Mutu Pelayanan Kesehatan: Apa Peran Sistem Jaminan Kesehatan (Disamping Meningkatkan Akses)?
Sabtu minggu lalu, salah satu pakar manajemen mutu pelayanan kesahatan dari Inggris dan juga penggagas pembentukan The International Society for Quality in Health Care (ISQua), DR. dr. Charles Shaw menjadi pembicara tamu di FK-UGM dalam program Continuing Medical Education (CME).
Salah satu pokok bahasan terpenting adalah mengenai integrasi sistem mutu dalam pelayanan kesehatan. Shaw yang juga salah satu konsultan WHO Indonesia menjelaskan bahwa saat ini di Indonesia terdapat berbagai upaya peningkatan mutu pelayanan kesehatan yang umumnya terdiri dari upaya menyusun standar (seperti standar perijinan, standar akreditasi, standar kompetensi, standar pelahyanan minimal, standar alat, prosedur standar, dsb) dan upaya untuk melakukan pengukuran. Upaya penyusunan standar ini juga (seharusnya) diikuti dengan upaya untuk mengukur kepatuhan pemenuhan standar dan upaya untuk melakukan perubahan/perbaikan agar tingkat kepatuhan meningkat.
Di Indonesia, berbagai upaya peningkatan mutu tersebut tidak terintegrasi satu sama lain, masing-masing upaya berdiri sendiri, hal ini juga sering terjadi di negara-negara lain. Sebagai contoh, untuk standar, umumnya terdiri dari 2 jenis, yaitu standar klinis (clincal standard) dan standar manajemen (organisational standard). Standar klinis seharusnya disusun berdasarkan penelitian biomedis (kedokteran, keperawatan, dsb) sehingga menghasilkan sebuah pedoman pelayanan klinis ataupun clinical pathways (kadang meski telah tersedia hasil penelitian dari negara maju, organisasi profesi di Indonesia masih perlu untuk melakukan penelitian klinis untuk melihat kesesuaian dengan karakteristik manusia Indonesia). Demikian pula dengan standar manajemen, seharusnya berasal dari penelitian dalam bidang manajemen (misalnya di Amerika penelitan IOM tentang medical error menghasilkan standar keselamatan pasien). Namun intergrasi antara penelitian dengan penyusunan standar ataupun integrasi antara standar klinis dengan standar manajemen sering tidak terjadi.
Measurement ataupun pengukuran kinerja mutu juga sering tidak terintegrasi satu sama lain, misalnya pengukuran di rumah sakit seperti Standar Pelayanan Minimal (SPM), Standar Akreditasi, Standar Perijinan, Standar Pelayanan Publik. Berbagai jenis pengukuran yang perlu diintegrasikan meliputi berbagai jenis pengukuran indikator, audit klinik, survey, peer review dan inspeksi.
Tantangan terbesar terutama muncul dalam mengintergrasikan berbagai upaya improvement atau perbaikan/perubahan. Di Indonesia ini bisa meliputi: Perencanaan dari Kementerian Kesehatan (misalnya dalam bentuk Kerangka Kerja Nasional untuk Peningkatan Mutu Pelayanan Kesehatan / National Healthcare Quality Framework, yang saat ini belum tersedia); Dorongan atau peer pressure dari organisasi profesi (seperti pada saat ini IDAI dan POGI sedang menyusun rencana untuk melakukan Audit Medik Nasional, dimana hasil audit dapat menjadi salah satu bentuk peer pressure); Perubahan manajemen (misalnya perubahan pengelolaan komplain pasien/masyarakat yang saat ini sedang dikembangkan oleh para pemimpin RS yang bergabung dalam PERSI); Pelatihan berkelanjutan (seperti yang saat ini dilakukan oleh berbagai intitusi pendidikan/pelatihan dan perguran tinggi); Memberdayakan konsumen (seperti yang selama ini dilakukan oleh Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia misalnya).
Menyambut diterapkannya SJSN-BPJS pada 1 Januari 2014, maka perlu juga dipahami bahwa mekanisme pembayaran pelayanan kesehatan juga merupakan salah satu metode penting dalam improvement atau perbaikan/perubahan mutu pelayanan. Hal ini akan terkait dengan memanfaatkan data yang akan dimiliki oleh BPJS (atau telah dimiliki oleh PT. Askes) untuk mengukur dan meningkatkan mutu pelayanan kesehatan, pemberian insentif oleh BPJS untuk medorong mutu, pengembangan mekanisme benchmark antar sarana, dsb.
Untuk mengasilkan sistem mutu pelayanan kesehatan yang integrasi ataupun sebuah National Healthcare Quality Framework diperlukan pemetaan berbagai upaya peningkatan mutu di Indonesia yang pernah dan masih dilakukan. Pemetaan ini perlu dilakukan untuk mengetahui standar dan mekanisme pengukuran serta perbaikan apa yang sudah dihasilkan, lembaga apa saja yang berperan, produk hukum apa saja yang terkait hingga lembaga donor mana saja yang terlibat dan hasilnya.
Dari pemetaan tersebut maka dapat terlihat sistem mutu pelayanan kesehatan di Indonesia, apa saja yang kita telah miliki, apa saja yang belum kita miliki dan apa yang perlu kita lakukan serta peran SJSN-BPJS. (hd)
Catatan: Indonesian Healthcare Quality Network (IHQN) saat ini sedang berusaha memetakan hal tersebut. Apakah anda tertarik untuk berpartisipasi?