Reportase ISQua London 2017, Hari Kedua
Oleh:
Hanevi Djasri1, Novi Zein Alfajri2 dan Sugiarsih2
1Mewakili Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan (PKMK) FK UGM, Komisi Akreditasi Rumah Sakit (KARS), Perhimpunan Rumah Sakit Indonesia (PERSI) dan Asosiasi Rumah Sakit Daerah (ARSADA), 2Mewakili RS Akademik UGM
New Paradigms and Practical Inspiration
Sesi ini dibawakan oleh Penny Pereira, Dominique Allwood, Helen Bevan dari UK. Panelis menjelaskan bahwa skala dan kompleksitas perbaikan yang dibutuhkan dalam pelayanan kesehatan menuntut adanya cara belajar yang baru dengan melibatkan lebih banyak orang menggunakan rancangan yang lebih baik untuk diterapkan.
Sesi ini dibawakan secara interaktif untuk memberi inspirasi praktis bagaimana cara belajar dengan metode yang baru dan melibatkan partisipasi banyak orang, sesi interaktif ini antara lain meminta para peserta selama 2 menit untuk berdiskusi dengan peserta di sebelah tempat duduknya mengenai apa yang mereka kerjakan dalam peningkatan mutu, setelah sesi diskusi ini banyak peserta merasa bahwa apa yang mereka kerjakan ada sangkut-pautnya dengan peserta lain meski berasal dari belahan dunia yang lain, itulah pentingnya melakukan networking.
Sesi diawali dengan pengantar tentang istilah Learning, Action, Change, dan Improvement dengan penekanan bahwa kemungkinan proses tunggal yang paling penting dalam perubahan efektif adalah proses “learning while doing”. Skala dan kompleksitas perbaikan yang dibutuhkan dalam pelayanan kesehatan menuntut adanya cara belajar yang baru dengan melibatkan lebih banyak orang menggunakan rancangan yang lebih baik untuk diterapkan. Sesi interaktif ini membahas teori mutakhir tentang bagaimana orang belajar, dengan fokus khusus pada peran jejaring untuk perubahan dan perbaikan dengan pendekatan siklus PDSA dan pembelajaran pada level sistem mikro hingga makro yang meliputi Culture of Continuous Improvement, Define Learning Structure, Supportive Leaders, dan Intuitive Knowledge Process.
Gambar: Siklus dalam perbaikan mutu di sistem makro
Peserta juga diminta melakukan self asessment singkat mengenai skala kompleksitas dari tantangan perbaikan yang dilakukan, dan mendorong peserta berpikir akan langkah-langkah solusinya. Peserta disadarkan kembali bahwa seringkali harapan dan realitas tidak sama. Perlu adanya desain, evidence, wawasan, dan evaluasi.
Pada sesi ini para pembicara memperkenalkan adanya komunitas mutu di United Kingdom, yang bekerja sama dalam upaya perbaikan mutu asuhan dan pelayanan kesehatan. Pembicara memberikan contoh pengalaman menarik dan inspiratif dari 2 anggota komunitas mutu tersebut (Frank dan Bethan) dalam upaya peningkatan mutu di lokasi mereka bertugas. Dalam upaya peningkatan mutu salah satunya adalah dengan mengadopsi sistem yang berhasil, akan tetapi hasilnya sering tidak sama atau tidak efektif. Dalam hal ini penting untuk menciptakan atau menyesuaikan konteks dan kecocokan dalam setting yang berbeda. Paradigma lama perlu ditinggalkan dan beralih ke paradigma baru yang lebih terbuka dalam membangun hubungan.
Sesi diakhiri dengan internalisasi poin-poin penting yang dikemas secara apik dengan cara peserta diminta mengambil kertas yang telah disediakan di bawah kursi masing-masing dan menuliskan poin pembelajaran yang mereka dapatkan dari sesi tersebut, kemudian meremas kertas tersebut dan melemparkannya ke peserta lain.
Closing the Gap Between Work-as-imagined and Work-as-done : Practical strategies for Implementing Resilient Health Care -45 minutes
Sesi ini dibawakan oleh Robyn Clay-Williams dan Jeffrey Braithwaite dari Australia. keduanya memaparkan mengenai konsep Ketahanan Pelayanan Kesehatan merupakan hal yang cepat mendapatkan daya tarik diantara peneliti, pemangku kebijakan, manajer dan profesional kesehatan akan tetapi masih sedikit informasi praktis tentang bagaimana gagasan itu dapat memberikan dampak. Kesenjangan antara kelompok Work as Done dan kelompok Work as Imagined memiliki klaim yang berbeda dan cukup menarik untuk dikaji di level praktik dalam sistem pelayanan kesehatan. Tantangannya adalah bagaimana mengurangi hal–hal yang tidak terduga (unpredictability) dan menurunkan kompleksitas (complexity) dalam sistem.
