Antisipasi Kecurangan Medis Melalui Pendekatan Kebijakan
Banyaknya kebutuhan akan pelayanan kesehatan dan medis mendorong kemunculan inisiatif sebagian pihak (pemerintah maupun swasta) untuk membangun dan menyediakan berbagai fasilitas dan bentuk pelayanan kesehatan. Masing-masing (pemerintah dan swasta) berangkat dari motivasi awal yang tentu saja berbeda. Jika pemerintah menyediakan berbagai bentuk fasilitas dan jasa pelayanan kesehatan/medis sebagai bentuk pengejawantahan amanat konstitusi, maka sebagian besar fasilitas dan pelayanan kesehatan/medis yang dikelola oleh swasta berorientasi kepada bisnis (profit oriented).
Sulit dipungkiri bahwa terdapat prospek bisnis yang menjanjikan keuntungan besar dalam dunia kesehatan dan medis, hal ini yang kemudian berdampak pada dualisme motivasi bagi hampir seluruh pihak yang terlibat didalamnya. Disatu sisi, keterlibatan dalam dunia kesehatan dan medis dapat merupakan dorongan rasa pengabdian terhadap kemanusiaan, namun dilain sisi tidak jarang pula keinginan untuk terlibat dalam dunia kesehatan dan medis termotivasi oleh peluang bisnis dan keuntungan materil yang mungkin bisa didapatkan bagi masing-masing pribadi atau kelompok. Bias dualisme motivasi inilah yang pada gilirannya dapat membuat siapapun (pelaku dan tenaga medis) berpotensi untuk melakukan berbagai bentuk kecurangan (fraud) dalam praktiknya.
Fraud (kecurangan medis) di Indonesia meskipun belum tersedia dalam data yang valid, telah menjadi desas-desus yang sudah cukup lama terdengar disemua kalangan. Selain itu ditemukan berbagai kondisi (baik sistem pengelolaan organisasi kesehatan/medis dan sistem pelaporan administrasi) yang belum tertangani secara maksimal sehingga berdampak pada munculnya potensi kecurangan yang cukup besar. Mengingat bahwa kesehatan dan medis merupakan dua hal krusial karena menyangkut kepentingan orang banyak, tentunya menjadi penting untuk segera dirumuskan berbagai strategi guna mengantisipasi praktik fraud yang beresiko merugikan negara dan masyarakat.
Salah satu pendekatan strategis yang dapat ditempuh sebagai langkah antisipatif adalah melalui pendekatan kebijakan. Beberapa hal yang berkaitan dengan kebijakan pemerintah (baik kebijakan hukum maupun kebijakan kesehatan secara umum) pada kenyataannya belum secara keseluruhan dijalankan secara maksimal.
Di beberapa negara maju seperti halnya Inggris, lembaga pemerintah yang berkaitan dengan perlindungan konsumen, obat-obatan dan makanan turut mengambil peran dalam memberikan edukasi kepada masyarakat agar memiliki kemampuan kritis dalam menilai sejauh mana pelayanan medis yang diterima, resep obat yang diberikan serta fasilitas medis yang ia/keluarganya gunakan berkesesuaian dengan penyakit yang diderita dan jumlah biaya yang harus dibayarkan. Dengan demikian pasien yang dalam hal ini juga berposisi sebagai konsumen setidaknya memiliki pemahaman yang dapat digunakan untuk memastikan bahwa ia diberikan pelayanan dan penanganan medis yang prima serta membayar dengan harga yang pantas.
Beberapa desas-desus yang terdengar tentang sering terjadinya kerjasama ilegal antara tenaga kerja medis (dokter) dengan vendor tertentu (perusahan produsen obat atau alat-alat medis) yang dapat berdampak pada kerugian pasien/konsumen setidaknya dapat diminimalisir apabila masyarakat telah diberikan pendidikan dan pemahaman yang memadai seputar dunia obat dan medis. Meskipun tentu saja upaya ini tidak dapat diandalkan sebagai satu-satunya strategi dalam mengantisipasi terjadinya kecurangan medis (fraud), mengingat pemahaman dan daya kontrol masyarakat yang terbatas.
