Menjamin mutu rujukan melalui Electronic Health Record-Based
Rujukan merupakan pemindahan tanggung jawab penanganan/perawatan pasien dari pemberi rujukan/provider ke penerima rujukan/provider yang berada diatasnya, yang mana biasanya pasien membutuhkan pelayanan yang lebih kompleks untuk penyakit yang dideritanya. Suksesnya proses rujukan pasien sangat ditentukan oleh proses komunikasi antara provider yang terlibat, yang mana proses ini seringkali diabaikan yang berimbas pada mutu rujukan.
Untuk mengatasi masalah komunikasi ini, di negara-negara maju sudah dikembangkan rujukan berbasis electronik salah satunya adalah yang dikembangkan oleh Health Information Technology for Economic and Clinical Health Act (HITECH) yang berbasis Electronic Health Records (EHRs). Walaupun sudah didukung dengan teknologi bukan berarti rujukan elektronik ini sudah sempurna, ada beberapa hal yang masih harus diperhatikan sebelum menerapkan sistem ini, terutama pada aspek komunikasi, bagaimana teknologi yang diterapkan ini bisa bersinergi dengan lingkungan sosial di sarana pelayanan kesehatan, yang mana hal ini memerlukan pendekatan "socio-techical".
Tidak ada standar yang baku penggunaan sistem elektronik untuk proses rujukan dan penelitian di bidang ini juga masih minim. Selain itu rujukan yang kompleks dan bervariasi antara sarana pelayanan kesehatan yang satu dengan yang lain juga menjadi pertimbangan untuk penerapan sistem elektonik ini. Sebagai negara berkembang yang masih berkutat dengan berbagai permasalah termasuk sistem rujukan, yang tentunya cepat atau lambat akan menerapkan rujukan berbasis EHR atau sejenisnya, kita perlu mempelajari beberapa hal.
Berikut adalah 10 rekomendasi berdasarkan studi yang dilakukan oleh Esquivel, et all, yang mungkin bisa dipelajari sebelum kita mendesign sistem rujukan elektonik atau yang berbasis EHR:
1. Memasukan fitur komunikasi langsung/real-time yang bisa diakses oleh pemberi dan penerima rujukan secara mudah.
Beberapa sistem rujukan elektronik yang dikembangkan mungkin mengesampingkan fitur ini, namun justru beberapa tindakan medis membutuhkan komunikasi langsung antara pemberi dan penerima rujukan. Beberapa penelitian menunjukan bahwa lebih dari 60% provider, lebih memilih menggunakan komunikasi langsung terutama untuk rujukan yang bersifat urgent. Specialist/penerima rujukan lebih memilih untuk berkomunikasi langsung dengan pemberi rujukan apabila ada keraguan dengan diagnosa yang diberikan atau berhadapan dengan kasus-kasus urgent. Sistem rujukan elektronik yang didesign harus menambahkan fitur real-time communication baik melalui telepon, skype, atau text yang bisa diakses dengan mudah pada interface system.
2. Menggunakan template rujukan yang sesuai standar dengan struktur yang baik dan menambahkan free-text kolom.
Konten, bentuk, dan struktur dari surat rujukan mempengaruhi proses rujukan karena surat ini merupakan media komunikasi yang paling banyak dipakai untuk merujuk. Beberapa penelitian menunjukan tingkat kepuasan yang tinggi dari provider dengan surat rujukan yang sudah distandarisasi. Sistem rujukan elektronik harus didesign agar lebih mudah bagi kita untuk membuat, memaintain dan mendiseminasikan surat rujukan yang sesuai standar. Namun demikian yang perlu diperhatikan dalam interface template suratnya adalah perlu memasukan free-text kolom untuk memudahkan pemberi dan penerima rujukan memberikan penjelasan atau informasi tambahan terkait diagnosa pasien.
3. Menjamin pelaksanaan rujukan berdasarkan alasan yang tepat untuk merujuk.
Banyak penelitian menemukan bahwa penjelasan tentang alasan merujuk masih menjadi faktor yang menjadi penghalang terciptanya komunikasi yang baik antara pemberi dan penerima rujukan. Penjelasan yang detail tentang alasan merujuk tidak hanya sebatas profesionalitas namun untuk mempercepat proses rujukan yang dibuat. Sistem rujukan elektonik yang didesign harus bisa mencegah/membatasi rujukan yang tidak perlu atau dengan alasan yang tidak jelas, dengan memberikan ruang kepada pemberi rujukan untuk menambahkan penjelasan untuk dipertimbangkan.
4. Melibatkan Primary Care Practitioner (PCP) dan Spesialist dalam mengembangkan guidelines proses rujukan.
Sistem rujukan elektronik yang dikembangkan harus mengintegrasikan guidelines yang terstandar untuk semua provider yang terlibat didalamnya dengan melibatkan PCP dan specialist sehingga apa yang menjadi kebutuhan dari masing-masing provider bisa terakomodir dalam guidelines tersebut. Dengan adanya guidelines yang terstandarisasi ini, semua proses rujukan akan berjalan sesuai dengan langkah-langkah yang sudah ditetapkan, selain itu juga memberikan akses yang lebih mudah pada specialist dan alternative untuk menentukan tempat rujukan. Namun demikian sistem rujukan elektronik ini juga harus memberikan fleksibilitas kepada pemberi rujukan bila diperlukan untuk keluar dari guidelines yang telah ditetapkan dengan justifikasi yang bisa diterima berdasarkan urgensi dan kebutuhan medis.
