PKMK – Yogya. Permenkes Nomor 16 Tahun 2019 akhirnya resmi dirilis, hal ini mengundang perhatian banyak pihak. PKMK FK – KMK UGM menginisiasi diskusi melalui webinar untuk membahas hal tersebut pada Rabu (25/9/2019) di Gedung Litbang, FK – KMK. Acara ini mengundang pembicara yang merupakan perwakilan dari ADINKES, PERSI, BPJS Kesehatan, Inspektorat Jenderal Kementrian Kesehatan, Biro Hukum dan Organisasi Kementrian Kesehatan dan peneliti PKMK. Diskusi diikuti peserta baik yang hadir langsung maupun secara webinar. Diskusi ini dianggap penting karena panduan untuk memahami Permenkes Nomor 16 Tahun 2019 yang merupakan pengganti Permenkes Nomo 36 Tahun 2015 dianggap perlu untuk diketahui bersama. Hal ini ditegaskan oleh Sundoyo, SKM, MPH, M. Hum (Biro Hukor Kementrian Kesehatan).
Suasana Webinar di FK-KMK UGM Jogja (.dok PKMK)
Permenkes Nomor 16 Tahun 2019 ini menyatakan sejumlah potensi fraud yang mungkin dilakukan sejumlah pihak:
Oleh peserta :
- Memalsukan data identitas peserta
- Meninjamkan kartu
- Memanfaatkan hak untuk layanan tidak perlu -> ini berbeda dengan moral hazard (memberi suap agar diloloskan)
- Memberi dan menerima suap dalam rangka menerima layanan
Oleh BPJS:
- Melakukan manipulasi dengan peserta atau fasilitas kesehatan dan sebagainya
Oleh fasilitas kesehatan:
- Salah menggunakan kapitasi
- Memungut biaya tambahan
- Melakukan rujukan yang tidak sesuai
- Readmisi
Oleh penyedia obat dan alat kesehatan:
- Jika ada yang memesan tapi pengusaha obat atau alat kesehatan menolak
- Menganjurkan faskes untuk membeli alat kesehatan yang tidak sesuai
Pihak lain:
- Manipulasi data kepegawaian
Pasalnya potensi fraud tidak hanya dari fasilitas kesehatan saja, melainkan juga bisa datang dari BPJS Kesehatan, peserta, pengusaha obat dan pihak lain yang terkait. Hal yang harus disadari, selama ini media kerap memberitakan potensi fraud yang dilakukan RS. Sementara hal ini digarisbawahi pembicara dari PKMK yaitu drg. Puti Aulia Rahma, MPH, CFE, bahwa banyak RS yang memberikan testimony pada peneliti PKMK saat mengkaji pelaksanaan Permenkes Nomo 36 Tahun 2015. Beberapa hal yang menjadi poin adalah: RS kelas B dan C kerap diminta menulis atau menurunkan klaim coding karena coding awal yang diajukan berbiaya besar. RS dikatakan tidak akan dibayar jika mengajukan klaim dengan coding besar. Hal ini yang menjadi rumit karena sebenarnya klaim tersebut sudah sesuai dengan layanan, jasa medis dan obat yang diberikan (sudah sesuai SOP). Lalu tim PKMK memberikan sugesti agar RS tersebut tetap maju melaporkan, hal ini disanggah RS dan RS menjelaskan jika klaim tidak segera dibayar, maka operasional RS akan terganggu. Faktanya RS kelas B dan C mengelola uang yang jumlahnya tidak banyak.
Diskusi secara online melalui webinar (.dok PKMK)
Pernyataan Puti yang cukup mengagetkan ini mendapatkan tanggapan dari pihak BPJSK yang diwakili dr Budi Muhammad Arif. Budi menyatakan internal BPJS Kesehatan telah menerapkan sejumlah sistem untuk pencegahan dan penanganan potensi fraud secara internal. Beberapa diantaraya: (1) membentuk tim kendali mutu dan kendali biaya (TKMKB) internal, (2) sosialisasi pencegahan dan penanganan (pertemuan kepala cabang dengan manajemen RS, kepala cabang juga diwajibkan melalukan deteksi potensi fraud di wilayah kerjanya), (3) kontrak dengan klausul yang berisi komitmen untuk pencegahan dan penanganan, (4) verifikasi digital klaim, ke depan akan dikembangkan sistem yang menghubungkan PCare dan digital klaim ini agar sistem rujukan dapat dipantau, (5) memastikan surat rujukan sesuai indikasi medis, (6) menyediakan data kelas RS pada health facility information system (HAFIS) agar dapat menjadi pertimbangan apakah sudah dilayani sesuai dengan sarana prasarana serta kompetensi, (7) akan menyediakan apotek online agar RS tidak repot saat mengajukan obat - obatan di luar INA CBGs, (8) pada awal tahun duta BPJS menandatangani kode etik, per 6 bulan menandatangani pernyataan tidak menerima gratifikasi, (9) duta BPJS yang menjadi narasumber: tidak menerima honor atau jika menerima dia harus melaporkannya ke tim komite etik lalu disetorkan ke KPK, (10) menerapkan whistleblowing sistem – berdasarkan aturan direksi BPJS Kesehatan 2019: jika ada tanda - tanda petugas BPJS melanggar langsung dilaporkan ke kantor BPJS Kesehatan. Jika terbukti melakukan kerja sama dengan FKTP dalam rangka kecurangan, maka akan dikenakan sanksi atau kenaikan pangkatnya diundur.
Saat sesi diskusi, muncul pertanyaan dari RS Cisarua yang mungkin mewakili RS lain, yaitu apa sanksi untuk RS yang belum membentuk TKMKB dan bagaimana tahapan yang harus ditempuh jika ada pegawai BLU yang melakukan fraud. dr Kuntjoro Adi Purjanto, MKes (PERSI) menyatakan RS harus membentuk TKMKB karena value-nya adalah menyelesaikan masalah, bersiap menghadapi potensi fraud dan implementasi risk management. Sementara Edward Harpasera, MM (Itjen Kemenkes) menyampaikan ketika terdapat indikasi kecurangan dalam JKN oleh pegawai BLU di RS, maka ditangani oleh tim pencegahan internal, nanti dieksplor kejadiannya, bila disinyalir ini ada kerja sama yang tidak terpuji, misal hanya masalah adminitrasi bisa diselesaikan administrasi, namun jika benar – benar disengaja, maka disampaikan ke tim pencegahan kabupaten kota – setelah dikaji, ini melanggar ketentuan akan disampaikan ke tim provinsi dan pusat, jika terdapat indikasi tindak pidana maka diselesaikan sesuai ketentuan yang berlaku.
dr Krisnajaya, MKes (ADINKES) memberikan poin penting dalam diskusi ini, dinas kesehatan perlu mendapatkan pelatihan intensif terkait pemahaman atas Permenkes Nomor 16 Tahun 2019 ini. Faktanya hal ini terkait dengan nasib orang, jadi tidak bisa dibuat abu – abu. Maka, kapasitas dinas kesehatan harus ditingkatkan dan pemahaman terkait potensi fraud harus ditambah (W).