penyakit kardiovaskular (17,9 juta), kanker (9 juta), penyakit pernapasan (3,9 juta) dan diabetes (1,6 juta). Penyakit kardiovaskular berkontribusi menyebabkan kemiskinan akibat pembiayaan kesehatan yang besar dan tingginya pengeluaran out of pocket.
Pada negara berkembang, sistem jaminan kesehatan yang menyediakan pembiayaan adekuat untuk penyakit NCD adalah salah satu langkah penting dalam UHC. Peningkatan alokasi pembiayaan kesehatan untuk prevensi sangat penting untuk manajemen NCD khususnya dalam promosi gaya hidup sehat seperti pencegahan merokok, membatasi konsumsi alcohol dan garam. Intervensi tersebut dapat berjalan efektif bila dilakukan multisectoral approach (MSA) yang terdiri dari sektor kesehatan, pendidikan, keuangan dan agrukultural. Pembuat kebijakan kesehatan harus mengambil langkah efektif, efisien, inovatif dan comprehensive dalam menangani NCD.
Refleksi untuk Indonesia:
NCD menjadi salah satu beban penyakit di Indonesia. Sepeti negara berkembang lainnya, NCD yang paling banyak adalah penyakit kardiovaskular, kanker, diabetes mellitus dan penyakit pernapasan kronis. Peserta Jaminan Kesehatan Nasional dengan NCD dapat memanfaatkan kepesertaan mereka dan JKN menanggung biaya untuk penanganan NCD. Tetapi, dengan prevalensi yang tinggi tentu saja ini akan menjadi beban negara akibat pembiayaan besar yang dikeluarkan. Intervensi prevensi dan promosi gaya hidup sehat sudah sejak lama dilakukan. Tetapi apakah multisectoral approach (MSA) sudah berjalan baik dan menghasilkan implementasi yang efektif, efisien dan komprehensif?
Penulis: dr.Novika Handayani
Sesi 3
Sesi Oral Presentation
A Study on Measurement, Evaluation, and Follow-up Quality Indicators of Health Care Facilities Using Web Based Approach
Eva Tirtabayu Hasri dari Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat, dan Keperawatan (FKKMK) UGM telah mempresentasikan abstrak berjudul “ A Study on Measurement, Evaluation, and Follow-up Quality Indicators of Health Care Facilities Using Web Based Approach”. Abstrak ditulis oleh Eva Tirtabayu Hasri, Novika Handayani, dan Hanevi Djasri. Tulisan ini menunjukkan adanya masalah pada dimensi mutu akses data dalam upaya peningkatan mutu fasilitas pelayanan kesehatan.
Tulisan ini menjelaskan tentang perlunya sebuah tekhnologi untuk mengetahui kualitas fasilitas pelayanan kesehatan. Dalam abstrak ini diusulkan adanya website yang dapat digunakan untuk mengukur indikator, menganalisa hasil pengukuran indikator, dan menyusun rencana tindak lanjut untuk memperbaiki masalah yang ada. Abstrak merupakan hasil penelitian antara PKMK FKKMK UGM dengan BPJS Kesehatan yang telah dilakukan pada tahun 2017.
Penelitian telah dilakukan di tujuh provinsi yaitu Nusa Tenggara Barat (NTB), Nusa Tenggara Timur (NTT), Sumatra Utara, Sulawesi Selatan, Jawa Barat, Jawa Timur, dan Kalimantan Selatan. Ada 35 Fasilitas Kesehatan Tingkat Primer (FKTP) dan 35 Fasilitas Kesehatan Rujukan Tingkat Lanjutan (FKRTL). Penelitian menggunakan metode action research. Semua kegiatan penelitian berlangusng secara jarak jauh menggunakan teleconference. Penelitian ini telah menghasilkan website untuk melakukan pengukuran, analisa dan tindak lanjut indikator kualitas pelayanan kesehatan. Selain itu juga dihasilkan buku yang berisi cara menggunakan website dan profil indikator-indikator di FKTP dan FKRTL. Peneliti berharap website ini dapat digunakan sebagai tools untuk memantau kualitas pelayanan kesehatan di Indonesia, walaupun website sejeni telah ada namun webiste ini lebih komprehensif karena menyediakan menu mulai dari input data, analisa data dan penyusunan rencana tindak lanjut.
Penulis: Eva Tirtabayu Hasri S.Kep.,MPH (0823-2433-2525)
Sesi 4
Sesi Oral Presentation
Why Indonesia need to decide the compulsory services program?