Pada sesi ini pembicara menguraikan pendekatan pemikiran sistemik/organisasi ke arah resilience. Bagaimana melakukan rekonsiliasi frontliner yang cenderung WAD dengan upliner yang cenderung WAI melalui pemahaman variabel-variabel terkait dan pendekatan tools yang dapat digunakan. Pelayanan kesehatan harus bergerak dari linear tools ke resilience area. Pentingnya memilih tools yang membuat orang menjadi mudah memahami sistem. Resilience dalam pelayanan kesehatan bisa jadi tidak perlu menerapkan terlalu banyak aturan yang justru membuat gap semakin besar. Aturan dan sistem harus mendorong orang untuk selalu terlibat dalam perubahan. Individual resilience mendorong group resilience, untuk menuju community/organizational resilience yang penting dalam peningkatan mutu dan keselamatan pasien. Di sisi lain, ada patient resilience yaitu adanya perspektif pasien dalam setiap proses.
Gambar: Salah satu internalisasi pemahaman dari peserta
Enhancing the Use of Patient Experience Data for Improving the Safety and Quality of Care
Pada topik The patient’s Voice dalam sesi ini disampaikan oleh Glenn Robert, Louise Locock, Laura Sheard, Caroline Sanders dari The Health Foundation, UK. Sesi disampaikan secara panel, menjadi sebuah perhatian reporter cara menyampaikan materi sangat simpel dan tidak banyak langkah, seperti misal pergantian penyaji dilakukan langsung dari penyaji satu ke penyaji selanjutnya tanpa dijeda oleh moderator. Ini sangat menghemat waktu.
Banyak hasil penelitian yang menunjukkan bahwa organisasi dalam hal ini rumah sakit yang menyelenggarakan asuhan berfokus pada pasien mempunyai outcome pelayanan yang lebih baik kualitasnya dan mendorong keselamatan pasien. Namun dianggap masih muncul banyak ketidakpastian dalam mendapatkan data tentang pengalaman pasien dan bagaimana cara menyajikan data untuk mengakomodir regulasi terkait pelayanan baik tingkat nasional maupun lokal.
Glenn Robert menyampaikan bukti penelitian menunjukkan bahwa banyak rumah sakit mendapatkan data tentang pengalaman pasien namun masih belum bisa memanfaatkannya untuk memperbaiki kualitas pelayanan kesehatan.
Hasil dari empat proyek penelitian di Inggris ini menunjukkan bahwa pengalaman pasien yang didapatkan dengan menggunakan Family and Friend Test (FFT) yang dikembangkan oleh NHS (Nationale Health Service) dan pengembangan Patient Experience Team (PALS) rumah sakit sangat membantu menyajikan data untuk pengembangan pelayanan di rumah sakit. Bukan hanya tim resmi ini namun provider juga dapat dijadikan media untuk mendapatkan data tentang pengalaman pasien, misalnya saja dokter atau perawat yang mendengarkan langsung keluhan pasien ketika mereka dirawat, atau dengan sengaja menanyakan bagaimana pengalaman dan cerita pasien tentang perawatan di rumah sakit tersebut. PALS tim ini salah satu fokusnya adalah pemecahan isu/masalah yang disampaikan pasien sebelum selanjutnya menjadi komplain.
Data tentang pengalaman pasien bisa didapatkan dengan berbagai metode:
- Kuantitatif dan kualitatif: bukan hanya pengalaman apa yang didapatkan namun juga mengapa pengalaman itu dikatakan kurang baik, apa yang menurutnya baik. Jadi pasien diminta manyampaikan ide perubahan
- Comment card (Not just complaint): mungkin ini lebih pada kotak saran, namun isinya bukan hanya komplain namun bisa juga hal positif atau usulan saran untuk pengembangan rumah sakit
- Wawancara mendalam: bersifat persuasif dan bentuk narasi
- Online comment: difasilitasi melalui sosial media dengan meminta pendapat tentang pelayanan di rumah sakit.
Berikut tahapan pengembangan pelayanan berdasarkan data pengalaman pasien:
Di Indonesia, data tentang pengalaman pasien belum terbiasa digali pihak rumah sakit, biasanya RS menggunakan data kepuasan pasien melalui survei dengan pertanyaan tertutup. Hal ini terkadang membatasi pernyataan pasien untuk diungkapkan terkait dengan pengalamannya mendapatkan perawatan di suatu rumah sakit. Metode penggalian pengalaman pasien akan lebih mengeksplorasi perasaan pasien dalam menyampaikan apa yang dialami selama dirawat. Dengan data yang lebih luas maka harapannya banyak data yang dapat digunakan untuk mendesain sebuah perkembangan pelayanan di rumah sakit sesuai dengan kebutuhan pelanggan.
