Gaya Hidup Dominasi Penyebab Penyakit di Tanah Air
JAKARTA - Indonesia menghadapi tantangan berupa perubahan pola gaya hidup masyarakat yang ditengarai menjadi penyebab
terjadinya pergeseran pola penyakit (transisi epidemiologi) dalam 30 tahun terakhir.
Pergeseran pola penyakit ini akan menjadi hambatan terhadap upaya peningkatan derajat kesehatan dan produktivitas masyarakat, serta semakin besarnya biaya pengobatan yang dibutuhkan.
"Gerakan Masyarakat Hidup Sehat (Germas) diharapkan dapat membangkitkan kesadaran dan motivasi masyarakat bahwa sehat harus dimulai dari diri sendiri," kata Direktur Promosi Kesehatan dan Pemberdayaan Masyarakat, Kementerian Kesehatan RI, Dedi Kuswanda, di Jakarta, Kamis (27/4).
Dedi mengatakan pergeseran pola penyakit dapat dilihat dari beberapa fakta. Pada era 1990-an penyebab kematian dan kesakitan terbesar adalah penyakit menular seperti Infeksi Saluran Pernapasan Atas (ISPA), Tuberkulosis (TBC), dan diare. Sejak 2010, penyakit tidak menular (PTM), seperti stroke, jantung, dan kencing manis (penyakit katastropik), lebih besar proporsinya dalam pelayanan kesehatan.
Hal ini menurut Dedi dipicu oleh perubahan pola gaya hidup masyarakat ke arah gaya hidup tidak sehat, antara lain kurangnya aktivitas fisik, kurangnya konsumsi sayur dan buah, merokok, serta konsumsi alkohol. Kurangnya pengetahuan tentang hidup sehat dan pola asuh keluarga juga berpengaruh. Bagi masyarakat perkotaan, tutur Dedi, waktu untuk menyiapkan sarapan sehat belum tentu tersedia lantaran berbagai rutinitas.
Ia menyatakan Germas dicanangkan berdasarkan Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 2017, untuk meningkatkan kesadaran perilaku hidup sehat di kalangan masyarakat. Fokus utama Germas pada tahun 2016-2017, yakni melakukan olahraga secara teratur, konsumsi buah dan sayur, serta pemeriksaan kesehatan secara berkala. Targetnya, penduduk Indonesia bisa mendapatkan usia lansia yang produktif.
Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Suplemen Kesehatan Indonesia (APSKI) Patrick A Kalona mengatakan pihaknya mendukung penuh gerakan ini. Menurutnya, evolusi penyakit juga harus dihadapi dengan evolusi pola gaya hidup masyarakat serta evolusi upaya pemenuhan nutrisi bagi masyarakat.
Industri suplemen kesehatan diharapkan dapat ambil bagian dalam gerakan ini. Nutrisi yang belum tercukupi dari pola makan sehari-hari disuplai lewat suplemen kesehatan. "Tidak hanya dengan memproduksi produk-produk suplemen yang mendukung kesehatan, tapi juga melakukan edukasi kepada konsumen di Indonesia," kata Patrick.
Dewan Pakar Ilmiah International Alliance of Dietary Supplement Associations (IADSA) Andrew Show mengatakan para pelaku di industri nutrisi telah menyadari akan terjadinya fenomena pergeseran pola gaya hidup yang akan berakibat pada pergeseran pola penyakit.
"Ilmuwan gizi dan pembuat kebijakan di negara maju telah menggeser fokus mereka yang sebelumnya berurusan dengan penyakit yang disebabkan kekurangan nutrisi menjadi kondisi kelebihan nutrisi," tutur Andrew.
Menurut Andrew, pendekatan reduksionis telah diperluas dalam beberapa tahun terakhir menjadi lebih holistik. Ujungnya, masyarakat memiliki pemahaman yang baik terhadap hubungan interaksi antara faktor gizi, diet, sosial, perilaku, dan lingkungan.
Pakar dari IADSA, Michelle Stout juga menambahkan, pendekatan nutrisi yang baik terbukti mampu menekan biaya perawatan kesehatan di beberapa negara maju. Hal itu sudah dibuktikan lewat beberapa riset yang dilakukan peneliti di Amerika Serikat dan Uni Eropa.
Oleh: Kabul Astuti (Rep)/ Indira Rezkisari (Red)
Sumber: http://www.republika.co.id/