Faisal Mansur dari Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat, dan Keperawatan (FKKMK) UGM telah mempresentasikan abstrak berjudul “ Why Indonesia need to decide the compulsory services program?”. Abstrak ditulis oleh Faisal Mansur dan Mubasysyir Hasanbasri. Tulisan ini menunjukkan bahwa adanya ketidakadilan mutu pelayanan kesehatan Indonesia dari segi dimensi mutu equity, akses, kualitas, dan kepuasan.
Tulisan ini menceritakan tentang perlunya program wajib bagi dokter untuk mengatasi masalah disparitas pelayanan kesehatan di daerah terpencil. Saat ini Indonesia memiliki 1000 Puskesmas tanpa dokter. Pemerintah Indonesia telah melaksanakan program kontrak. Ternyata, solusi tersebut belum efektif karena mereka mengambil kontrak selama satu tahun di fasilitas kesehatan terpencil kemudian berpindah.
Penelitian ini menggunakan metode tinjauan pustaka. Informasi dikumpulkan dan dianalisis dengan menggunakan isi analisis. Beberapa artikel jurnal dan surat kabar online, baik artikel nasional atau internasional tentang program wajib dokter yang telah dipilih untuk mengeksplorasi keuntungan dari pendekatan ini.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada manfaat dari program wajib yang diterapkan di beberapa daerah yaitu:
- Keadilan, program wajib memfasilitasi penempatan tenaga kesehatan di daerah terpencil.
- Preferensi siswa, bagi mahasiswa kedokteran bahkan yang telah lulus menjadikan program ini sebagai pembelajaran untuk mengetahui dan menerapkan pengetahuannya dalam budaya dan keadaan yang berbeda.
- Keberlanjutan, program wajib dapat lebih efektif biaya daripada mengontrakkan program.
Penulis: Eva Tirtabayu Hasri S.Kep.,MPH (0823-2433-2525)
Sesi 5
Sesi Oral Presentation
Distribution of Social Media Facebook Account Content BPJS Health during November-December 2017: Cross Sectional Study (Lelitasari Danukusumo)
Pada tahun 2017, BPJS Kesehatan diestimasikan mengalami kerugian sebesar sembilan triliun rupiah. Rendahnya literasi kesehatan dianggap mempengaruhi tingginya pengeluaran untuk kesehatan. Definisi literasi kesehatan merupakan kemampuan seseorang untuk dapat memperoleh, memproses, dan memahami dasar informasi kesehatan dan kebutuhan pelayanan yang dibutuhkan untuk pengambilan keputusan kesehatan yang tepat. Tujuan dari studi ini adalah ingin mengetahui peresntase informasi kesehatan yang diunggah oleh BPJS Kesehatan dalam akun facebook-nya.
Data diambil dengan mengumpulkan jumlah unggahan BPJS Kesehatan dalam facebooknya antara 18 November sampai 18 Desember 2017. Metode dalam studi ini adalah deskriptif dan dan hanya menjelaskan distribusi konten unggahan pada facebook BPJS Kesehatan. Konten unggahan dikategorikan menjadi:
- Pemberitaan acara-acara resmi
- Testimoni
- Komik
- Tips Kesehatan
- Info administratif
Total unggahan selama satu bulan adalah 68. 73,5% konten berisikan info non-kesehatan dan 26,7% berisikan info kesehatan. Peneliti menganggap bahwa konten berisikan kesehatan harus lebih ditingkatkan dan disebarluaskan kepada peserta JKN untuk meningkatkan literasi kesehatan.
Apakah literasi kesehatan memiliki korelasi dengan masalah defisit yang dialami BPJS? Peneliti menjelaskan ini tidak berhubungan langsung. Tapi bila literasi kesehatan masyarakat baik berpengaruh terhadap outcome kesehatan mereka yang juga jadi lebih baik dan bisa mengurangi pembiayaan kesehatan yang ditanggung JKN.
Penulis : dr.Novika Handayani
Sesi 6
Sesi Oral Presentation
Tauge untuk Pencegahan Stres Oksidatif pada Non-Communicable Diseases (NCD) (Muhammad Asrullah, PKMK FKKMK UGM)
Tingginya konsumsi lemak dapat menyebabkan dislipidemia yang merupakan faktor risiko penyakit kardiovaskular. Konsumsi makanan yang tinggi antioksidan termasuk vitamin E seperti tauge dapat mencegah penyakit kardiovaskular. Peneliti menjelaskan bahwa studi ini untuk mengevaluasi efek pemberian tauge kepada tikus terhdapa stress oksidatif dengan parameter trigliserida, High Density Lipoprotein (HDL), dan Malondialdehyde liver (MDA). Hasil penelitian menunjukkan bahwa tauge dapat mencegah peningkatan stress oksidatif pada tikus dan mencegah NCD.
Penulis : dr.Novika Handayani