Dunia pelayanan kesehatan di Indonesia mengalami keguncangan cukup parah sejak terungkapnya produsen dan distributor vaksin palsu. Keguncangan bertambah parah dengan diungkapnya 14 rumah sakit yang mungkin tidak sadar telah menggunakan vaksin palsu tersebut dalam pelayanan mereka. Keguncangan parah terjadi saat berbagai institusi saling menyalahkan satu sama lain, para pengamat beradu teori dan argumen, hingga aksi penuntutan dan pemblokiran pelayanan di rumah sakit oleh masyarakat.
Kasus vaksin palsu tidak dapat hanya dilihat dari salah satu sudut pandang, banyak faktor yang harus diselesaikan secara sistematis, dan karena ternyata banyak negera yang mengalami hal serupa, maka WHO telah mengeluarkan "fact sheet" terkait tentang produk kesehatan palsu (substandard, spurious, falsely labelled, falsified and counterfeit/SSFFC medical products) yang diharapkan dapat dijadikan pedoman dalam menyusun kebijakan ditingkat internasional, nasional hingga operasional sarana pelayanan kesehatan.
Dalam konteks manajemen mutu yang lebih luas, Donald Berwick, seorang professor dalam bidang ilmu kesehatan anak dan juga dalam bidang kesehatan masyarakat, jauh-jauh hari telah memberikan model upaya menjaga/meningkatkan mutu yang dimulai dari tingkat regulasi, tingkat manajemen sarana pelayanan kesehatan hingga tingkat pelayanan serta tingkat pengelolaan peran serta pasien/keluarga. Model dari Berwick ini dapat dipakai untuk mengatasi masalah vaksin palsu.
Pertama perlu ada perbaikan regulasi yang mengatur mengenai perencanaan, produksi, distribusi dan pengawasan vaksin, dan yang lebih penting adalah memastikan regulasi tersebut berjalan serta ditingkatkan efektifitasnya dari waktu ke waktu. Tujuan utama dari regulasi tersebut adalah untuk mengatasi kekosongan stok, menurunkan harga, mempermudah rantai distribusi hingga mencegah pemalsuan.
Kedua perlu ada perbaikan dan pelaksanaan kebijakan dan manajemen pengelolaan vaksin di sarana pelayanan kesehatan mulai dari perencanaan, pengadaan, penggunaan hingga pengelolaan limbah. Belajar dari kasus vaksin palsu maka perbaikan kebijakan dan manajemen harus difokuskan untuk memastikan pengadaan vaksin di sarana pelayanan kesehatan menggunakan sistem satu pintu dan hanya berasal dari rekanan yang memiliki ijin resmi distribusi vaksin terkait, memastikan rekanan dapat menjamin keaslian dan mutu produk mereka, memastikan proses pengadaan dilakukan secara terbuka serta memastikan masyarakat/pasien dapat mengetahui proses pengadaan obat dan vaksin serta daftar rekanan RS hingga dapat memulihkan kembali kepercayaan masyarakat, serta memastikan botol vaksin bekas telah dimusnahkan.
Ketiga perlu ada perbaikan prosedur pemberian vaksin oleh klinisi didalam pelayanan, meliputi upaya identifikasi vaksin palsu meski sering sekali sulit diidentifikasi, memberikan vaksin secara "6 benar", dan membuat catatan lengkap dalam rekam medik. Keempat adalah meningkatkan keterlibatan pasien/keluarga dalam pelayanan pemberian vaksin dengan cara pemberian edukasi mengenai manfaat, efek samping dan proses pemberian vaksin serta memberikan media komunikasi untuk melaporkan berbagai hal terkait dengan pemberian vaksin.
Dengan tindak lanjut nyata dan berkelanjutan, maka diharapkan rekomendasi WHO serta model Berwick dapat mengatasi masalah vaksin palsu di Indonesia.
editorial