Breastfeeding: crucially important, but increasingly challenged in a market-driven world
Pekan ASI Sedunia pada tanggal 1 hingga 7 Agustus 2024 bertema “Close the Gap: Breastfeeding Support for All ” yang ditetapkan World Health Organization merupakan salah satu bentuk kampanye dalam menyuarakan pentingnya air susu ibu (ASI) bagi tumbuh kembang bayi. Harapannya, bayi mendapatkan haknya atas nutrisi yang terpenuhi dengan baik hingga usia 24 bulan atau lebih. Momen ini juga merupakan pengakuan yang diberikan kepada ibu menyusui di seluruh dunia untuk memastikan bahwa mereka diperhatikan, didengar, dan dapat berbagi pengalamannya dalam menyusui.
ASI eksklusif bermanfaat dalam memberikan nutrisi bagi bayi agar perkembangan otak dapat berlangsung dengan sehat, mencegah malnutrisi, penyakit infeksi, dan mortalitas, mengurangi risiko obesitas dan penyakit kronis di kemudian hari pada anak, memberikan jarak pada kehamilan karena dapat mengeluarkan hormon yang mencegah ovulasi, mencegah penyakit kronis pada ibu, seperti kanker payudara dan ovarium, diabetes tipe 2, dan penyakit kardiovaskular. Dengan kata lain, menyusui dapat memberikan efek positif di awal kehidupan, bagi bayi, ibu, keluarga, dan masyarakat dalam jangka panjang. Manfaat nutrisional, mikrobial, dan komponen bioaktif yang didapatkan oleh ibu dan bayi melalui proses menyusui tidak dapat digantikan oleh pemberian susu formula.
Menurut United Nations Children’s Fund (UNICEF) tahun 2021, terdapat kurang dari separuh bayi di Indonesia (48,6 persen) disusui dalam satu jam pertama kehidupan, angka ini turun dari 58,2 persen pada tahun 2018. Hanya 52,5 persen yang disusui secara eksklusif dalam enam bulan pertama, yang merupakan penurunan tajam dari 64,5 persen pada 2018. Sedangkan, menurut hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan, sebanyak 73,97% anak usia 0-5 bulan Indonesia mendapat air susu ibu (ASI) eksklusif pada 2023. Pemberian ASI eksklusif lebih banyak diberikan dari ibu yang tak bekerja dengan proporsi 75,92%. Sementara anak yang mendapat ASI eksklusif dari ibu bekerja lebih rendah, yakni 69,48%.
Jumlah pemberian ASI eksklusif dan menyusui yang belum maksimal dapat disebabkan oleh berbagai hambatan. Hambatan dalam proses menyusui didukung oleh beberapa hal, termasuk ketidaksetaraan gender, norma sosiokultural, pertumbuhan pendapatan dan urbanisasi, praktik pemasaran perusahaan, aktivitas politik yang melemahkan proteksi aturan menyusui, sistem kerja yang tidak mengakomodasi hak reproduksi wanita, serta perawatan kesehatan yang buruk khususnya dalam kelahiran dan perawatan bayi. Dukungan sistem yang tidak memadai menurunkan kemungkinan pemberian ASI.
Kebijakan perlindungan maternitas yang tidak ada atau tidak memadai juga melemahkan pemberian ASI bagi perempuan pekerja melalui buruknya akses terhadap cuti melahirkan dan cuti ayah yang dibayar, penjadwalan yang mengakomodasi pemberian ASI, atau istirahat dan mendapat fasilitas yang sesuai untuk menyusui atau memerah ASI. Kondisi ini seringkali dimanfaatkan produsen susu formula komersial untuk dapat memasarkan dan mendistribusikan sampel produknya yang tidak sesuai dengan kode etik.
Menurut tinjauan sistematik oleh Vilar-Compte et al (2022), perilaku bayi yang tidak menentu di awal kehidupan, khususnya menangis persisten, menjadi alasan bagi orangtua bahwa pemberian susu formula diperlukan. Bayi menangis dapat disebabkan karena berbagai hal, termasuk lapar, perubahan suhu, dan ketidaknyamanan lain. Respon orangtua dapat menyebabkan berkurangnya tangisan, seperti melakukan tindakan segera dalam mengganti popok, menenangkan bayi, juga memberi makan, yakni dengan menyusui. Namun, kurangnya keahlian dan dukungan tanpa dasar pengetahuan, menjadikan orangtua mengganti menyusui eksklusif dengan susu formula yang banyak mengklaim dapat mengurangi alergi, membantu kolik pencernaan, dan membuat tidur lebih baik. Pesan pemasaran susu formula memanfaatkan kekhawatiran ibu terhadap ASi-nya sendiri dan kemampuannya untuk dapat memberikan nutrisi yang adekuat untuk bayinya dengan membuat narasi bahwa perilaku bayi termasuk patologis dan susu formula yang menjadi solusinya. Maka dari itu, tidaklah sulit untuk menemukan ASI yang tidak cukup sebagai alasan untuk memberikan susu formula sebelum bayi berusia 6 bulan dan memberhentikan pemberian ASI.
Rekomendasi yang dapat dilakukan untuk membentuk program dan kebijakan yang dapat mendukung pemberian ASI yakni:
- Investasi dalam edukasi dan meningkatkan kesadaran masyarakat agar pembuat kebijakan dapat memahami bahwa sistem pemberian nutrisi dapat bermanfaat bagi ibu dan bayi dalam kesejahteraan dan kesehatan keduanya. Miskonsepsi susu formula yang dianggap sepadan dengan ASi harus dikoreksi melalui program kesehatan.
- Konseling dan dukungan harus disediakan di masa prenatal dan post-partum bagi setiap ibu untuk mencegah laporan kurangnya ASI berdasarkan klaim mandiri, dan menghindari pemberian makan prelaktasi atau susu formula sejak dini, karena hal tersebut merupakan faktor risiko utama dari terminasi prematur ASI eksklusif dan proses menyusui lainnya.
- Tenaga kesehatan, ibu, keluarga, dan masyarakat harus diberikan dukungan edukasi dan pengembangan kemampuan yang lebih baik, dibebaskan dari pengaruh iklan, dan memahami bahwa perilaku bayi yang tidak tenang merupakan fase dari perkembangan manusia. Tenaga kesehatan dapat memberikan pemahaman selama kehamilan hingga periode post-natal cara memberikan respon terhadap perilaku bayi yang tidak tenang dan industri susu formula yang salah dalam menafsirkan perilaku ini serta pelanggaran kode etik yang ditentukan WHO.
- Kebijakan lintas sektoral (seperti kesehatan, sosial, pendidikan, ketenagakerjaan, dan pembuat kebijakan) harus dapat mengatasi hambatan menyusui agar ibu dapat memberikan nutrisi yang optimal. Kebijakan ini harus berdasarkan prinsip keadilan, hak asasi manusia, dan kesehatan masyarakat yang membutuhkan komitmen politik dan masyarakat.
Selengkapnya dapat diakses melalui: https://www.thelancet.com/journals/lancet/article/PIIS0140-6736(22)01932-8/fulltext