Upaya lain yang dapat dilakukan adalah menggunakan legal policy approach (pendekatan kebijakan hukum). Semisal jika merujuk pada pasal 33 UUD 1945 tentang berbagai sektor produksi yang menyangkut hajat hidup orang banyak harus dikuasai negara. Dalam kasus kecurangan medis yang disebabkan oleh adanya kerjasama antara tenaga medis dengan vendor, pemerintah dapat saja mengambil langkah untuk memonopoli kegiatan produksi obat dan alat kesehatan agar permainan semacam itu tidak lagi terjadi. Monopoli negara dalam sudut pandang para penganut pasar bebas memang bukan sesuatu yang dapat dikatakan baik, namun sebenarnya permasalahan pokoknya adalah pada sistem manajemen dan administrasi yang diterapkan. Bukan pada soal "siapa yang menguasai apa". Kecendrungan sikap dan kebijakan kita selama ini yang melakukan swastanisasi atas Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang mengalami kerugian sebenarnya merupakan cara berfikir yang reaksioner dan cukup gegabah. Selain itu kita seolah mengabaikan opsi reformasi sistem pengelolaan dan sistem pelaporan administratif agar lebih transparan dan akuntabel.
Riskan jika tetap membiarkan kegiatan produksi obat-obatan dan alat kesehatan dibiarkan tetap didominasi oleh pihak swasta. Motivasi perusahaan swasta yang tentunya lebih memperioritaskan profit dalam kenyataannya sangat berpengaruh pada terjadinya praktik kecurangan dalam dunia medis. Oleh karena itu salah satu tawaran penulis adalah pemerintah sebaiknya memiliki peran yang juga signifikan dalam kegiatan produksi obat dan kesehatan melalui BUMN. Agar setidaknya program pemerintah dibidang kesehatan tidak lagi dikacaukan oleh kasus-kasus kerjasama ilegal antara tenaga medis dengan perusahaan obat swasta yang memang hanya bertujuan mengejar keuntungan semata dengan cara apapun.
Singkatnya persoalan kesehatan memang memerlukan campur tangan pemerintah dari mulai hulu hingga ke hilir. Disamping membangun kesadaran pengabdian yang kuat bagi para praktisi dan tenaga medis, tidak boleh juga di abaikan tentang pentingnya menyusun dan melengkapi perangkat aturan dan hukum yang berkaitan dengan praktik fraud (kecurangan medis).
Contoh lain yang dapat dijadikan referensi dalam menyusun perangkat aturan dan hukum guna mengantisipasi terjadinya kecurangan medis adalah bentuk-bentuk sanksi hukum perdata seperti halnya yang telah diterapkan di Amerika. Tentunya dengan tidak mengabaikan adanya disparitas situasi dan kondisi antara Indonesia dan Amerika. Apa yang diterapkan di Amerika dan dikenal sebagai False Calims Act (FCA) sangat mungkin relevan dengan upaya antisipasi berbagai macam tindak kecurangan yang dapat terjadi dalam implementasi Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). False Calims Act bertujuan melindungi pemerintah atas adanya kemungkinan-kemungkinan tagihan palsu yang dibuat dengan merekayasa data laporan pasien (resep obat atau fasilitas yang digunakan). Adapun jika hal tersebut terjadi, maka sanksi yang diberlakukan dapat berupa sanksi perdata hingga pidana.
Oleh: Eva Tirtabayu Hasri, S.Kep.,MPH
Referensi:
Pusat Pelayanan Medicare dan Medicaid (2010). Menghindari Kecurangan dan Penyalahgunaan Medicare : Sebuah Peta untuk Para Dokter. Washington, DC: Department of Health & Human Services