5. Mengintegrasikan kebutuhan komunikasi pasien.
Salah satu hal yang luput dari perhatian adalah keterlibatan pasien dalam menentukan proses rujukan. Padahal faktor ini berpengaruh pada besarnya proses rujukan yang tidak tuntas diantaranya pembatalan rujukan yang berakibat pada penundaan perawatan. Sistem rujukan yang didesign harus memberikan pasien ruang untuk menerima informasi yang dibutuhkan terkait rujukan, memberikan pilihan untuk mengatur jadwal kunjungan dan membatalkannya, memilih tempat rujukan, dan memberikan pertanyaan. Fitur tersebut bisa diintegrasikan dalam bentuk smartphone application, social media, atau program lain berbasis web. Dengan begitu, pasien bisa mendapatkan akses yang mudah untuk status pengobataan, reminder, dan tools lain untuk berkomunikasi dengan dokter/specialist.
6. Menggunakan pre-populate secara otomatis berbasis pada data pasien sebelumnya.
Penggunaan pre-populate sangat berguna untuk meningkatkan kinerja dari provider, dengan demikian provider tidak perlu mengulang pengisian untuk beberapa kolom isian umum yang apabila secara manual harus diisi satu per satu. Selain itu hal ini juga mempersingkat waktu tunggu dan meningkatkan effisiensi pada saat pasien berkonsultasi. Sistem rujukan elektronik harus bisa melakukan pre-populate misalnya untuk beberapa item seperti data demografi, pengobatan yang sudah diperoleh, dan tes laboratorium yang sudah dilakukan. Lebih jauh lagi pre-populate bisa memberikan gambaran singkat mengenai pasien yang dirujuk, seperti diagnosa pasien atau data berdasarkan kelompok umur.
7. Mengintegrasikan konsultasi secara elektronik.
Untuk beberapa kasus rujukan sebenarnya pemberi rujukan hanya perlu berkonsultasi dengan specialist/penerima rujukan tanpa perlu kunjungan dari pasien. Oleh karena itu sistem rujukan elektronik harus bisa menyediakan fitur ini, misalnya melalui telemedicine, pemberi rujukan bisa melakukan konsultasi secara berkelanjutan dengan specialist terkait dengan penanganan pasien sehingga pasien bisa ditangani oleh pemberi rujukan tanpa harus pergi ke specialist. Hal ini bila diterapkan secara tepat maka bisa mencegah inefisiensi dan penundaan pelayanan yang berhubungan dengan rujukan yang tidak perlu.
8. Menyediakan dan mengintegerasikan status rujukan dan feedback pada alur kerja provider..
Proses rujukan akan berjalan sukses apabila pemberi dan penerima rujukan mendapatkan pemberitahuan mengenai perkembangan rujukan pasien. Pemberi rujukan mengharapkan kepastian apakah rujukannya sudah diterima atau belum, sementara penerima rujukan juga perlu berkonsultasi sewaktu-waktu kepada pemberi rujukan untuk penanganan pasien yang dirujuk. Sistem rujukan elektronik harus bisa menginformasikan perkembangan status pasien yang dirujuk apakah sudah diterima atau belum, apakah membutuhakan dokumen atau penjelasan tambahan atau tidak. Namun demikian pemberitahuan yang diberikan jangan sampai membebani kerja dari pemberi maupun penerima rujukan.
9. Memasukan sistem rujukan elektronik ke dalam kebijakan dan peraturan daerah.
Pemerintah daerah atau dalam hal ini pengguna sistem rujukan elektronik harus mengupdate kebijakan dan peraturan yang berhubungan dengan rujukan sesuai dengan guidelines dari sistem rujukan elektronik tersebut, misalnya terkait tugas dan tanggung jawab dari pemberi dan penerima rujukan, informasi yang harus disertakan dalam rujukan, pertukaran informasi dan data antar provider, dan prosedur penggunaan teknologi untuk rujukan.
10. Pengawasan terhadap system rujukan elektronik.
Organisasi atau pengguna sistem rujukan elektronik harus mengawasi dan mengevaluasi secara berkala penggunaan, performance, keuntungan, dan kelemahan dari sistem rujukan yang digunakan dan perlu melibatkan semua stakeholder yang terlibat. Hal ini dilakukan agar semua kebutuhan dari stakeholder yang terlibat didalamnya bisa terakomodir.
Melihat kondisi yang ada saat ini ditengah keterbatasan dan masalah lain memang membutuhkan waktu lama untuk negara kita menerapkan sistem rujukan elektronik ini, namun tidak ada salahnya untuk kita mempelajari dan mengantisipasi masalah yang ditimbulkan nantinya agar sistem yang diterapkan bisa berjalan dengan baik dan menjamin rujukan yang berkualitas.
Oleh: Stevie Ardianto Nappoe, SKM-Pusat Penelitian Kebijakan Kesehatan dan Kedokteran