KPK Dorong BPJS Benahi Celah Potensi Korupsi
Pada hari Selasa lalu KPK memaparkan hasil kajian mengenai Sistem Jaminan Kesehatan Nasional di Gedung KPK Jakarta. Acara ini dihadiri oleh Wakil Ketua KPK Adnan Pandu Pradja dan Zulkarnain, Wakil Menteri Kesehatan Ali Ghufron Mukti, Direktur Utama Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan Fahmi Idris, Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Firdaus Djaelani, Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Andin Hadiyanto dan Direktur Keuangan BPJS Kesehatan Riduan.
Kajian yang dilakukan pada Agustus-Desember 2013 ini dilakukan dengan metode prospective analysis. Hasilnya, KPK menemukan potensi masalah dalam pelaksanaan BPJS, yakni pertama, adanya konflik kepentingan dalam penyusunan anggaran dan rangkap jabatan. Penyusunan anggaran BPJS disusun Direksi BPJS dan disetujui Dewan Pengawas tanpa ada keterlibatan pemerintah dan pihak eksternal. Sedangkan anggaran Dewan Pengawas berasal dari anggaran BPJS juga.
Oleh karena itu, KPK merekomendasikan untuk merevisi UU 24/2011 dan melibatkan pihak eksternal dalam persetujuan dan pengelolaan dana operasional BPJS. Selain itu, KPK juga meminta pemerintah segera mengangkat Dewan Pengawas dan Direksi BPJS yang bersedia untuk tidak rangkap jabatan.
Kedua, perihal adanya potensi kecurangan (fraud) dalam pelayanan. Rumah sakit berpotensi menaikkan klasifikasi atau diagnosis penyakit dari yang seharusnya (upcoding) dan atau memecah tagihan untuk memperbesar nilai penggantian (unbundling). Hal ini dimaksudkan untuk memperoleh klaim lebih besar dari yang seharusnya dibayarkan BPJS.
Atas temuan ini, KPK mengimbau agar program dilaksanakan dengan prinsip clean and good governance serta berhati-hati dalam pengelolaan anggaran agar mengedepankan kemanfaatan yang besar bagi masyarakat.
Ketiga, terkait pengawasan yang masih lemah. Pengawasan internal tidak mengantisipasi melonjaknya jumlah peserta BPJS yang dikelola, dari 20 juta (dulu dikelola PT Askes), hingga lebih dari 111 juta peserta. Seharusnya ruang lingkup yang beribah perlu diiringi dengan perubahan sistem dan pola pengawasan agar tidak terjadi korupsi. Sedangkan pengawasan eksternal, KPK melihat adanya ketidakjelasan area pengawasan. Saat ini, ada tiga lembaga yang mengawasi BPJS, yakni DJSN, OJK dan BPK. Namun substansi pengawasannya belum jelas.
Rekomendasi KPK menunjukkan bahwa pengawasan publik juga diperlukan. Oleh karena itu, KPK meminta agar CSO dan akademisi dilibatkan dalam pengawasan JKN. Sistem teknologi informasi juga perlu diperkuat.
Atas temuan potensi korupsi, Direktur Utama BPJS Fahmi Idris menyatakan siap bekerja sama lebih jauh dengan KPK, termasuk sosialisasi potensi korupsi kepada seluruh jajarannya. Peran pencegahan itu, juga harus diperkuat dengan pengawasan. Fahmi setuju bila ada usulan revisi UU No. 24/2011 tentang BPJS agar ada kejelasan peran pengawas eksternal secara substansi. "Kami memang memerlukan pengawas pihak ketiga agar jangan sampai ada masalah di kemudian hari."
Namun begitu, ia juga menekankan bahwa sebagai lembaga baru, BPJS memiliki sistem baru. Karena itu butuh sosialisasi dan penyadaran kepada pihak terkait, termasuk Puskesmas dan rumah sakit yang memberikan layanan kepada masyarakat. "Jangan ada yang coba-coba merekayasa diagnosis utama dan tambahan untuk mendapatkan klaim yang lebih besar. Kita harus kawal bersama."
Dewan Komisioner OJK, Firdaus Djaelani menyatakan bahwa pihaknya telah berkoordinasi dan menandatangani nota kesepahaman (MoU) dengan DJSN mengenai pengawasan eksternal pada 24 Desember 2013. "Kami telah berbagi peran koordinasi dan pengawasan," kata Firdaus.
Ruang lingkup pengawasan OJK meliputi kesehatan keuangan, penerapan tata kelola yang baik, pengelolaan dan kinerja investasi, penerapan manajemen risiko, pendeteksian dan penyelesaian kejahatan keuangan (fraud), evaluasi aset dan liabilitas, kepatuhan pada ketentuan perundang-undangan, keterbukaan informasi kepada masyarakat (public disclosure), perlindungan konsumen, rasio kolektibilitas iuran, monitoring dampak sistemik, dan aspek lain yang merupakan fungsi, tugas, dan wewenang OJK berdasarkan peraturan perundang-undangan.
Sedangkan DJSN melakukan monev pada perkembangan pencapaian tingkat kepesertaan, kelayakan manfaat, efektivitas penarikan dan kecukupan iuran, implementasi kebijakan investasi, kesehatan keuangan, kesepadanan aset dan liabilitas (kewajiban yang harus dilakukan pada pihak lain), informasi kepada masyarakat (public disclosure), realisasi rencana kerja dan anggarannya, dan aspek lain yang merupakan fungsi, tugas, dan wewenang DJSN berdasarkan peraturan perundang-undangan.
"Kami juga tekankan pada seluruh stakeholder untuk menjadi whistle blower. Kami menerima pengaduan dari manapun," tegas Firdaus.
Dengan aset sekitar 10 triliun rupiah, diperkirakan BPJS akan mengelola dana jaminan sosial mencapai 38- 40 triliun rupiah per tahun yang berasal dari dana iuran mandiri peserta, modal awal APBN sebesar 500 miliar rupiah dan bantuan pemerintah sebesar lebih dari 19 triliun rupiah.
Penting bagi KPK untuk mengingatkan di masa awal BPJS beroperasi, agar berhati-hati dalam pelaksanaannya sehingga tidak terjebak dalam tindak pidana korupsi karena uang yang dikelola cukup besar. Sebab, hasil kajian KPK telah menemukan celah potensi yang harus diwaspadai. Hal ini menjadi begitu penting, mengingat bidang kesehatan merupakan salah satu national interest dalam renstra KPK 2011-2015 dan menjalankan amanat Pasal 14 Undang Undang 30 tahun 2002 tentang KPK.
Sumber: http://www.kpk.go.id/id/berita/siaran-pers/1692-kpk-dorong-bpjs-benahi-celah-potensi-korupsi