Mengukur Kaitan dan Dampak Antara Pemanfaatan Layanan / Fasilitas Kesehatan, Kondisi Lingkungan dengan Kualitas Hidup Penderita Asma
Penyakit Asma di Amerika Serikat masih dianggap sebagai persoalan serius. Hal itu tak lain karena masih tingginya jumlah penderita asma dan pengaruhnya yang signifikan terhadap kerentanan kualitas hidup 15-17 Juta penderita. Biaya yang harus dikeluarkan untuk mengatasi kondisi tersebut mencapai 12,7 miliar per tahun. Pada kelompok minoritas atau pada populasi yang mendiami daerah-daerah pinggiran yang marginal ditemukan banyak insiden, morbilitas hingga kematian yang disebabkan oleh Asma. East Harlem adalah salah satu contoh komunitas dengan angka rawat inap (hospitalization) tertinggi akibat Asma dengan angka kematian mencapai 10 kali di atas rata-rata nasional. Fakta tersebut membuat berbagai pihak melakukan upaya-upaya dengan pendekatan keilmuan untuk mengurangi jumlah penderita asma akut dan di sisi lain mengurangi penggunaan layanan kesehatan untuk menekan biaya.
Berdasarkan hasil studi sebelumnya, faktor risiko penyebab meningkatnya jumlah rawat inap penyakit asma meliputi faktor demografi, klinis, penggunaan obat-obatan yang tidak sesuai resep serta kondisi lingkungan sosial yang tidak mendukung. Diantara beberapa faktor risiko tersebut, yang paling konsisten dilaporkan dan muncul adalah faktor jenis kelamin, taraf sosial ekonomi yang rendah, dan konsumsi obat yang tidak sesuai resep. Di samping beberapa faktor utama tersebut, juga terdapat faktor lain seperti sulitnya akses terhadap pelayanan kesehatan dan kendala bahasa (komunikasi) dalam proses konsultasi, jika seluruh faktor tersebut dibiarkan dapat berpotensi tinggi pada penurunan kualitas kehidupan penderita asma. Singkatnya, dari berbagai pola kejadian yang berlangsung, dapat diamati bahwa terdapat korelasi antara faktor lingkungan, demografi, situasi pemanfaatan layanan kesehatan dan kualitas hidup penderita asma.
Dalam rangka memastikan hal tersebut dan menyajikannya dalam bentuk sebuah data ilmiah yang dapat dipertangunggjawabkan serta sebagai upaya menganalisis berbagai faktor utama yang dapat menyebabkan penurunan kualitas hidup penderita asma. Maka, sebuah penelitian di Amerika dilakukan dengan mengumpulkan sebanyak mungkin data tentang pasien dari berbagai sudut pandang. Hal menarik dan sekaligus menjadi poin penting dalam penelitian ini tidak lain adalah fokusnya pada identifikasi berbagai faktor yang sekiranya dapat dimodifikasi dan pada akhirnya di intervensi untuk diubah melalui kebijakan atau cara-cara lain yang mungkin, guna mengurangi risiko penurunan kualitas hidup penderita asma. Mengingat situasi (faktor risiko) yang sama juga dapat dijumpai pada masyarakat Indonesia, tentu hal ini penting untuk diketahui yaitu bagaimana proses dan hasil penelitian tersebut dapat dimanfaatkan untuk kasus penderita asma yang terdapat di Indonesia. Berikut uraian singkat tentang penelitian tersebut.
Substansi dari penelitian ini untuk menemukan faktor-faktor, hubungan antar faktor, serta kaitannya dengan resource utilization yang sekiranya dapat berpotensi pada penurunan kualitas hidup penderita asma. Metode penelitian yang digunakan yaitu dengan melakukan wawancara kepada 198 orang dewasa yang dirawat dengan diagnosa asma di beberapa rumah sakit di daerah pinggiran dalam periode satu tahun. Kegiatan wawancara dibagi menjadi beberapa tahapan, tahap pertama dalam wawancara dikumpulkan informasi detail mengenai kondisi sosiodemografi, sejarah asma penderita/responden (dapat berupa rekam medis), akses pada perawatan, jenis obat-obatan asma yang digunakan, dan aerolallergens. Tahap Kedua adalah mengumpulkan berbagai data yang tersedia pada resource utilization (unit emergensi rumah sakit dan unit admisi rumah sakit untuk asma), kemudian informasi tentang kaitan asma dan kualitas hidup penderita direkam selam 6 bulan sejak proses perawatan. Berbagai temuan data dalam beberapa tahapan wawancara tersebut diolah dengan pendekatan analisis univariat dan multivariat dalam statistik, untuk mengetahui/memprediksi pemanfaatan sumber daya (resource utilization), kondisi sosiodemografi dan kaitannya dengan kondisi kualitas hidup penderita asma.
Lokasi penelitian bertempat di Mount Sinai Hospital, total waktu penelitian yang dibutuhkan 1 (satu) tahun dengan kriteria responden berumur 18 tahun, dapat berbahasa Ingrris atau Spanyol, berkompeten memberikan persetujuan atau informasi tertentu, dan terdiagnosa mengidap asma sebagai alasan utama mendapatkan perawatan di Rumah Sakit bersangkutan. Sebelum seluruh proses collecting data dilakukan, seluruh staf peneliti dilatih teknik survei dan wawancara dalam bahasa Inggris atau Spanyol. Selama wawancara awal, pasien diminta menjawab serangkaian pertanyaan demografis yang meliputi jenis kelamin, usia, ras/etnis, tingkat pendidikan, status pekerjaan, bahasa utama yang digunakan, asuransi, dan pendapatan rumah tangga. Sementara untuk kondisi komorbiditas dilaporkan oleh pasien apakah ada atau tidak ada, seperti sinusitis kronis, penyakit gastroesophageal reflux, gagal jantung kongestif, bronkitis kronis, diabetes, depresi, dan kecemasan atau serangan panik.
