Komunitas Lintas Profesi Bikin Klinik Sosial dan Kesehatan Warga Miskin
Pasien Membeludak saat Pertama Buka di Pasar
Berlatar belakang berbagai profesi, belasan pekerja ini mendirikan Klinik Sosial.
Dimotori seorang dokter umum, anggotanya tukang rosok, pedagang warung kopi, peternak ikan, dan pekerja lainnya. Pasiennya tak dipungut biaya
Suasana pasar loak Pare sekitar pukul 09.00, Sabtu siang itu (22/7), terlihat sedikit berbeda. Di antara puluhan kios dan lapak pedagang, tampak beberapa orang dalam kondisi kurang sehat berkerumun. Wajah mereka pucat.
Dari kejauhan, mereka terlihat mengantre di depan satu kios. Ketika didekati ternyata sedang menunggu giliran untuk mendapatkan pengobatan gratis di Klinik Sosial. Tidak ada politisi maupun pengusaha medis yang mengelola klinik tersebut.
Penggeraknya hanya sekitar 15 orang. Para aktivisnya berasal dari berbagai latar belakang. Di antaranya tukang rosok atau pencari barang bekas, pemilik warung kopi, pembudidaya ikan, dan beberapa pekerja lainnya.
Untuk menghidupkan klinik, tentu mereka butuh bantuan dokter. Beruntung, di antara pengurus ada Wahyu Yuliadi, 45, warga Desa Tertek, Pare. Dia adalah dokter umum di Klinik Vitamedika, Kepung. Kebetulan siang itu adalah aksi mereka yang ke-15. “Komunitas ini berdiri sejak Desember tahun lalu,” ujar Wahyu.
Latar belakang pendiriannya lantaran rasa keprihatinan. Terutama saat para pengurus melihat kondisi kesehatan masyarakat kawasan sekitar pasar barang bekas Pare. “Awalnya saya dulu sering dimintai tolong Mas Antok (salah satu pengurus asal Kelurahan/Kecamatan Pare) untuk memeriksa warga Pujasera. Dan itu tak kenal waktu. Terkadang juga tengah malam,” ungkap dokter umum itu.
Wahyu pun memeriksa beragam penyakit yang diderita warga penghuni pasar bekas pusat jajanan serba ada (pujasera) tersebut. Kebanyakan menderita hipertensi, kencing manis, diare, dan demam.
Dari situ lantas muncul ide di benak Wahyu untuk mendirikan klinik sosial. Ide tersebut kemudian disampaikan ke kawan-kawannya. Kebetulan, pria yang aktif di Komunitas Orang Pinggiran (KOPI) ini akrab dengan rekan-rekan dari sejumlah komunitas yang ada di Kecamatan Pare.
“Akhirnya kita sepakat mendirikan klinik di pujasera,” urainya. Saat itu pula disepakati pasien yang berobat di klinik tersebut tidak dipungut biaya sepeser pun.
Meski begitu, bukan tanpa kendala. Salah satunya adalah kurangnya tenaga medis. Beruntung, salah satu dari 15 anggota klinik berhasil membujuk sejumlah mahasiswa salah satu akademi keperawatan di Pare sehingga mau membantu. Ide klinik sosial itu disambut positif. “Ini juga bisa menjadi aktivitas yang mengedukasi bagi mereka,” ucapnya.
Tak hanya mahasiswa, seiring waktu sejumlah dokter yang juga rekan dekat Wahyu ikut tergerak menjadi tenaga sukarela di Klinik Sosial. Setidaknya, dari 15 kali beroperasi, empat di antaranya mendapatkan bantuan dokter dari sejumlah rumah sakit di Pare. “Sebenarnya ada yang ingin ikut berpartisipasi. Tapi, mungkin mereka masih terkendala kesibukan,” papar Wahyu.
Awalnya, klinik berdiri di kios yang dipinjamkan seorang kawan yang berdagang di pasar loak itu. Namun tidak lama. Sekitar 3 bulan berikutnya kontrak kios tersebut habis. Wahyu dan 14 anggota klinik akhirnya memutuskan mengontrak tempat itu. “Ya dananya urunan,” katanya.
Di awal masa beroperasi, Klinik Sosial tidak punya persediaan obat sebanyak saat ini. Hanya ada obat untuk kencing manis, penyakit tropik (demam), dan gangguan kulit ringan. “Saat itu kami belum punya donatur dan hanya mengandalkan uang pribadi yang disisihkan dari gaji,” kenang Wahyu.
Meski begitu, Wahyu dan kawan-kawannya tetap nekat menjalankan klinik. Respons penghuni pasar bekas pujasera itu pun baik. Bahkan, kali pertama buka pasien membeludak hingga lebih 50 orang. Tentu saja warga pasar yang kebanyakan miskin lebih suka berobat gratis. Apalagi, lokasi klinik dan para pengurusnya sudah dianggap dekat dengan warga. Karena itu tidak ragu berobat. “Mau bagaimana lagi, kalau ramai ya tetap kita layani,” imbuh Wahyu.
Tetapi saat ini, kuota pasien per sekali operasi dibatasi 50 orang. Selain karena keterbatasan tenaga medis, keputusan itu diambil karena sebagian pengurus harus bekerja. Maka, jam operasional dibatasi tiga jam, pukul 09.00 hingga 12.00.
Seiring berkembangnya waktu, aktivitas Klinik Sosial itu mulai dilirik donatur. Dengan bantuan mereka, klinik bisa menambah jenis obat-obatan. Di antaranya obat hipertensi dan gangguan pencernaan.
Seperti Sabtu siang itu, seorang donatur terlihat datang menyerahkan satu kardus besar berisi obat-obatan. “Secara pribadi saya sangat berterima kasih. Bantuan berupa obat ini sangat membantu kelangsungan klinik ini,” ungkapnya. Wahyu pun memastikan obat tersebut tersalurkan kepada yang membutuhkan.
Seiring bertambahnya persediaan obat, kini klinik mulai beroperasi di luar pasar loak Pare. Sekitar enam kali mereka beroperasi di luar pasar pujasera. Salah satunya di Desa/Kecamatan Papar. Itu permintaan temannya. Tempat klinik biasanya disediakan oleh pihak yang meminta.
Klinik akan menolak pasien yang berpenyakit kronis. “Justru itu salah satu tujuan kami berdiri. Yaitu, adalah untuk mendeteksi penyakit kronis yang diderita masyarakat,” jelas Wahyu.
Setelah diperiksa di klinik, pasien berpenyakit kronis akan mendapat surat rujukan. Ini agar bisa mendapat perawatan yang layak di rumah sakit. Ketika beroperasi di Papar, klinik juga mendapatkan pasien berpenyakit jantung. “Jika sudah dirawat di rumah sakit, kami tetap monitoring perkembangan kesehatannya,” ujar Wahyu
(rk/rzl/die/JPR)
Editor:Adi Nugroho
Sumber: http://www.jawapos.com/radarkediri/read/2017/07/27/3888/komunitas-lintas-profesi-bikin-klinik-sosial-dan-kesehatan-warga-miskin