Dari hasil penelitian tersebut, maka dapat direkomendasikan bahwa rumah sakit sebaiknya sudah mulai mengembangkan “Patient Voice” dengan menggunakan metode Patient Experience (PEx) bukan lagi survei kepuasan yang hanya mendapatkan data dari pertanyaan tertutup untuk pasien. Banyak sekali metode yang dapat digunakan untuk mendapatkan Patient Experience tersebut misalnya saja dengan Family and Friend Tes, Picker survey, NHS IP survey atau dengan sosial media. Salah satu contoh Rumah Sakit Universitas Gadjah Mada yang mengembangkan sosial media sebagai alat untuk mendapatkan masukan dari pasien dalam bentuk Instagram, Facebook, dan Website yang dikelola khusus oleh Instalasi Humas. Beberapa pengalaman, masukan, komplain dan saran diterima melalui media tersebut. Hal ini dipandang efektif untuk mendapatkan masukan dari pasien atau keluarga. Tambahan catatan dari reporter yang diambil dari Evidence Scan milik The Health Foundation in England yang diterbitkan pada 2013 tentang Measuring Patient Experience
The Impact of Regulation and Accreditation, on Healthcare Organisations
Terdiri dari 2 sesi, yaitu sesi dengan judul “Healthcare Regulation Policy and Practice – Making a Difference?” yang dibawakan oleh Kieran Walsh dari Inggris dan sesi dengan judul “How do Accreditation Agencies Design their Regulatory Regime/Inspection Model to Maximise Desired Impacts” yang dibawakan oleh Christine Dennis.
Walsh menjelaskan bagaimana regulator kesehatan mempertimbangkan dampak intervensi dari sebuah peraturan, dan mekanisme dimana dampak tersebut terjadi. Penjelasan Walsh diambil dari hasil penelitian empiris mengenai The Care Quality Commission di Inggris tentang bagaimana membuat regulasi menjadi lebih efektif menghasilkan dampak yang diinginkan.
Walsh menyebutkan bahwa regulasi yang memiliki fokus kepada peningkatan mutu harus: 1) benar-benar jelas akan maksud dan tujuan regulasi serta masalah mutu yang ingin diatasi. 2) benar-benar memetakan dampak yang ingin dicapai serta memaksimalkan efektivitas regulasi sekaligus juga meminimalkan dampak regulasi yang tidak diharapkan. 3) menyusun indikator untuk mengukur keberhasilan regulasi baik pencapaian mutunya maupun efektivitasnya. 4) mengukur secara berkala pencapaian serta mengadakan pertemuan berkala antara regulator dan yang diatur.
Implementasi dari apa yang Walsh katakan, dijelaskan oleh Dennis terkait dengan regulasi dan akreditasi di Australia, dan khususnya, siapa yang mengatur dan bertanggung jawab atas kualitas layanan kesehatan; apa peran dari standar dan akreditasi dan, serta yang terpenting menjelaskan mengenai peran kepemimpinan kesehatan dan budaya organisasi dalam memaksimalkan dampak yang diinginkan.
Dennis menjelaskan lebih lanjut bahwa ACHS (lembaga akreditasi Australia) telah cukup berhasil mencapai tujuan regulasi akreditasi, yaitu menciptakan pelayanan kesehatan yang aman dan bermutu tinggi, pelayanan yang memiliki budaya keselamatan pasien, keterlibatan staf dan staf yang senantiasa dapat mengajukan usulan-usulan perbaikan. Hal ini dibuktikan dengan ranking Australia yang menduduki urutan pertama untuk outcome pelayanan kesehatan di seluruh negara persemakmuran.
Gambar: Posisi Australia dibanding dengan negara-negara persemakmuran lain
Berdasarkan penjelasan para pembicara maka penulis mengusulkan agar Indonesia dapat menjabarkan dokumen regulasi akreditasi RS maupun FKTP dalam bentuk pedoman yang dapat digunakan untuk lebih menjelaskan maksud dan tujuan akreditasi serta indikator keberhasilan yang digunakan disamping dari jumlah fasyankes yang lulus akreditasi.
Gambar: e- Poster dari KARS sedang mendapatkan kunjungan dari Delegasi Taiwan
Berbagai catatan dari Delegasi Indonesia
Note 1
1. Peningkatan Patient Safety dan Patient and Family Voice
Menjadi topik besar dan framework ke depan yang selama ini belum banyak digali untuk proses perbaikan melalui Learning Action Change and Improvement. Metode ini diperbarui melalui new power dengan nilai-nilai baru yaitu kolaborasi sharing yang lebih terbuka walaupun berbeda pendapat serta membangun networking dan relationship "baik di level makro dan mikro. Konsep new power adalah saling belajar dan mengajar sehingga mulai dari level pembuat regulasi hingga rumah sakit merupakan networking dan pemanfaatan multi channel. bekerja sama menggunakan gabungan learning change dan improvement proses menjadi lebih cepat untuk perubahan yang diinginkan. Makro dan mikro sistem dalam satu tim dengan new power akan membuat implementasi dan peningkatan patient safety di Indonesia lebih cepat. Saya kaitkan dengan patient voice dan menyajikan data dari indikator yang diukur secara nasional (metric) dan mengukur outcome pasien yang direfleksikan untuk memperbaiki berbagai regulasi JKN kita. Coba lihat kasus yang terakhir di Indonesia dengan bayi D tidak sampai 1 minggu regulasi dapat berubah jika disajikan dengan cara yg cerdas dengan data analisa yg baik dan kerja kolaboratif level makro dan mikro saya yakin akan ada perubahan baik dari regulasi patient safety yang dipengaruji baik langsung maupun tidak langsung dengan tarif JKN (Catatan: Fathema Djan)
Gambar: Dr. Fathema dan delegasi RS Pelni diseberang gedung pertemuan ISQua 2017