Mengenai informasi tentang akses pada perawatan dievaluasi dengan pertanyaan tentang kesulitan mendapatkan seorang dokter atau perawat melalui telepon, membuat janji mendesak, atau mendapatkan obat untuk asma. Selain itu, pasien ditanya apakah mereka memiliki seorang dokter pribadi yang bertanggung jawab untuk mengelola asma mereka dan melaporkannya.
Dalam hal mendeteksi tingkat keparahan asma, penelitian ini menggunakan beberapa indikator, termasuk diantaranya penggunaan kronis kortikosteroid sistemik, frekuensi kunjungan rawat jalan atau rawat inap selama 12 bulan, dan riwayat intubasi endotrakeal. Penelitian tersebut juga mengumpulkan informasi mengenai regimen asma pasien, kualitas perawatan asma, kepatuhan yang dilaporkan, dan perilaku manajemen diri. Kemudian untuk mnegtahui salah satu bagian terpenting dalam penelitian, yakni pengaruh asma yang diderita dengan kualitas hidup, penelitian ini menggunakan instrumen berupa kuisioner dengan nama Mini Asthma Quality of Life Questionnaire (AQLQ) yang dikembangkan oleh Juniper, dkk. Instrumen berupa kuisioner ini terdiri dari 15 pertanyaan yang terbagi menjadi 4 domain; keterbatasan aktivitas (activity limitations), gejala, kondisi/fungsi emosi, serta pengaruh lingkungan. Skor untuk setiap domain, serta skor komposit total, dapat berkisar dari 1 sampai 7, dengan skor yang lebih tinggi menunjukkan kualitas hidup yang lebih baik.
Seteleh diolah menggunakan aplikasi statistik, data-data yang dikumpulkan selama masa penelitian berlangsung berhasil membawa pada beberapa kesimpulan sesuai dengan pengelompokan domain analisis yang dibuat. Untuk kasus penelitian ini (yang diselenggarakan dari tahun 2001 hingga 2002), menghasilkan beberapa kesimpulan. Beberapa diantaranya, pada 6 bulan pertama penelitian, terdapat 49 % dari jumlah keseluruhan responden yang kembali mendapat perawatan di rumah sakit, baik rawat inap maupun rawat jalan. 49 % responden tersebut sebagian besar berasal dari golongan masyarakat dengan taraf ekonomi rendah. Kesimpulan ini relevan dengan fakta mengenai area epidemologi asma, yakni di daerah-daerah pinggiran, tempat dimana masyarakat berpendapatan rendah bermukim. Faktor pengaruh lain yang masuk dalam kesimpulan adalah bahwa sebagian besar dari 49 persen tersebut adalah tipikal pasien yang memiliki ketergantungan yang kuat pada obat-obat asma seperti oral steroid yang mereka gunakan dengan intensitas yang sangat tinggi.
Kecenderungan lain yang ditunjukkan dari hasil penelitian tersebut adalah bahwa jumlah penderita asma berjenis kelamin perempuan lebih sedikit jumlah kunjungan rawat inap maupun rawat jalannya. Perbandingan dengan pasien berjenis klamin laki-laki adalah 45% dan 63%). Sementara hasil penelitian yang berkaitan dengan jumlah penggunaaan pelayanan/fasilitas kesehatan (resorce utilization), menunjukkan bahwa perbedaan bahasa, ras, warna kulit dan jenis klamin tidak berkaitan dengan tinggi rendahnya jumlah penggunaan resource utilization. Kesimpulan penting lain yang dapat dicatat dari hasil penelitian tersebut yakni relasi antara tingkat keparahan dan jumlah kunjungan (baik rawat jalan maupun rawat inap) dengan kondisi alergi pasien. sebagain besar dari jumlah pasien dengan asma akut dan sering melakukan kunjangan perawatan adalah pasien yang memiliki riwayat alergi terhadap hewan tertentu, terutama kecoak.
Beberapa kesimpulan tersebut menunjukan pada dua kecenderungan utama, yakni terdapat hubungan yang kuat antara tingginya jumlah pengidap asma akut dengan rendahnya taraf ekonomi dan buruknya kondisi lingkungan. Hasil penelitian ini menggambarkan kondisi umum maupun realitas yang melingkupi kasus asma yang terjadi di Amerika Serikat. Beberapa konisi dan kecendrungan dalam kesimpulan yang menjadi hasil penelitian dapat digolongkan sama dengan apa yang dapat kita jumpai di Indonesia, dan tentu terdapat pula perbedaan yang signifikan. Kecendrungan kesamaan kondisi yang dimaksud misalnya bahwa di Indonesia juga terdapat realitas masyarakat dengan taraf ekonomi dan kondisi lingkungan yang buruk. Tak hanya itu, kendala perbedaan bahasa dan komunikasi dalam interaksi antara tenaga medis dan pasien sering menjadi kendala sebuah proses diagnosa atau pengobatan yang optimal juga terjadi di Indonesia. Dalam serangkaian realitas dan konteks tersebutlah menjadi cukup relevan untuk meletakkan dan mengkaji proses hingga hasil penelitian tersebut diatas sebagai referensi yang memperkaya wawasan, sudut pandang dan wacana keilmuan dalam konteks penanggulangan penyakit asma.
Oleh : Eva Tirtabayu Hasri S.Kep, MPH
Sumber: Wisnivesky, et al. Predictors of asthma-related health care utilization and quality of life among inner-city patients with asthma. 2005. Allergy ClinImmunol Vol. 116, Number 3.